011 After Dinner

4 1 0
                                    

Abraham membaca laporan pekerjaan karyawannya di ruang kerja, ruang dengan ukuran kecil itu cukup membuat meja kerja dan satu set sofa. Terkadang ia memilih untuk terlelap di sofa dibandingkan berjalan menuju kamarnya di tengah malam. Terdengar suara ketukan pintu yang memecah keheningan, ia melirik jam dan kembali fokus pada pekerjaannya. "Masuk aja, gak di kunci," ujarnya pada tamu yang entah siapa.

Clara masuk dengan baju tidur berbahan satin, wanita itu berjalan dengan membawa segelas jus. "Lu kebanyakan makan daging belakangan ini, nih jus buatan gue," Clara meletakkan jus itu di meja kerja Abraham. Abraham menatap mata istrinya keheranan, nada bicara yang kelewat santai ini menunjukkan dirinya ingin melakukan obrolan seperti seorang sahabat.

"Thanks, lu bisa balik," Abraham kembali menatap laporan pekerjaannya. Penanya menandai bagian yang di rasa perlu perbaikan, sesekali ia menaikkan kacamatanya. "Lu gak pergi?" Dibanding pergi Clara memilih untuk duduk di depan sang suami, tepat di sebuah kursi yang biasanya di duduki oleh Bintang ketika lembur di rumah atasannya.

"Enggak, gue nunggu lu abisin minuman lu."

"Nanti gue balikin, ke dapur."

"Bukan perkara gelasnya sih."

"Terus?"

"Gue mau ngomong soal anak kita, Acha."

Abraham menghela napasnya, ia meletakkan pena di tangannya dan merapikan dokumen yang berantakan. Kacamata bacanya ia letakkan di laci, sebelum akhirnya memilih bersandar ke kursi kerjanya. Dia udah punya prestasi, nilai dia stabil, dan dia gak keluyuran apalagi sekarang masalahnya? Abraham menerka. Ia meraih gelas jus dan meminum isinya hingga tandas. Manis. "Kenapa lagi anak itu?"

"Lu ngomong gitu kek bukan anak lu aja," Clara menyandarkan punggungnya dengan santai.

"Ya bagi gue dia kesalahan," Clara terdiam begitu mendengar kalimat itu dari suaminya. Ah ia lupa harusnya 'suami hasil perjodohan dengannya '.

"Kita sama-sama mau waktu itu."

"Tapi kita masih under age, perjodohan sialan itu yang buat gue terjebak," Abraham menatap mata Clara dengan dingin.

"Oh really? Nice bapak Abraham Alexander Purnama, segala sesuatu yang menurut lu itu tak sempurna adalah kesalahan," Clara terdengar mengejek.

"Lu mau apa sih?"

"Ngomongin Acha."

"What's wrong with her?"

"Lu buta atau gimana? Lu gak liat dia gak nyaman sama anak pertama kolega lu?"

"Maksud lu Gabriel? Anak itu ... Gak ada salahnya jadi menantu kita," Clara tercengang dengan keputusan sepihak itu.

"Lu mau Acha kek kita? Really?" Lagi-lagi Clara terdengar mengejek.

"Lu bisa gak sih gak sarkas gitu?"

"Lu bisa gak sih gak mutusin sepihak gitu? Lu gak curiga apa? Dibanding suka Gabriel itu keliatan obsesi," Clara menekan kata obsesi. "Dia bisa aja pake jalur ekstrim," perlahan Clara teringat salah satu sahabatnya yang menjadi korban pemerkosaan dan berakhir hilang tanpa kabar. Ia tak ingin anaknya seperti itu, rasanya cukup sekali ia kehilangan.

"Clara," Abraham menatap istrinya dengan intens. "Lu pikir gue gak bisa jagain anak gue?" Nada bicara Abraham terdengar begitu menekan, atmosfer ruangan yang santai menjadi begitu mencekam. Clara mundur dari tempatnya duduk, membalas tatapan tajam suaminya.

"Cara lu jagain anak lu salah, Abraham."

