Prologue

35 3 0
                                    

Suara mendesing!

Panasnya menyengat.

Di depan mataku, sebuah bangunan terbakar habis.

Kekacauan terjadi, baik di dalam maupun di luar bangunan.

"Aduh!"

“Tolong aku!”

Orang-orang ditelan api, menggeliat dalam kobaran api yang membakar.

Di tanganku, saat aku menatap mereka, ada sebuah sabit yang dibasahi sesuatu yang basah.

Pemandangan sabit yang dimaksudkan untuk memanen tumbuhan yang berlumuran darah benar-benar mengerikan.

"Aaaah!"

“Tolong- Tolong bantu!”

Mereka yang berhasil menyelamatkan diri dari gedung yang dilalap api berguling-guling di tanah dengan panik berusaha memadamkan api di tubuh mereka.

Tetapi api yang telah menyelimuti mereka dari kepala sampai kaki tidak mudah dipadamkan.

Mereka mati kesakitan saat daging mereka terbakar.

Meski pemandangannya mengerikan, saya tidak merasa bersalah sedikit pun.

Tidak. Aku bahkan tidak tahu apa itu rasa bersalah.

[Batuk, batuk… Janji padaku.]

[Apa maksudmu?]

[Jangan pernah… ungkapkan… sifat aslimu…]

[…Kakek.]

[Apakah orang tua ini mengajarkanmu menjadi seperti itu?!]

[…Saya mengerti.]

Janji yang kubuat kepada kakekku sebelum ia meninggal terus terngiang dalam pikiranku.

Namun, janji itu tidak ditepati.

Tidak, akan lebih tepat jika dikatakan itu adalah janji yang tidak dapat ditepati.

'Maafkan saya, Kakek.'

Aku tak bisa menghentikannya sebelum aku menemukan "bajingan" yang membuatmu sangat menderita.

Bahkan jika hasil akhirnya adalah kenyataan yang Anda takutkan, Kakek.

Semakin banyak darah yang kulihat, semakin sulit bagiku untuk mengendalikan diri.

Ekspresi apa yang sedang aku buat saat ini?

Aku bisa merasakan sudut mulutku berkedut saat menyaksikan pemandangan mengerikan dari daging dan darah yang terbakar ini.

Emosi ini tidak diragukan lagi adalah kesenangan.

'Sifat sejati…'

Mungkinkah kejahatan benar-benar merupakan sifat asli saya?

Setidaknya terasa lebih bebas daripada versi diriku yang diajarkan Kakek padaku.

Seolah aku telah terbebas dari belenggu.

“Fiuh.”

Tidak masalah.

Berkat aroma darah, aku semakin dekat untuk menemukan petunjuk tentang "bajingan itu" dengan bersemangat.

Sekarang, aku hanya perlu menghabisi para penyintas yang tersisa sebelum pergi.

Aku mencengkeram sabit dan melangkah ke arah beberapa orang yang masih hidup.

Satu langkah, dua langkah saat aku berjalan, mereka menatapku dengan mata penuh ketakutan.

Ketakutan itu tidaklah tidak menyenangkan.

Sebaliknya, hal itu semakin menggelitik niat membunuh dalam diriku.

Kisah Cheon MaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang