18. Confess (2)

10 4 9
                                    

Hati Aya hari ini cukup terobati berkat Jerome yang sudah mengajaknya nonton, makan, main serta belanja di mall. Aya sampai di kosan tidak terlalu malam sehingga Ia masih sempat untuk menyelesaikan sisa tugasnya.

Selesai membersihkan badannya, Aya keluar kamar membawa laptop dan beberapa modul untuk Ia kerjakan di halaman samping kosan karena lebih adem daripada di kamar.

Berkat moodnya yang sedang baik hari ini, tugas Aya dapat Ia selesaikan dengan cukup lancar tanpa hambatan. Hambatannya cuma tiga, yaitu tangan yang mulai kaku, pinggang yang pegal dan rasa kantuk yang mulai datang membuat matanya terasa sedikit berat.

Ia pun memutuskan masuk ke dapur dan membuat secangkir kopi agar lebih berenergi untuk menyelesaikan tiga paragraf lagi. Suara Aya yang grasak-grusuk saat membuat kopi rupanya membangunkan Mahendra karena kamarnya berada tak jauh dari dapur.

"Oi, kebiasaan banget lo tengah malem utek-utek di dapur," tegur Mahendra sambil mengucek matanya lalu terkekeh melihat Aya yang terkejut dengan kedatangannya.

"Eh sorry Kak, segitu berisiknya kah? Padahal gue cuma bikin kopi," sahut Aya.

"Gapapa. Emang pintu lemarinya udah lama agak rusak kan, jadinya berisik tiap dibuka-tutup."

"Sorry banget Kak jadi ngebangunin,"

"Ssst, udah ah minta maaf mulu. Emangnya lebaran," Mahendra terkekeh. "Lo nugas bukan?" tanyanya.

"Iya Kak. Mumpung lagi semangat ini gue." sahut Aya dengan riang sambil berjalan ke halaman samping.

Mahendra dengan instingnya mengikuti Aya ke halaman luar dan ikut duduk di sebelahnya.

"Lo ngapain Kak?"

Mahendra juga bingung. "Nemenin lo, mungkin?"

"Lah kok mungkin?"

Mahendra menggaruk tengkuknya. "Iya. Gue temenin ya? Tengah malem gini di luar sendirian, ngeri ah, Ya."

Aya hanya tertawa kecil. "Iya deh Kak."

Mahendra tersenyum begitu keberadaannya tidak ditolak oleh Aya. Ia memandangi Aya dan layar laptop berulang kali. Sosok Aya yang serius dan terlihat ambisius saat mengerjakan tugasnya membuat Mahendra terkadang tertawa karena gemas.

"Kenapa sih lo ketawa-ketawa gitu, Kak? Gue ada yang salah?" tanya Aya sambil memerhatikan laptopnya, takut-takut ada salah ketik.

"Bukan," Mahendra menggelengkan kepala. "Lo lucu aja pas lagi serius gitu,"

"Wah parah ini mah, ngeledek." gerutu Aya sambil menyelesaikan dua baris terakhir.

"Loh, padahal gue muji?"

"Ngga Kak, gue tersindir. Kesannya gue gak pernah serius,"

Mahendra tertawa. "Justru, lo tuh ngapain aja lucu. Mau lagi serius, lagi makan, lagi ngambek. Lucu terus,"

Aya melirik Mahendra dengan tajam padahal ada rasa geli di perutnya saat mendengarkan penjelasan Mahendra tadi.

"Beneran," Mahendra menatap Aya penuh keyakinan.

Aya memalingkan wajahnya dan segera menyelesaikan baris terakhir sebelum konsentrasinya hilang diganggu Mahendra.

"Akhirnyaaaaa beres juga," Aya meregangkan kedua tangannya ke arah langit begitu selesai menyimpan dan menyalin data tugasnya.

"Good job, Aya Kim!" Mahendra bertepuk tangan kecil untuk mengapresiasi Aya. Ia lalu menepuk kepalanya. "Yuk, masuk? Istirahat," tambahnya.

"Bentaran Kak, leha-leha dulu di sini bentar. Adem banget," ujar Aya sambil meregangkan kakinya.

"Iya bener. Cuacanya bagus," Mahendra menatap langit yang cerah serta penuh bintang malam itu.

Aya ikut memandang langit yang indah. Ia tersenyum karena moodnya sedang bagus hari ini. Lalu tiba-tiba Ia teringat Jerome yang sudah menyatakan perasaannya hari ini pada Aya.

"Kak," panggil Aya.

"Hm?"

"Lo percaya gak, pertemanan murni di antara cewek dan cowok?"

Mahendra menoleh. "Maksudnya?"

"Iya kan katanya kalau cewek sama cowok itu temenan, pasti salah satunya ada yang suka. Lo percaya gak?"

Mahendra terkekeh pelan. "Kalau menurut lo, gimana? Lo pernah, naksir sama temen cowok lo?" Ia malah bertanya balik.

Aya mengangguk. "Pernah, Kak. Tapi gak ditaksir balik hahaha." rupanya Ia membicarakan Hesa. "Kalau lo ngga pernah ya Kak?"

Mahendra tertawa. "Lo gatau, ya? Kakak lo tuh mantan gue,"

Aya melotot saking kagetnya. "Hah? Yang bener aja? Kok gaada yang ngasitau gue?"

"Udah lama sih. Lagian ngapain juga ngasitau lo," Mahendra tertawa lagi.

Kali ini Aya membayangkan Jerome. "Ih tapi hebat ya lo berdua masih bisa temenan," lalu membayangkan Hazan. "Gue malah gak bisa jujur, soalnya takut ngerusak pertemanan."

"Ngomongin Hazan, ya?"

Aya terkejut lagi, lalu melotot lagi. "Astaga. Emang gue keliatan sejelas itu ya?"

Mahendra tertawa lagi untuk yang kesekian kalinya. "Ya iyalah,"

"Tapi gue gatau, Kak. Gue gak yakin Hazan ngeliat gue balik apa ngga,"

Mahendra nyimak.

"Gue niatnya mau move on aja kalau Hazan ternyata gak ngeliat gue—"

"Gimana kalau lo ngeliat gue aja?"

"Hah?" Aya menatap Mahendra kebingungan.

"Iya, coba jangan liat Hazan mulu. Gue juga gak yakin soalnya dia anaknya gak serius. Coba lo liat gue aja, sebagai laki-laki."

"Gimana deh Kak, maksud lo?"

Mahendra tersenyum tipis sambil menatap dalam mata Aya. "Gue kayaknya naksir lo, deh."

Aya terkejut lagi. "Kak? Yang bener aja? Lo tuh udah gue anggep Kakak sendiri,"

"Gue juga awalnya nganggep lo adek sendiri," Mahendra menaruh tangannya di puncak kepala Aya. "Tapi gatau, lama-lama gue malah sayang sama lo. Bukan kayak adek lagi."

Aya hanya tersenyum sambil melepaskan tangan Mahendra dari kepalanya.

Mahendra terkekeh pelan. "Gabisa ya?"

"Sorry, Kak," ujar Aya pelan.

Mahendra tertawa untuk menghibur dirinya sendiri. "Padahal gue sayang banget, tau. Serius, bukan gombal."

"Ah, ini mah karena gue adeknya Kak Eri kali?" ledek Aya.

Mahendra tertawa lepas kali ini. "Hahahaha. Bisa jadi,"

"Cieeeee, gue bilangin ah ke Kak Eri," kelakar Aya.

Mahendra reflek menahan tangan Aya dengan raut wajah sedikit panik. "Eh jangan dong, mau taro di mana ini muka gue?"

Gantian, sekarang Aya yang tertawa lepas. Melihat itu, Mahendra ikut tertawa selebar mungkin.

Ternyata menyatakan cinta tidak semengerikan itu, dan ditolak tidak selalu harus semenyedihkan itu.

Baik Jerome dan Mahendra, keduanya lega sudah menyampaikan perasaannya pada Aya meskipun sama-sama ditolak. Dan kini keduanya mendukung penuh keputusan Aya jika memang perasaannya hanya untuk Hazan.

Tinggal Hazan yang gak tau, kapan dia bisa serius.

Tebak-Tebak Rasa ; Haechan Jeno Mark ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang