안녕하세요👋👋 gilak aja gua disuruh brnti jdi pnulis cumn prkra gw pake typ 'gtg' di post ig, kek tai emg, uda ngerasa keren lu jdu pnulis senior? uda ngerasa tulisan lu sesempurna itu?? heh, tai
15. TAKDIR TUHAN
Gue cuma merasa Tuhan itu gak adil ngasih kehidupan ke kita. Bahkan, Tuhan gak segan-segan ngasih tinta hitam dalam jiwa yang tadinya bersih, dan seputih kertas.
..."Maafin gue, Ra. Gue sayang sama lo."
PLAK!
Tamparan keras telak menghantam pipi Laksa.
"Percuma, gue gak mau jatuh cinta sama cowok yang belum selesai sama masa lalunya." Kata-kata itu telak menghantam telinga. Sakit, itu yang Laksa rasakan. Sakit pada pipinya tak sebanding dengan sakit hatinya. Dia tahu, datangnya dirinya dalam kehidupan gadis itu memang menambah luka baru bagi Maggiera. Apalagi, kedekatannya dengan Laksa mengundang rasa benci bagi pihak lain yang merugikan untuk Maggiera, Dina contohnya.
"Mending lo perg, temuin Dina, buat apa ngurusin gue? Gue bukan siapa-siapa lo, kan? Kita juga gak punya hubungan apapun." Maggiera kembali melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan.
Laksa di depannya terdiam. Selaput bening mulai melapisi kedua bola mata Laksa, namun tetap ia tahan agar tidak luruh. Tidak, dia tidak boleh menangis hanya karena perempuan. Tetapi di lain sisi, batinnya berteriak sedih, memaki pada hatinya yang begitu mudah memilih tempat bersinggah, padahal sudah jelas-jelas ia tak akan bisa bersinggah pada cinta gadis itu. Dia tahu persis, awal dari perasaan ini tumbuh karena sesuatu yang tak bisa ia tolak, awalnya ia mengira ia tak akan dengan mudah jatuh cinta pada gadis itu. Namun nyatanya, ia memang sudah di takdirkan untuk jatuh cinta pada orang yang salah, dan pada waktu yang salah.
Harusnya, perasaan itu tak perlu ada. Ya, rasa itu harusnya tak perlu singgah. Dari awal, sejak malam di mana ia menandatangani sesuatu di bawah lampu yang temaram, harusnya ia memang sudah tahu bahwa mendekati gadis itu sangat berisiko pada hatinya. Apalagi, seseorang menekankan untuk tidak membawa-bawa perasaan dalam melakukan apa yang harus mereka lakukan itu.
"Ra, kalo tamparan ini bakal bikin lo maafin gue dan gak ngehindarin gue lagi, gue rela, Ra. Tampar aja gapapa, tampar sampe lo puas, tampar gue sampe rasa sakit lo hilang." Laksa berusaha tersenyum. Menampilkan wajah seolah-olah dia baik-baik saja, padahal semua anak-anak di kantin itu juga tahu kalau Laksa tidak baik-baik saja setelah mendapatkan perlakuan menyakitkan seperti itu dari gadis yang dia cintai. "Ayo tampar, Ra," lirihnya dengan senyum miris.
Maggiera tak peduli, ia berbalik, menghilang dari keramaian. Aland mengekornya di belakang.
Sedangkan Laksa, ia tertunduk dalam di tengah kantin, sebelum sebuah tangan melingkar di bahunya. "Tau kan Bro, resiko yang harus lo terima setelah kesepakatan malam itu. Pada akhirnya lo dengan terpaksa harus ngelibatin perasaan." Einstein menepuk pundak Laksa beberapa kali, sedikit memenangkan sahabatnya sejak SMP itu. "Tanpa mikir apapun, lo bersikap seolah-olah lo gak akan jatuh cinta sama dia. Tapi sekarang... Apa? Diluar prediksi, lo bahkan jatuh cinta secepat itu," kata Einstein bijak. Sepertinya, otaknya sedang kerasukan Albert Einstein, tumben kan pikirannya tak amburadul.
"Gue gak jatuh cinta kok sama dia."
"Bohong. Dari dulu lo gak pernah pandai berbohong. Inget Sa, temen lu ini calon psikolog, kalo cuma liat mimik wajah orang yang lagi bohong itu urusan gampang buat gue," gumam Einstein sambil menarik Laksa duduk di kursi samping mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAGGIERA [END]
Roman d'amour"Tuhan, kemarilah, kemarilah. Aku menunggu kedatangan malaikatmu." -raa