15. Kisah kecil

124 14 0
                                    

Malam itu, rumah Seungcheol terasa lebih hidup dari biasanya. Jeonghan tiba beberapa menit lebih awal, mengenakan sweater abu-abu lembut yang membuatnya tampak sederhana namun tetap memancarkan pesonanya yang khas. Seungcheol membuka pintu, menatapnya sambil tersenyum kecil. Mereka telah lama menjalani permainan ini, namun setiap kali melihat Jeonghan berdiri di depan pintunya, ia merasakan sesuatu yang asing—sesuatu yang belum ia akui sepenuhnya.

“Kau datang lebih awal. Ini jarang terjadi,” ujar Seungcheol sambil mengedikkan kepala, memberi isyarat agar Jeonghan masuk.

Jeonghan hanya tersenyum kecil, melepaskan sepatunya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang nyaman. “Kali ini aku ingin melihat apa kau benar-benar serius soal permainan ini,” balasnya, tatapannya penuh dengan godaan terselubung.

Seungcheol terkekeh, lalu berjalan kembali ke dapur. Aroma masakan yang tengah ia siapkan memenuhi ruangan, menambah kehangatan di rumah yang biasanya ia habiskan seorang diri. Tak lama, Seungcheol muncul dengan membawa beberapa piring, meletakkannya di meja makan. Jeonghan mengamati hidangan sederhana itu, sedikit terkejut melihat sisi lain dari Seungcheol yang biasanya lebih dikenal karena pesona karismatik dan aura percaya diri yang selalu ia tampilkan.

“Dulu aku selalu pikir kau adalah tipe pria yang hanya tahu cara memesan makanan,” komentar Jeonghan, tersenyum tipis.

Seungcheol mengangkat bahu, tersenyum lebar. “Nah, ada banyak hal tentangku yang kau tidak tahu, Jeonghan. Siapa sangka aku juga bisa memasak?” Balasnya sambil duduk di hadapan Jeonghan. “Lagipula, memasak ini mengingatkanku pada sesuatu.”

“Pada apa?” tanya Jeonghan, matanya menyiratkan rasa penasaran.

“Pada saat kita kecil dulu. Ingat? Dulu kita sering bermain-main di dapur ibuku,” Seungcheol tertawa kecil, mengingat kenangan itu. “Waktu itu, aku selalu jadi korban eksperimen masakanmu yang… yah, kau tahu sendiri.”

Jeonghan tertawa terbahak. “Astaga, aku ingat itu! Semua yang kumasak pasti berakhir berantakan, tapi kau tetap makan semuanya tanpa protes. Seolah-olah masakanku benar-benar enak.”

“Itulah bedanya kita,” Seungcheol mengangkat alis, setengah bercanda. “Aku tipe yang tidak akan mengecewakan sahabatku, meskipun harus mengorbankan lambungku sendiri.”

Keduanya tertawa, dan seiring mereka mengenang masa lalu, suasana di meja makan berubah menjadi lebih hangat dan intim. Mereka mulai makan dengan santai, berbagi cerita lama yang entah mengapa selalu membuat mereka tersenyum. Tanpa disadari, kedekatan itu membangkitkan perasaan yang nyaman dan menenangkan, seakan-akan semua waktu yang memisahkan mereka tak pernah ada.

Setelah makan malam, mereka pindah ke ruang tamu dengan masing-masing secangkir teh hangat. Mereka duduk berdampingan di sofa besar, saling bersandar di sisi yang berlawanan tetapi terasa dekat. Jeonghan menatap kosong ke arah langit-langit sambil memejamkan mata sejenak, menikmati momen damai itu.

“Kau tahu, aku selalu ingat setiap momen kita dulu,” kata Jeonghan, membuka mata dan melirik Seungcheol. “Dari semua teman, kau selalu jadi orang yang paling dekat denganku, bahkan sejak kita bayi.”

Seungcheol tersenyum kecil, mengangguk. “Aku tahu. Mungkin karena kita memang sudah bersama sejak lahir. Ibuku selalu bilang, kalau kau dan aku seperti saudara kembar yang tak terpisahkan. Apa pun yang kita lakukan, kita selalu saling dukung.”

“Ya, dulu kita hampir seperti satu paket,” lanjut Jeonghan sambil tertawa. “Orang-orang bahkan sering salah paham, mengira kita benar-benar bersaudara. Padahal kita berdua sama-sama keras kepala, sama-sama ingin menang, tapi entah kenapa kita selalu akur.”

Seungcheol mengangguk, matanya penuh dengan kenangan masa kecil. “Aku rasa, kau adalah satu-satunya orang yang selalu membuatku merasa diterima, tanpa perlu jadi orang lain. Aku ingat setiap kali kita bertemu, aku selalu merasa nyaman, seperti pulang ke rumah. Itu tak pernah berubah.”

The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang