Bab 10 Keputusan Berani

6 1 0
                                    

Lisa merasa bahwa menjaga jarak dengan Jennie tak cukup untuk meredakan gejolak dalam hatinya. Meskipun ia berusaha bersikap profesional dan mengalihkan perasaannya, setiap kali melihat Jennie di kantor, ia merasakan perih yang sama, mengingat perasaan yang tidak mungkin terwujud. Setelah mempertimbangkan dengan matang, Lisa akhirnya memutuskan bahwa cara terbaik untuk benar-benar melepaskan diri adalah dengan meninggalkan perusahaan.

Hari itu, Lisa menyusun surat pengunduran diri di mejanya. Ia tahu bahwa keputusannya ini bukanlah hal yang mudah, terutama mengingat betapa besar rasa kagumnya pada Jennie sebagai pemimpin dan sosok yang telah banyak menginspirasinya. Namun, ia sadar bahwa kehadirannya di perusahaan, terus-menerus berada dekat dengan Jennie, hanya akan memperumit perasaannya. Ia butuh lembaran baru, sebuah tempat di mana ia bisa memulai dari awal tanpa bayang-bayang perasaan yang terpendam.

Setelah surat pengunduran dirinya selesai, Lisa memberanikan diri untuk menghadap Jennie. Ketika mengetuk pintu ruangannya, ia merasa dadanya sesak, namun ia tahu bahwa inilah yang terbaik untuk mereka berdua. Jennie yang sedang fokus di balik meja, mendongak dengan terkejut saat melihat Lisa berdiri di ambang pintu.

"Lisa, ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Jennie sambil tersenyum tipis, meskipun ada keraguan dalam sorot matanya.

Lisa menarik napas panjang dan menganggukkan kepalanya. "Miss Jennie, saya ke sini untuk menyerahkan surat pengunduran diri saya."

Wajah Jennie berubah, tatapannya terpaku pada amplop di tangan Lisa. "Pengunduran diri? Kenapa tiba-tiba, Bayu?"

Lisa tersenyum pahit. "Sebenarnya ini bukan keputusan mendadak, Miss. Saya sudah memikirkannya lama. Saya merasa sudah saatnya mencari tantangan baru dan... saya rasa, akan lebih baik bagi saya untuk melanjutkan perjalanan karier di tempat lain."

Jennie terdiam, jelas terkejut dengan keputusannya. Meski ia ingin mempertahankan Lisa sebagai karyawan yang berdedikasi, ia juga merasakan sesuatu yang lebih dalam. Jennie sadar bahwa alasan sebenarnya mungkin bukan hanya soal karier. Dengan hati yang campur aduk, ia berusaha menahan diri agar tetap profesional.

"Lisa, keputusanmu pasti sudah dipikirkan matang, dan saya menghargainya," ujar Jennie perlahan. "Tapi, kamu adalah bagian penting dari tim ini. Kamu membawa semangat dan perspektif baru yang sangat berharga."

Lisa mengangguk. "Terima kasih, Miss Jennie. Bekerja di sini adalah pengalaman yang sangat berarti bagi saya, terutama bekerja di bawah arahan Miss. Tapi, terkadang, ada hal yang harus kita tinggalkan agar kita bisa menemukan diri kita yang baru."

Jennie menundukkan kepala, memahami makna tersirat di balik kata-kata Lisa. Hatinya terasa berat, namun ia tahu bahwa ia tak bisa menghalangi keputusannya. Ia pun menyadari bahwa inilah saatnya untuk melepaskan, meskipun ada perasaan yang tertinggal di antara mereka.

Ketika Lisa hendak pergi, Jennie memanggilnya dengan suara lembut, "Lisa... apa kamu yakin ini keputusan yang kamu inginkan?"

Lisa menoleh dan tersenyum, meskipun ada keharuan di matanya. "Ya, Miss. Ini keputusan yang terbaik untuk kita berdua."

Keduanya saling menatap, membiarkan perasaan yang terpendam itu berbaur dalam keheningan. Tanpa kata-kata, mereka tahu bahwa ini adalah perpisahan yang sulit, namun perlu. Lisa keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk, merasa sedih namun juga lega. Ia yakin bahwa inilah langkah yang benar untuk dirinya, sebuah awal baru yang mungkin akan membantunya meredakan perasaan yang tak seharusnya.

Setelah Lisa pergi, Amara duduk dalam keheningan di ruangannya. Ada kekosongan yang tiba-tiba mengisi ruang hatinya, sebuah perasaan kehilangan yang begitu nyata. Meski ia selalu berusaha menjaga jarak dan bersikap profesional, kepergian Lisa membuatnya tersadar akan perasaan yang tak pernah ia akui. Namun, ia memilih untuk merelakan, karena ia tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik bagi keduanya.

Di tempat lain, Lisa melangkah keluar dari gedung kantor dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia menatap gedung megah itu untuk terakhir kalinya, sebelum melangkah maju menuju perjalanan barunya. Meski ia tak tahu ke mana takdir akan membawanya, ia yakin bahwa inilah saatnya untuk melepaskan, membuka lembaran baru tanpa bayang-bayang masa lalu.

Dan di antara mereka, perasaan yang tak tersampaikan itu tetap tinggal, membekas di dalam hati masing-masing, sebagai kenangan indah yang tak terlupakan.

tbc.

Mentari di Balik Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang