Hari-hari berlalu, dan proyek yang dikerjakan Lisa dan Jennie bersama tim mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan. Semangat Lisa terpacu, tidak hanya karena pentingnya proyek ini, tetapi juga karena setiap pertemuan dengan Jennie membuatnya semakin yakin bahwa perasaannya bukan sekadar kekaguman. Meski Jennie masih menjaga batasan, Lisa merasa ada kedekatan emosional yang makin jelas kedekatan yang terbangun di balik pembicaraan formal dan diskusi kerja mereka.
Suatu sore, saat tim kecil mereka sedang berdiskusi, Lisa melihat Jennie tampak lelah, jauh lebih dari biasanya. Di sela-sela rapat, Jennie berkali-kali mengusap dahinya, menahan sakit kepala yang sepertinya tak kunjung reda. Setelah rapat usai, semua anggota tim pergi, namun Lisa tetap di ruangan, menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Jennie.
"Miss Jennie, apa Miss baik-baik saja?" tanyanya, nada suaranya penuh perhatian.
Jennie mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kelelahan di wajahnya. "Ah, ini hanya sakit kepala biasa, Lisa. Tak usah khawatir. Tanggung jawab proyek ini memang menantang, tapi saya akan baik-baik saja."
Namun, Lisa tidak bisa mengabaikan rasa pedulinya. "Miss sudah bekerja terlalu keras. Mungkin ada baiknya Miss istirahat sejenak. Saya bisa membantu menangani tugas-tugas kecil jika Miss memerlukannya."
Jennie terkejut mendengar tawaran Lisa yang tulus. Selama ini, ia selalu bersikeras menyelesaikan semua tanggung jawabnya sendiri, tapi kata-kata Lisa menyentuh hatinya. Jennie terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Terima kasih, Lisa. Kamu sangat perhatian. Mungkin saya memang butuh istirahat sebentar."
Saat Jennie berdiri untuk meninggalkan ruangan, langkahnya terhenti, seolah ada sesuatu yang membuatnya enggan pergi. Ia menatap Lisa, dan di dalam sorot matanya, Lisa bisa melihat ada kehangatan yang tak lagi tersembunyi. Mereka berdua berdiri di ruangan itu, saling berpandangan, tanpa kata-kata, namun dipenuhi perasaan yang menggantung di udara.
Akhirnya, Jennie berbicara, nadanya lirih, hampir seperti berbisik. "Lisa... kadang, kita tidak bisa menghindari apa yang kita rasakan, bahkan ketika situasinya tidak mendukung."
Lisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu apa yang ingin disampaikan Jennie, namun ia juga tahu risiko besar yang ada di antara mereka. "Saya mengerti, Miss Jennie. Saya tidak pernah berharap membuat Ibu merasa tidak nyaman. Saya hanya... saya hanya ingin berada di sini, mendukung Miss. Apa pun yang terjadi."
Jennie tersenyum, dan kali ini senyumnya tampak lebih tulus, tanpa beban formalitas yang biasanya ia pasang. "Kamu anak muda yang baik, Lisa. Perasaan ini rumit, tapi... kamu membuatku melihat hidup dengan cara yang berbeda. Saya hanya tak ingin kamu terjebak dalam sesuatu yang bisa menyulitkanmu di masa depan."
Lisa mendekat, tak bisa menahan dirinya lagi. "Apa yang saya rasakan untuk Miss bukan sesuatu yang bisa saya abaikan. Saya tahu kita berbeda, baik dari usia maupun posisi. Tapi, perasaan ini nyata, Miss Jennie."
Kata-kata Lisa membuat Jennie terdiam, tak mampu menyangkal perasaan yang sudah lama ia coba kubur dalam-dalam. Namun, ia sadar bahwa situasi mereka tak sesederhana itu. Meskipun hatinya ingin, akal sehatnya tahu bahwa hubungan seperti ini penuh dengan risiko. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya.
"Lisa, saya menghargai perasaanmu. Namun, kita perlu waktu untuk memahami apa yang benar-benar kita inginkan. Mungkin lebih baik kita menjaga jarak untuk sementara, agar bisa melihat situasi ini dengan kepala dingin," kata Jennie, suaranya bergetar.
Lisa merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu, tetapi ia memahami maksud Jennie. "Baik, Miss. Saya akan menghormati keputusan Miss. Tapi, saya akan selalu ada jika Miss membutuhkannya."
Keduanya akhirnya berpisah di ruangan itu, dengan perasaan yang tak sepenuhnya terungkap. Meskipun mereka tahu bahwa jarak ini mungkin adalah pilihan terbaik, hati mereka berkata lain. Bagi Lisa, Jennie adalah sosok yang menginspirasi sekaligus membingungkan, sebuah cinta yang tumbuh meski terlarang. Sementara itu, Jennie tahu bahwa perasaan ini nyata, namun masa depan yang belum pasti membuatnya memilih jalan yang lebih aman.
Di luar ruangan, keduanya melangkah menjauh, menyadari bahwa di balik semua kerumitan ini, ada cinta yang tak sepenuhnya bisa diingkari cinta yang tetap menggantung, seperti senja yang tak kunjung pudar.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari di Balik Langit Senja
FantasyJennie Kim, seorang wanita berusia 40 tahun yang sukses sebagai CEO perusahaan teknologi, terbiasa menjalani hidupnya dengan disiplin dan penuh ambisi. Di balik kesuksesannya, ia adalah sosok yang tegar namun kesepian, seorang wanita yang pernah ter...