11. Bayang Kota, Senandung Tangis

0 0 0
                                    

Dibalik ramainya pasar yang tak pernah luput dari kunjungan manusia, hiduplah seekor tikus yang tinggal sendirian di loteng sebuah toko keju yang besar. Kesehariannya dilalui dengan menyelinap dan bersembunyi dari para manusia untuk mencuri makanan yang ada. Terkadang ia mengambil keju segar yang baru selesai di fermentasi, namun dia juga tak masalah dengan sisa-sisa keju atau makanan dari tempat sampah.

Setiap harinya Tikus kecil berwarna kecokelatan dengan ekor panjangnya itu selalu bertaruh nyawanya demi memenuhi kebutuhannya untuk makan. Dia akan beraksi saat matahari masih tergantung tinggi di langit, namun sedikit saran bagi teman-teman tikus lainnya jika ingin mengikuti jejaknya, jangan pernah mencuri makanan dimalam hari kecuali kalian sangat lincah. Karena diwaktu malam, sepanjang jalan akan dipenuhi dengan perangkap tikus yang menganga.

Detik-detik yang dilalui sang Tikus hidup disana sangatlah menyeramkan. Karena manusia selalu mempunyai seribu cara baru untuk menyingkirkannya. Jantungnya sudah sering berirama kencang tiap kali tak sengaja hampir tertangkap oleh manusia. Namun ia tak bisa menangis, ia takut tangisannya dapat didengar oleh para manusia. Sang Tikus akan selalu menahan tangis dan ketakutannya setiap saat hingga nafasnya sendiri menjadi sesak.

Akan tetapi lama-kelamaan, cara bersembunyi untuk bertahan hidup tak lagi dapat dilakukan. Tikus merasa ia tak akan bisa melalui semua perangkap itu selamanya. Ketakutannya tak dapat ia bendung, terutama setelah kejadian hari itu ketika ia menyelinap ke arah tempat sampah yang berserakan, seorang manusia melihatnya dan menyemprotkan sebuah cairan. Untung saja ia bisa kabur secepatnya, tapi ia masih sempat melihat kecoa yang ikut terkena cairan itu langsung mati dalam sekejap. Saat itu juga Tikus memutuskan untuk meninggalkan kota itu.

Saat malam tiba, ia berjalan dengan hati-hati. Tikus mengalami dilema, ia bisa pergi ke kota lain tapi ia tak yakin bisa melawati perangkap yang ada di kota itu. Atau dia bisa pergi menuju ke selatan dimana ada sebuah hutan disana dan tak ada banyak perangkap diletakkan, tapi dia juga tak yakin tentang persediaan makanan disana. Tikus kemudian memejamkan matanya sesaat, lalu ia berputar selayaknya sebuah botol, titik berhentinya adalah jalan yang akan dia ambil. Tak lama ketika tubuhnya berhenti berputar, Tikus membuka matanya, itu adalah jalan menuju ke hutan. Tikus pun meyakinkan dirinya, dan berjalan menuju hutan.

Begitulah akhirnya bagaimana sang tikus rumahan bisa tinggal didalam hutan. Tikus tersebut tinggal dibawah akar pohon yang membentuk seperti gua. Untuk keberlangsungan hidupnya dia akan memungut apel atau buah lainnya yang jatuh ke tanah. Sang Tikus pun sudah berteman dengan tetangga sekitarnya, yakni Tikus Hutan dan Tupai. Mereka kini hidup saling berdampingan dengan baik. Namun, ada satu hal tentang Tikus Rumah yang kerap kali membuat Tupai dan Tikus Hutan kesal, yakni ketika Tikus Rumah menangis setiap malamnya. Namun keesokan paginya ketika Tupai dan Tikus Hutan menanyakan apa yang terjadi Tikus Rumah selalu menjawab ia lupa. Hal tersebut tak masuk akal bagi mereka.

Tangisan Tikus Rumah disetiap malam selalu terbawa angin, sehingga membuat Tikus Hutan dan Tupai tak bisa tidur setiap malamnya. Lama kelamaan mereka resah juga. Sehingga suatu malam mereka memutuskan untuk langsung mendatangi Tikus Rumah.

Tikus Hutan dan Tupai mengetuk pintu Tikus Rumah, lalu tak lama pintu itu terbuka dan menampilkan Tikus Rumah dengan mata yang membengkak karena habis menangis. Tikus Hutan dan Tupai saling pandang, mereka menjadi kasihan kepada Tikus Rumah.

"Apa yang membuatmu selalu menangis setiap malamnya Tikus Rumah?" Tanya Tupai penasaran.

Ada jeda lama sebelum Tikus Rumah menjawab, ia makin terisak, namun mencoba menahan tangisnya.

"Hei, kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan ditahan, ya?" Kini Tikus Hutan menepuk-nepuk pelan pundak Tikus Rumah.

