1. Kembali ke Korea

922 65 4
                                    

Pesawat baru saja mendarat di Bandara Internasional Incheon, dan suara mesin pesawat yang melemah digantikan oleh desis pelan dari para penumpang yang mulai bergerak. Di antara hiruk-pikuk itu, Choi Seungcheol duduk di kelas bisnis, meluruskan kerah jaketnya sambil mengedarkan pandangan ke arah landasan yang terlihat dari jendela kecil di sampingnya. Langit senja di Seoul berwarna oranye pucat, sebuah panorama yang terasa hangat namun asing setelah bertahun-tahun ia hidup di Berlin. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma udara pesawat bercampur dengan kesadaran baru bahwa ia sudah benar-benar kembali ke tanah kelahirannya.

"Selamat datang kembali," gumamnya pada dirinya sendiri, sedikit merasakan kebanggaan dan kelegaan. Setelah bertahun-tahun membangun anak perusahaan keluarga di Berlin, hari ini ia akhirnya dipanggil pulang untuk posisi penting di Choi Industries. Bukan hanya sebagai anak perusahaan lagi, tetapi di kantor pusat, tempat di mana seluruh strategi dan visi keluarga Choi ditetapkan. Perasaan senang bercampur haru mengalir di dadanya, tetapi di balik semua itu, ada alasan lain yang membuatnya tak sabar—dia ingin segera bertemu dengan Jihoon.

Jihoon, kekasihnya, sudah lebih dulu kembali ke Korea. Jihoon menjalankan perusahaan kecilnya sendiri, usaha yang ia rintis dengan tekun selama beberapa tahun terakhir. Bagi Seungcheol, Jihoon adalah pelabuhan tenang dalam kehidupannya yang penuh tuntutan. Selama mereka menjalani hubungan jarak jauh, banyak malam yang mereka habiskan dengan panggilan video dan pesan singkat, tetapi tentu saja, itu tidak pernah cukup untuk mengisi jarak yang terbentang di antara mereka.

Saat keluar dari bandara dengan koper di tangan, angin malam Seoul yang dingin menyambutnya, menusuk kulitnya dengan lembut. Bau kota ini berbeda—tak seperti di Berlin yang serba teratur dan tenang. Seoul memiliki hiruk-pikuk tersendiri, seolah seluruh kota bergerak dalam ritme yang cepat dan penuh energi. Di tengah lalu lalang orang-orang yang baru saja turun dari penerbangan panjang, Seungcheol merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ini adalah tempat di mana ia lahir, tempat ia tumbuh, dan tempat di mana kenangan masa kecilnya bersama teman-teman serta keluarganya masih tersimpan.

Ponselnya berbunyi, notifikasi dari Jihoon muncul di layar.

> "Sudah sampai? Kuharap kau tidak lupa membawa oleh-oleh yang kau janjikan."

Senyum Seungcheol mengembang membaca pesan itu. Meski nada pesan Jihoon terkesan dingin dan to the point, ia tahu kekasihnya itu menyimpan rasa rindu yang sama besar. Tanpa menunggu lama, ia mengetik balasan, "Sudah sampai. Aku sudah tidak sabar bertemu. Hari ini kita makan malam di tempat favoritmu."

Setelah mengirim pesan itu, Seungcheol memasukkan ponselnya ke dalam saku, menghela napas panjang sambil memandang sekelilingnya. Perasaan campur aduk mulai meresap—di satu sisi, ia senang bisa dekat dengan Jihoon dan memulai kehidupan baru di kampung halaman, tetapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan ketegangan yang mungkin akan ia hadapi di tengah keluarga dan tuntutan pekerjaan. Posisi barunya ini bukanlah hal yang mudah. Perusahaan Choi, atau Choi Industries, adalah salah satu konglomerat terbesar di Korea yang bergerak di bidang manufaktur dan teknologi, dan meskipun ia telah membuktikan kemampuannya di Berlin, tantangan di kantor pusat ini tentu lebih besar.

Seungcheol melangkah ke area kedatangan, di mana seorang sopir keluarga sudah menunggunya dengan senyuman ramah. “Selamat datang kembali, Tuan Muda Seungcheol,” sapa sopir itu sambil membungkuk hormat.

Seungcheol mengangguk sambil tersenyum kecil. "Terima kasih. Senang bisa kembali." Ia menaiki mobil yang telah disiapkan untuknya, dan pandangannya beralih ke jendela saat mobil itu mulai melaju meninggalkan bandara. Pikirannya mulai melayang ke berbagai hal yang harus ia persiapkan dalam beberapa hari ke depan.

Mobil itu bergerak melewati jalan-jalan utama Seoul yang ramai dan gemerlap di malam hari. Lampu-lampu kota bersinar seperti permata, menyinari bangunan tinggi yang berjajar di sepanjang jalan. Seungcheol merasakan jantungnya berdebar setiap kali ia melihat bangunan-bangunan megah yang mengingatkannya pada ambisi keluarganya, pada perusahaan besar yang menjadi pusat hidup mereka. Ia tahu bahwa posisi yang ia emban di sini bukanlah sekadar tanggung jawab biasa, tetapi sebuah takdir yang sudah ditetapkan oleh keluarganya sejak lama.

The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang