Disebuah hutan yang dipenuhi dengan semak belukar, hiduplah seekor Tupai Akar yang sangat ramah. Sangking ramahnya, hewan-hewan dihutan itu menyebutnya dengan sebutan 'Badut Akar', karena tak hanya ramah, kehadiran Tupai selalu membuat suasana meriah dengan segala canda dan gelak tawa, layaknya seorang badut yang menghibur. Setiap pagi Tupai akan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Hingga tiba dimana penghentiannya adalah disebuah muara sungai, tempat para hewan-hewan sering berkumpul. Disana mereka akan berbincang bincang dan melempar lelucon satu sama lain.
Pagi itu, seperti biasanya, Tupai akan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya menuju muara sungai. Semangatnya membara sesaat ia melihat teman-temannya sudah berkumpul disana. Ia tak tahan menahan gelak tawa, lelucon baru yang ia buat tadi malam terus berputar dikepalanya. Namun sesampainya ia disana, Tupai sedikit tersentak melihat wajah teman-teman nya yang murung. Dengan kerut diwajahnya, Tupai bertanya, "Hai! Kenapa wajah kalian murung sekali? Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Tupai mengambil duduk diatas pohon kenari tua.
"Ya, ada suatu hal besar yang terjadi!, kau ingat Burung Beo yang baru saja datang dari kota?" Ujar ular dengan semangat membara, diikuti dengan anggukan Tupai. Siapa yang tidak mengingatnya? Burung Beo peliharaan saudagar kaya yang lepas dan melarikan diri ke hutan rimba adalah cerita epik yang tidak mungkin ia lupakan. Setidaknya itulah yang ia dengar dari si Kancil tukang gosip. Entah apa kebenarannya. Tapi jika itu benar, Tupai rasa Burung Beo adalah makhluk paling tidak bersyukur didunia. Kenapa tidak? Hidup emak menunggu waktunya makan adalah hal yang diidam-idamkan Tupai selama ini.
"Baguslah kalau kamu ingat. Kemarin dia kembali ke kota namun tak lama ia langsung pulang kembali ke hutan ini. Burung Beo itu terus menerus mengulang kalimat yang sama, yaitu 'Hutan akan dibabat habis, perumahan yang besar dan megah akan dibangun'. Kamu tahu artinya apa?kita semua akan kehilangan rumah! Jelas Ular kali ini dengan dramatis.
Tupai masih tak mengerti maksud ular saat itu. Ia hanya menganggapnya angin lalu. Dengan malas tupai lalu berkata, "Hei-hei ayo semuanya tenang dulu, kita jangan percayakan 100% ucapan Burung Beo. Ingat saat kita mengira banjir akan melanda hutan ini karena Burung Beo terus menerus menirukan suara terjangan air? Kita sudah panik sekali saat itu, namun apa yang terjadi? Ternyata hanya suara batu yang dijatuhkan oleh gajah kan? Apa kalian tidak juga belajar dari kesalahan? Ayolah lupakan saja, kalian harus sedikit santai agar tidak terserang penyakit" jelas Tupai dengan sedikit seringai.
Hewan-hewan lain saling pandang, hati mereka sedikit lega mendengarnya. Betul juga, siapa tau ucapan Burung Beo tersebut adalah lelucon manusia yang tidak sengaja didengar olehnya. Dengan hati yang lega semua hewan saling pandang lalu tertawa bersama. Bodohnya mereka menelan mentah-mentah berita tersebut. Pada akhirnya bincang-bincang mereka dilanjutkan kembali dengan lelucon yang biasa mereka lontarkan.Keesokan paginya, Tupai kembali melompat menuju muara sungai, namun ia kembali kebingungan karena tak melihat satupun temannya disana. Akhirnya Tupai menuju pohon tempat tinggal burung hantu yang tak jauh dari sana.
"Hai Burung Hantu, tahukah kamu kemana perginya hewan lain?"
Kesibukan tampak diwajah Burung Hantu yang tergesa-gesa membereskan sarangnya. "Kau belum tahu Tupai? Mereka semua sudah bersiap untuk pindah, hutan kita akan dibabat habis!" Ujar Burung Hantu.
Lagi? Tupai mulai lelah mendengar paranoid teman-temannya yang itu-itu saja. "Mereka masih mempercayai itu?" Tupai menepuk jidatnya.
