Malam itu, Jennie tak bisa tidur. Bayangan Lisa dan percakapan singkat mereka di kantor tak henti-hentinya mengganggu pikirannya. Meski ia selalu berusaha menjaga profesionalitas dan batasan antara mereka, pertemuan itu membuat Jennie tersadar akan satu hal yang selama ini ia coba abaikan perasaan itu tetap ada, tak pernah hilang. Hati kecilnya menginginkan Lisa, bahkan jika semua alasan logis memintanya untuk mundur.
Setelah merenung berjam-jam, Jennie tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Hatinya telah membuat keputusan, dan kali ini ia memilih untuk mengikuti kata hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil kunci mobil dan melaju menuju apartemen Lisa di malam yang sepi itu. Sepanjang perjalanan, Jennie merasa jantungnya berdetak kencang, antara gugup dan penuh harapan. Ia tak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi ia tak sanggup lagi menahan perasaan yang telah menyesakkan dadanya selama ini.
Saat tiba di depan apartemen Lisa, Jennie berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu dengan tangan gemetar. Tak lama, pintu terbuka, dan di sana berdiri Lisa, terkejut melihat Jennie berdiri di ambang pintu.
"Miss Jennie?" tanyanya terperanjat. "Ada apa? Kenapa Miss ke sini malam-malam?"
Jennie terdiam sesaat, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia tahu ini adalah momen yang penting, dan ia tak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk menyampaikan perasaannya.
"Lisa, bolehkah aku masuk?" tanyanya pelan.
Lisa mengangguk, membukakan pintu lebar-lebar, dan Jennie melangkah masuk ke apartemen kecilnya. Ia duduk di sofa, dan Lisa mengikutinya, menatapnya dengan cemas namun penuh harapan.
"Lisa," kata Amara akhirnya, suaranya bergetar. "Aku tak bisa lagi membohongi diriku sendiri. Selama ini, aku selalu mencoba bersikap profesional dan menjaga jarak, tapi... hatiku tak pernah bisa benar-benar menjauh darimu."
Lisa terdiam, matanya terpaku pada wajah Jennie yang kini tampak penuh kejujuran. Jennie melanjutkan, "Sejak kamu pergi, aku merasakan kehampaan yang tak bisa diisi oleh siapa pun. Aku sadar bahwa perasaanku ini lebih dari sekadar kekaguman atau rasa peduli. Aku... aku jatuh cinta padamu, Lisa."
Lisa merasakan hatinya hangat oleh kata-kata Jennie. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita yang selama ini ia kagumi akan datang padanya, mengakui perasaan yang sama. Perasaannya yang selama ini ia pendam kini tak lagi menjadi rahasia. Perlahan, ia menggenggam tangan Jennie, tatapannya lembut dan penuh kasih.
"Jennie... aku pun merasakan hal yang sama," jawab Lisa pelan, namun mantap. "Aku mencintaimu sejak awal, meskipun aku tahu situasi ini rumit. Aku selalu menghormatimu, tapi perasaanku terlalu kuat untuk diabaikan."
Mereka saling menatap, tak ada lagi keraguan atau kekhawatiran di antara mereka. Di tengah keheningan malam itu, keduanya merasakan kelegaan yang luar biasa. Jennie merasa seperti terbebas dari beban yang selama ini menghantui pikirannya, dan Lisa merasa menemukan kebahagiaan yang selama ini ia impikan.
"Lisa, aku tahu ini mungkin tak mudah. Kita punya banyak perbedaan, baik dari segi usia maupun posisi kita. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin bersama denganmu, menjalani ini dengan caraku sendiri."
Lisa tersenyum lembut. "Aku akan selalu berada di sampingmu, apa pun yang terjadi. Aku tak peduli apa yang orang lain pikirkan. Yang penting adalah apa yang kita rasakan."
Malam itu, mereka berbicara lama, membuka hati mereka dengan jujur tanpa batasan. Semua ketakutan dan keraguan hilang, digantikan oleh perasaan yang tulus dan mendalam. Jennie dan Lisa akhirnya menyadari bahwa cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang layak diperjuangkan, meskipun jalan di depan mungkin tak selalu mulus.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari di Balik Langit Senja
FantasíaJennie Kim, seorang wanita berusia 40 tahun yang sukses sebagai CEO perusahaan teknologi, terbiasa menjalani hidupnya dengan disiplin dan penuh ambisi. Di balik kesuksesannya, ia adalah sosok yang tegar namun kesepian, seorang wanita yang pernah ter...