"Maaf kalian jadi terbangun karena aku. Hidup dihutan ini bagaikan sebuah moksha bagiku, namun kenangan tentang kehidupan lamaku masih terus berputar dikepala ketika tubuhku ingin beristirahat" Setelah mengatakan itu Tikus Rumah kembali menangis. Malam itu Tikus Hutan dan Tupai akhirnya menginap dirumah Tikus Rumah.

Namun seperti biasanya, disaat pagi Tikus Rumah akan kembali ceria seperti biasanya. Hal itu membuat Tikus Hutan dan Tupai saling pandang, ia bingung dengan sikap Tikus Rumah yang seperti itu. Apakah ia hanya berpura-pura? Pikir Tikus Hutan dan Tupai satu pikiran.

Diwaktu matahari menghangat, Tikus Rumah sedang sibuk dirumahnya, sementara Tikus Hutan dan Tupai bertemu. Mereka bertukar pikiran tentang apa kemungkinan yang terjadi kepada Tikus Rumah.

"Memangnya apa sih yang dilalui Tikus Rumah saat ia berada di kota? Bukannya disana menyenangkan karena ada banyak makanan ya?" Ucap Tikus Rumah sambil menggaruk perutnya.

"Entahlah, yang pasti kalau itu adalah masalah sepele aku akan menganggap Tikus Rumah lemah mulai sekarang" jawab Tupai.

"Tidak mungkin, tanamkanlah sebuah eunoia didalam hatimu Tupai. Hmm... haruskah kita mengunjungi kota tersebut?" Tanya Tikus. Sebenarnya ia mengatakan itu tanpa berpikir panjang, namun ternyata perkataan Tikus Hutan tadi disetujui oleh Tupai dan berubah menjadi ajakan untuk pergi ke kota tempat tinggal Tikus Rumah sebelumnya. Mereka memutuskan berangkat pagi-pagi sekali sebelum Tikus Rumah menyadari bahwa mereka sudah pergi.

Perjalanan mereka dilalui dengan rasa bahagia karena itu adalah kali pertama mereka berpergian. Sehingga  perjalanan yang memakan waktu beberapa jam itu tak terasa sehingga dalam sekejap mata mereka sudah tiba di kota.

Mata mereka dimanjakan oleh berbagai toko yang didepannya telah dipajang berbagai makanan. Perasaan bahagia mengecup hati mereka yang lelah karena perjalanan yang jauh kala itu. Mereka pun berkeliling untuk melihat-lihat pemandangan kota itu.

"Akhirnya aku menemukan ikigai ku Tupai" Ucap Tikus Hutan dengan matanya yang berbinar.

Kakinya melangkah ke arah toko roti dimana seorang manusia baru saja menyajikan roti-roti yang baru keluar dari oven. Namun baru lima langkah ia bergerak dari tempatnya, seorang manusia yang melihat keberadaan Tikus Hutan dan Tupai langsung berteriak kencang. Tak lama beberapa orang berdatangan menyemprotkan cairan kepada duanya. Untungnya mereka sudah lama hidup dihutan, jadi kaki tangkas mereka bisa menghindari semua cairan itu. Mereka tam sempat bernafas dengan benar, tak ada kesempatan untuk itu. Karena setiap kali ketahuan oleh manusia mereka akan mengejar Tikus Hutan dan Tupai sambil menyemprotkan cairan yang beracun.

Karena tak memiliki tenaga lagi untuk berlari dari manusia, Tupai dan Tikus Hutan memutuskan untuk pulang ke hutan secepatnya. Padahal saat baru sampai disana mereka berencana untuk jalan-jalan sejenak melihat-lihat keindahan kota itu. Namun kini keindahan itu hanya terdengar seperti sebuah fatamorgana.

"Ternyata ini yang dialami Tikus Rumah selama ini, pantas saja dia selalu menangis setiap malamnya!" Ujar Tupai saat mereka beristirahat dibawah sebuah pohon besar sebelum melanjutkan perjalanan ke hutan.

"Iya, pantas saja dia menangis. Kalau aku lima menit saja pasti tak akan betah disana!" Tikus menimpali sambil mengatur nafasnya.

Dari situlah mereka belajar bahwa tangisan Tikus Rumah itu bisa saja respon emosionalnya yang tak dapat ia limpahkan selama tinggal di kota. Mereka juga memutuskan untuk menanamkan sikap sonder satu sama lain. Terutama Tupai, ia lebih merasa bersalah karena sempat meremehkan kesedihan Tikus Rumah yang bahkan tak ia ketahui alasannya. Tupai berjanji akan meminta maaf kepada Tikus Rumah tentang hal itu, walaupun Tikus Rumah tak mendengar perkataan buruknya itu.

Kidung Rimba: Lantunan Kisah Tak Terukir Para Fauna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang