Abimana duduk di tepi ranjang, sebuah kebiasaan rutin sebelum tidur yang jarang ia lewatkan. Pandangannya teralihkan dari buku yang ia baca, menatap pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, memperlihatkan bayangan Ayunda yang tengah berkutat dengan rangkaian skincare-nya yang lumayan panjang.
“Lama banget, Sayang,” gumam Abimana sambil tersenyum kecil.
Ayunda menoleh sebentar dari pantulan cermin, tersenyum tipis. “Bentar lagi, Mas, sabar dong.”
Abimana tertawa kecil, tapi kemudian terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu yang ingin ia tanyakan.
“Gimana pernikahan kamu sama Ezra?” tanyanya akhirnya. “Sudah beberapa bulan, kamu bahagia?”
Ayunda mengangguk pelan, sedikit senyum menghiasi wajahnya. “Iya, Mas. Ezra orangnya perhatian... romantis juga.”
Abimana menghela napas, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berdenyut aneh mendengar pengakuan itu.
“Syukurlah kalau kamu bahagia…” katanya pelan, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik senyuman.
Ayunda duduk di sampingnya, jemarinya bermain di ujung selimut. “Sekarang, aku nggak ke mana-mana sendirian lagi. Meskipun dulu juga sering dianterin kamu, Mas… tapi beda aja rasanya.”
Abimana terdiam. Ia tahu betul maksud "beda" yang diucapkan Ayunda—bukan sekadar soal perhatian atau kasih sayang, tapi tentang dirinya yang kini lumpuh, terjebak di kursi roda yang selalu menjadi pengingat tentang batasnya.
“Kamu nggak perlu ngomong kayak gitu,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ayunda menatapnya lembut. “Mas, bukan berarti aku nggak menghargai semuanya yang kamu lakuin buat aku dulu… Aku cuma...”
Abimana mengangkat tangannya, memotong kata-kata Ayunda. “Aku tahu. Aku ngerti, Sayang.” Ia menelan ludah, suaranya agak serak. “Ezra bisa ngasih kamu apa yang aku nggak bisa lagi. Itu udah cukup buatku.”
Ayunda terdiam. Ada kesedihan samar di matanya yang berusaha ia sembunyikan, tapi Abimana menangkapnya. Meski ia berusaha menahan diri, rasa rindu itu terasa menyesakkan—rindu akan hari-hari dulu ketika ia masih bisa berdiri di samping Ayunda tanpa batasan apa pun.
“Kalau Ezra bikin kamu bahagia, itu yang penting buat aku,” ujar Abimana pelan, meski di dalam hatinya ia bertanya-tanya, seberapa jauh ia bisa terus berpura-pura.
Ayunda menunduk, menyadari kesalahan dalam ucapannya. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghentak di dadanya. Ia tahu, sehalus apa pun, perbandingan itu pasti menyakitkan untuk Abimana. Sebagai lelaki, apalagi dengan ego yang besar, ia tentu tak ingin diingatkan pada batasan yang harus ia terima sekarang. Tapi kata-kata itu terlanjur meluncur tanpa bisa Ayunda cegah.
Ia mengulurkan tangan, menangkup jemari Abimana yang masih berada di pangkuannya. “Mas, maafin aku…” bisiknya lembut, suara bergetar. “Aku nggak bermaksud… Aku cuma…”
Abimana hanya tersenyum kecil, mengusap punggung tangannya. “Udah, nggak usah dipikirin. Kamu nggak salah, Sayang.” Suaranya lembut, namun ada sisa kesedihan yang terpendam di sana.
Ayunda mendekat, jemarinya menyusuri pipi Abimana, menatap ke dalam matanya dalam keheningan. Ia berusaha mencari sesuatu di sana—pemahaman, maaf, atau mungkin sisa cinta yang masih ada untuknya. “Aku sayang kamu, Mas. Nggak ada yang bisa gantiin kamu… sama sekali.”
Abimana menarik napas dalam-dalam, membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam tatapan Ayunda. Ia tahu bahwa cinta itu masih ada, namun kini dibatasi oleh kenyataan yang sulit diabaikan.
“Ayunda,” ujarnya lirih, menunduk dan mengecup punggung tangan perempuan itu. “Aku juga sayang kamu… selamanya.”
Mata Ayunda berkaca-kaca, dadanya terasa sesak oleh emosi yang sulit ia ungkapkan. Dengan hati-hati, ia mendekatkan wajahnya, menyentuh bibir Abimana dengan penuh kelembutan. Mereka berdua terdiam dalam keintiman yang begitu hening, seolah waktu berhenti untuk sesaat, memberi mereka ruang untuk merasakan perasaan yang tak terucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBAGI ISTRI (2 Suami Poliandri)
RomansaProlog. Ayunda dan Abi terlibat cinta yang rumit. Mereka menghadapi badai pernikahan yang tiada henti, ketika Abi di diagnosa oleh Dokter mengalami kelumpuhan sepulang dari Amerika. Cinta yang mereka berdua rasakan hanya hitungan hari, tidak lebih d...