Disebuah taman yang berada di pusat kota, tinggallah keluarga merpati diantara pepohonan cemara yang rindang. Keluarga itu terdiri dari seekor merpati jantan bernama Alam, istrinya bernama Tera, dan anak perempuan mereka yang bernama Bina. Mereka hidup dengan sederhana dan saling mengasihi. Tak ada yang terlihat berbeda antara mereka dan keluarga merpati lainnya. Hanya saja, mungkin suara keras Tera ketika ia marah adalah satu-satunya pembeda.
Entah mengapa emosi Tara selalu meledak-ledak ketika sesuatu mengusik dirinya meski itu hanya sekecil jemari semut. Saat marah Tera akan berteriak-teriak dengan suara yang menggelegar. Terkadang setelah emosinya meledak, Tera juga akan merasa menyesal. Hanya saya ia tak dapat mengekspresikan perasaan sesalnya. Suaminya, Alan, sudah berusaha membimbing Tera untuk lebih bersikap sabar. Alan berjanji kepada dirinya sendiri untuk selalu membimbing keluarga kecilnya menjadi lebih baik.
Sementara anak perempuan mereka, bina, adalah anak yang pemalu dan pendiam, bahkan cenderung tertutup. Ia tak pernah bergaul dengan merpati muda seusianya. Yang dilakukannya hanyalah berkeliling membantu orang tuanya mencari persediaan makanan di daerah sekitarnya, lalu pulang kembali ke rumah. Selalu begitu setiap harinya.
Hingga suatu hari, saat matahari sudah akan tenggelam, Alan dan Tera yang baru saja pulang setelah berkeliling mencari persediaan makanan tak dapat menemukan keberadaan putri mereka. Bina sudah keluar dari rumah sejak tadi pagi. Biasanya sang anak akan pulang ke rumah sebelum petang. Alan dan Tera sungguh tak tenang menunggu kepulangan putri mereka yang tak ada kabar. Terutama Tera, saat sedang cemas dia akan mondar-mandir didalam ruangan sambil mengocehkan segala hal. Tak lama Tera menangis tersedu-sedu tak kuasa menahan rasa khawatirnya. Alan pun memeluk Tera mencoba menenangkannya.
"Jangan menangis istriku, aku akan pergi keluar untuk mencari keberadaan Bina" Ucap Alan dengan suara yang lembut.
"Tapi aku sangat khawatir suamiku. Tak biasanya putri kita pergi tanpa memberi tahu. Bagaimana kalau sesuatu terjadi kepadanya?" Tera tak kuasa menahan tangisnya.
Belum sempat Alan menjawab kekhawatiran Tera, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Itu adalah Bina. Melihat Bina yang baru saja pulang, sontak Tera langsung berdiri tegak. Ia langsung berlari memeluk putrinya. Disusul oleh Alan yang tentu saja sangat khawatir dengan keadaan putrinya. Namun ia harus bersikap tenang agar istrinya tak merasa khawatir.
"Dari mana saja kau, nak?" Tanya Tera kepada Bina yang terlihat bingung.
"Maaf membuat Ayah dan Ibu khawatir, aku baru saja pulang dari sungai yang ada didekat gerbang. Lihat, aku membawa banyak persediaan makanan untuk kita" jawab Bina tersenyum bangga sambil menunjukkan sekantong biji-bijian.
Tak ada yang bisa menggambarkan betapa terkejutnya Tera mendengar jawaban putrinya itu. Sungai yang dimaksud oleh putrinya tersebut adalah sungai yang terdapat didekat gerbang pintu masuk taman tempat mereka tinggal. Para manusia biasanya akan memberi makanan kepada burung-burung yang datang. Tera melarang keluarganya kesana karena tragedi yang dialami ayahnya dulu.
Disaat Tera masih menginjak masa remaja ayahnya pernah mengambil makanan yang diberikan oleh orang-orang yang berada di sungai. Tanpa sadar, saat ia memakannya ternyata makanan tersebut telah diberi racun oleh manusia yang menganggap hal itu lelucon. Setelah kejadian itu, jika Tera ketahuan mendekat dengan jarak lima meter saja dari sungai itu, ibunya akan memukul Tera hingga ia tak akan bisa menggerakkan sayapnya selama satu minggu. Sungai itu kini menjadi trauma terbesar bagi Tera.
Dengan emosinya yang memuncak kini giliran Tera yang memukuli karena tak mendengar larangannya. "Apa yang ibu katakan? Sejak kapan kau dibolehkan pergi kesana? Jangan menjadi anak yang durhaka!" Teriak Tera sambil memukuli putrinya. Sementara sang anak hanya terduduk diam sembari melindungi kepalanya.
Melihat kejadian itu Alan dengan cepat memisahkan istrinya, namun tanpa sengaja ia malah mendorong Tera hingga tubuhnya membentur dinding. Disaat itulah Tera tersadar. Apa yang sedang ia lakukan? Tera menatap kedua tangannya.
"Tera? Maaf, istriku, aku sungguh tak berniat mendorongmu, aku, aku hanya..." Ucap Alan terbata-bata dengan wajah bersalahnya.
Tera menggelengkan kepalanya. Hatinya hancur melihat putrinya yang masih tertunduk sambil melindungi kepalanya. Dengan secepat kilat ia terbang keluar rumah. Tak dihiraukannya suara Alam yang berteriak memanggilnya. Tera hanya terus terbang tanpa menoleh kebelakang sedikitpun.
Terbang tanpa tujuan Tera mengantarnya ke depan sebuah toko roti di seberang taman tempat tinggalnya. Ia duduk di atas pohon didepan toko roti tersebut. Dari kejauhan Tera dapat melihat seorang perempuan muda dengan ekspresi marahnya menunjuk-nunjuk ke arah pria tua pemilik toko roti tersebut. Tera tak mendengar percakapan mereka, tapi ia perdebatan itu diakhiri oleh sang pemilik toko roti membungkuk seperti sedang meminta maaf.
Tak lama, pria tua itu menutup toko rotinya dan berjalan pulang ke rumahnya. Tera yang menaruh simpati karena wajah melas pria tua itu mengikutinya dari jauh. Lalu sampailah pria tua tadi ke sebuah rumah sederhana yang tampak nyaman. Tak lama ia bergabung dengan istri dan anaknya yang tampak sudah berusia remaja di meja makan. Tera menghela nafas, ia jadi merindukan keluarganya.
Namun tak lama, betapa terkejutnya Tera melihat sang pria tua yang melempar makanannya ke lantai, menunjuk-nunjuk ke arah istri dan makanan itu, lalu pergi meninggalkan meja makan. Sementara sang istri tampak frustasi, ia langsung menarik taplak meja makan, membuat semua makanan yang ada di atas meja jatuh berhamburan ke lantai. Anak laki-lakinya tampak ketakutan melihat amarah ibunya. Ia langsung berlari keluar rumah.
'Padahal anak tersebut tampak seperti sudah menginjak usia dewasa, kasian sekali dia tetap tak bisa melakukan apa apa'. Batin Tera, kini ia mengekor anak pria tua tersebut.
Anak pria tua itu berteriak, ditengah sepi malam, lalu memukul dedaunan yang ia lewati. Hingga ia berhenti di depan sebuah museum yang sudah mulai sepi. Tera mencari ke setiap jendela untuk memperhatikannya lebih dekat. Anak itu tampak sedang menangis, bahkan kemeja putih yang ia kenakan dibasahi oleh air mata. Tak lama ia mengeluarkan selembar kain yang menutupi sebagian wajahnya lalu menunduk ketika beberapa orang mulai memperhatikannya. Tera tak yakin apa nama benda tersebut.
Tera melamun, ia merasa keadaan anak itu sama seperti dirinya dulu ketika di musim dingin ibunya kesulitan menemukan makanan dengan keadaan ayahnya telah pergi, ibunya yang frustasi akan memukulinya. Tapi tak lama ia tersadar putrinya juga mengalami hal yang sama karena dirinya. Bagaimana bisa orang yang terluka melukai orang lain? Batin Tera. Semua penyesalan berputar dipikirannya bak irama penuh sesal. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf kepada anaknya.
Sebelum pulang Tera teringat akan pot kecil berisi kaktus yang atasnya sudah membusuk yang ia temui diperjalanan tadi. Dengan cepat ia terbang mengambil kaktus tersebut lalu kembali masuk ke museum melalui ventilasi gedung. Diletakkannya kaktus itu didekat anak pria tua tadi yang masih tertunduk sedih. Lalu secepat kilat ia terbang untuk kembali pulang. Anak pria tua tadi tersentak, diambilnya pot kaktus tersebut lalu ia menoleh ke kiri dan kanan. Tera hanya berharap anak pria tua itu memotong bagian busuk kaktus dan merawatnya sehingga tumbuh kaktus yang indah.
Kemudian setelah perjalanannya yang membawa pelajaran, sampailah Tera didepan rumahnya. Namun saat masuk ke dalam, ia tak dapat menemukan suami dan putrinya. Dengan lesu Tera terbang keluar, sampai suara seseorang yang ia kenal memanggilnya dari kejauhan.
"Ibu! Ayah ibu kembali!" Teriak Bina yang ternyata pergi bersama ayahnya mencari keberadaan sang ibu tercinta. Bina langsung memeluk ibunya erat, disusul dengan Alan. Mereka berpelukan seakan tak ingin kehilangan satu sama lain.
"Ibu maafkan aku, aku bersalah bu. Aku mengambil biji di taman ketika aku sadar persediaan disini menipis, aku tak ingin ibu dan ayah kesusahan." Jelas Bina panjang lebar.Tera mengangguk, malu karena yang bisa dilakukannya hanyalah melampiaskan emosi kepada mereka.
"Ibu juga minta maaf, karena sering melampiaskan emosi kepada kalian" ucap Tera menatap suami dan putrinya. Malam itu keluarga mereka diselimuti rasa haru. Saat itu juga Tera berjanji untuk mulai mengontrol emosinya demi keluarganya, juga demi dirinya sendiri. Ketika emosinya mulai memuncak, Tera akan mengingatkan dirinya kepada keluarga pemilik toko roti tempo hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Rimba: Lantunan Kisah Tak Terukir Para Fauna
Cerita PendekKisah para Fauna yang tak pernah terukir, namun selalu mengalir bersamaan dengan hikmah yang dapat dipetik.