"Tentu saja! Kali ini kupu kupu langsung yang mengatakannya! Kau tahu kan dia tinggal di pekarangan bunga paling depan dari hutan ini. Dia mengatakan kalau ia melihat mobil mobil besar penghancur pohon telah dioperasikan. Cepatlah kau bergegas juga Tupai, yang lain sedang berlatih agar bisa terbang, berenang, atau berlari lebih jauh"
Tupai lagi lagi menganggapnya angin lalu. Menurutnya kalaupun harus kabur dari hutan ini, dia tingga kabur saja tanpa harus banyak berlatih. Toh dimanapun pasti sama saja.
Hari demi hari Tupai lalui dengan kehadiran teman-temannya yang sibuk berlatih, atau bahkan banyak temannya yang sudah meninggalkan hutan rimba itu. Walaupun kesal melihat teman-temannya yang khawatir tanpa sebab, adakalanya Tupai merasa bosan. Hati kecilnya berkata ingin ikut meninggalkan hutan itu saat ini juga. Tapi melihat keluarga Katak yang santai saja ia merasa tak ingin mengikuti jejak teman-temannya yang lain. Ia merasa ini adalah semacam ujian untuk memilih siapa yang pantas hidup dihutan rimba itu.
Hingga suatu pagi yang dipenuhi oleh kabut dan asap, Tupai tersentak dari tidurnya, suara mesin berat terus mengaung didepan pohon kenari tempatnya tinggal. Mata Tupai langsung terbelalak melihat mobil buldoser sudah membabat habis pohon-pohon disekitarnya. Reflek Tupai langsung melompati pohon pohon untuk segera menjauh dari tempat itu. Tanpa persiapan apapun, dan dengan pikiran yang kosong. Hingga Tupai tak menyadari seberapa jauh ia sudah pergi. Ditengah sungai dengan arus yang deras, Tupai kebingungan. Ia tak melihat celah untuk melompat ke pohon terdekat. Kemampuan melompatnya sungguh tak sejauh itu. Akan tetapi tak ada pilihan, Tupai mengambil lompat ke atas pohon kelapa yang jaraknya terdekat dari sungai. Namun naas, Tupai tak melihat bahwa ada jaring pemburu yang diletakkan diatas pohon itu. Tupai pun tak dapat bergerak karena kakinya terikat, badannya tergantung terjuntai.
Berhari-hari Tupai tergantung dipohon itu, beberapa kali sinar mentari berubah menjadi hangatnya sinar sang candra. Setiap hari juga Tupai habiskan dengan menangis. Jika lelah menangis, ia akan termenung, lalu bersenandung lirih.
"Kasiannya Katak, pasti ia sedang lari ketakutan sekarang, betapa beruntungnya aku tergantung disini tanpa harus lari ketakutan."
Lalu mata Tupai terpaku oleh kumpulan burung camar yang terbang menjauh dari hutan tempatnya tinggal. Tupai menyeringai, "Duh kasian deh Camar kelelahan mencari tempat yang aman, betapa beruntungnya aku tergantung ditengah hutan ini dengan aman tanpa takut dimangsa hewan lain atau terhimpit mobil besar itu"
Tupai kembali mengingat betapa sibuknya para ikan belajar berenang melewati arus. Tupai terbahak bahak, "Betapa kasiannya Ikan terus belajar, memangnya apa yang ia pelajari bisa membantunya disaat seperti ini?" Tupai menggeleng, ia meragukan hal itu.
Tanpa diketahui oleh Tupai, hewan-hewan lain telah sampai ditempat yang aman. Katak tak bersantai saja kemarin, ia sudah menyiapkan perahu yang membantunya untuk melewati sungai. Begitu juga ikan yang sudah sangat lihai karena terus-terusan berlatih.
Beberapa hari kemudian Tupai ditemukan telah tak bernyawa oleh sekumpulan Burung Gereja yang lewat. Walau selalu menertawakan teman-temannya yang sudah melakukan persiapan, diakhir hayatnya Tupai menyesal kenapa ia tidak mendengarkan perkataan teman-temannya, atau setidaknya berlatih untuk meloncat lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Rimba: Lantunan Kisah Tak Terukir Para Fauna
Short StoryKisah para Fauna yang tak pernah terukir, namun selalu mengalir bersamaan dengan hikmah yang dapat dipetik.