"Gue punya cara gue sendiri."

"Dengan kekang dia?"

"And work! Liat dia sekarang, dia punya prestasi dan image anak baik  Emang lu yang sok heart to heart? Lu yang paling nyakitin dia dengan fokus ke karir lu, lu yang duluan ninggalin dia," Abraham berdiri dari tempatnya, meraih gelas yang dibawa istrinya untuk dikembalikan ke dapur.

"Lu juga ninggalin dia, kan? Kenapa cuma gue yang salah?" Abraham menghentikan langkahnya. Kini dirinya dan Clara saling membelakangi, perlahan rasa bersalah menggerayangi hati Abraham.

"Ya seenggaknya gue berusaha buat dia keliatan baik-baik aja," jawab Abraham sambil meninggalkan Clara di ruang kerjanya.

...

Sementara itu di tempat lain ...

"Bos, lapor," Alan baru tiba di markas Lucifer di tengah malam, Japra - tangan kanan Alan di Lucifer langsung menghampiri motor Alan. Alan membuka helmnya dan langsung turun dari Kawasaki hitam miliknya, jaket kulit dengan bordir 'Lucifer' di bagian belakang menjadi identitas mereka. "Ada undangan dari 'Heaven'," Alan melirik Japra sambil menyeringai, sedikit membuat anggota Lucifer merasa merinding.

"Kapan?"

"Hari ini."

"Ya udah, apalagi yang kalian tunggu? Kita datengin mereka," Alan langsung mengenakan helmnya kembali, memposisikan motornya paling depan. Segerombolan anak remaja seusianya tampak antusias begitu mendengar respon ketuanya, mereka langsung mengendarai motor dan berbaris untuk perjalanan menuju markas 'Heaven'.

"Dio," yang di panggil mendekatkan motornya ke Alan. "Gue minta lu jagain seseorang, namanya Asha Alexa Purnama," Dio terdiam ketika Alan menyebutkan nama lengkap Asha.

Ketahuan? Jantung Dio berdegup kencang, ia menggenggam erat stang motornya seolah bersiap di kejar Alan kapanpun itu.

"Dia mantan yang Gabriel cari selama ini, lu awasin dia kalo Gabriel ngapa-ngapain kabarin gue," Dio mengangguk mendengar perintah itu.

"Okey," jawab Dio sambil memberikan acungan jempol. Belum, belum ketahuan, lu dimana sih, Alexa? ujar Dio dalam hati sambil menghela napas lega di balik helmnya.

...

"Acha-nya aku ..." Gemetar tangan Asha gemetar memegang handle pintu kamar mandi yang terbuat dari besi. Suara laki-laki puber itu terdengar begitu mencekam, "Let's play again with me, oh I see kamu suka main petak umpet yaa," detak jantung Asha menderu tak karuan, tangannya semakin erat memegang handle pintu hingga gemetaran. Keringat dingin bercucuran tanpa henti, napasnya tertahan. Sedikit banyak berharap pintu kaca itu dapat melindunginya.

"Acha, where are you?" Suaranya sedikit lebih memaksa, satu persatu pintu di buka hingga terbanting. Asha semakin menggenggam erat handle pintu, berdoa pada Tuhan mana pun yang dapat membantunya. "ACHA!" Suara itu menjadi semakin dekat. "ACHA! LU DIMANA ANJING?!"

"ACHA!"

Asha tersentak dari mimpinya, gadis itu membuka matanya lebar-lebar. Mimpi. Jantungnya berdegup kencang, napasnya menderu seolah ia baru selesai berlari marathon. Keringat membasahi kaus oversize yang ia kenakan. Ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya.

Matanya menatap sekeliling dengan hati-hati, tirai jendela kamarnya yang tipis melambai-lambai terkena angin malam yang perlahan menyusup. Lampu padam sepenuhnya, hanya ada lampu tidur dan cahaya dari luar jendela. Masih kamarnya. Ia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, jantungnya masih menderu.

Gue aman, untuk sekarang. Ya untuk sekarang.

Bersambung ...

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang