003 Tetangga Samping Rumah

75 31 18
                                    

Makasih udah mampir jangan lupa vote ya... Happy reading guys 😗

🤍🤍🤍
...

Asha mematikan tablet yang ada di meja makan, setelah dirinya selesai sarapan dengan nasi goreng yang ada di meja. Kursi lain tampak kosong, diantara tujuh kursi yang berpasangan dengan meja makan, hanya ada dua kursi yang terisi. Itu pun oleh Asha dan totebag yang akan ia bawa. Setelah sarapannya habis, Asha memasukkan tablet ke dalam totebag dan meraih kunci mobil yang tergantung bebas di pintu dekat garasi. Dengan santai, ia duduk di kursi pengemudi dan meletakkan bawaanya di kursi penumpang. Gerbang telah di buka setengah, namun asisten rumah tangganya malah berdiri sambil mengobrol dengan seseorang. Asha menghela napas, jarang-jarang gerbang setinggi satu setengah meter itu di tutup setengah.

"Ada apa, Bi?" Asha memilih keluar dari mobil mini cooper-nya yang berwarna hitam. Dress birunya melambai-lambai terkena angin semilir pagi.

"Ini, Non, tadikan bibi mau buka pager kayak biasanya eh malah ada tukang paket. Katanya ada paket buat orang di rumah ini tapi namanya orang lain," asisten rumah tangganya - Bi Tati menjelaskan dengan singkat kejadian yang terjadi.

"Mana, Bi?" Asha menerima paket itu dari tangan Bi Tati.

Baskara Putra? Bahkan pas weekend aja gue harus liat nama ini, Asha membaca nama pemilik paket nyasar itu. Ia langsung mengembalikan paket itu pada pengantar paket, wajahnya begitu kebingungan ketika menerima paket dari Asha.

"Di rumah ini gak ada yang namanya Baskara, Pak. Titip aja di satpam depan kompleks," Asha memberikan solusi yang mungkin bisa membantu. Mimik wajah pengantar paket itu langsung layu, ia hanya mengangguk dan berterima kasih pada Asha sebelum akhirnya pamit untuk pergi.

Belum kurir itu menyalakan motornya, sebuah suara berat terdengar oleh mereka. Mereka langsung menoleh pada pemilik suara, Asha mematung ketika mendapati pemilik suara itu berdiri tepat di belakang kurir.

"Maaf, Pak," Baskara berjalan setelah memastikan namanya sempat di sebut. "Paket atas nama Baskara Putra ya?" Lanjutnya pada kurir paket.

"Iya, Mas," ekspresi wajah kurir paket pun tampak cerah, ia memberikan paket itu pada Baskara. Keduanya sedang bertransaksi tepat di depan rumah Asha, tanpa memikirkan Asha yang berdiri dengan jengah. Bi Tati langsung membuka pagar lebar-lebar begitu kurir paket pergi, meninggalkan Asha dan Baskara berduaan di depan rumah.

"Harus gitu transaksi di depan rumah gue?" Asha tampak melipat tangan di depan dada, wajahnya ditekuk dalam-dalam dan rasanya emosi di dadanya belum mereda seolah selama beberapa hari terakhir Baskara belum cukup menganggu harinya.

"Eh, Asha," Baskara tampak santai melihat Asha yang ada di rumah samping rumahnya. "Ini? Rumah lu? Kita tetangga dong?" Baskara tampak sumringah.

"Bentar," wajah Asha yang menahan emosi tampak semakin samar, suaranya meninggi. "Lu? Warga baru yang tinggal samping rumah gue?" kali ini dirinya tak dapat menahan emosinya.

"Iya," Baskara tersenyum santai.

Oh shit! Dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa dia yang isi rumah di sebelah? Asha merutuk dalam hati.

"Non," Asha menoleh mendapati Bi Tati berdiri di sampingnya.

"Pagarnya udah di buka."

"Ah iya, Bi," Asha berjalan kearah mobil, meninggalkan Baskara yang berdiri di depan rumahnya. Namun, belum ia melangkah sebuah suara membuatnya menoleh.

"Wah?" Adnan tampak berdiri dengan mengenakan kaus putih dan celana pendek, sebuah sepeda tampak di sampingnya. "Kita tetangga ternyata?" Adnan tampak terkesima dengan keberadaan Asha sebagai tetangganya, sebaliknya Asha menghela napas melihat Adnan.

"Lu? Warga baru juga?" Adnan mengangguk mendengar pertanyaan Asha.

Oh God, really? Ini gue harus tetanggaan sama dua manusia ini?

...

Seminggu sebelumnya...

Baskara dan Asha resmi duduk satu bangku selama satu tahun ajaran, saat itu pula Asha mendapatkan mandat untuk memberikan jadwal pelajaran, mengenalkan seisi sekolah pada Asha, dan paling penting menemani Baskara untuk daftar keanggotaan perpustakaan karena ada beberapa buku ajar yang wajib di pinjam oleh siswa.

"Itu mereka lagi apa?" Baskara menunjuk sekelompok orang yang mengantri.

"Ngantri," Asha menjawab seadanya.

"Ngantri apa?"

"Makanan."

"Kenapa?"

"Karena di sekolah kita ada lunch," jawab Asha sambil mulai mengantri di barisan. Kebetulan jadwal angkatan mereka untuk mengantri makan siang.

"Itu apa?" Baskara menunjuk lagi kearah lain. Asha menyipitkan mata.

"Minimarket," jawab Asha mulai agak jengah dengan pertanyaan 'Itu apa?' dari laki-laki jangkung di belakangnya.

"Buat?"

"Beli snack."

"Di sini gak ada gorengan?"

"Maksud lu katsu? Ada deh kek nya," jawab Asha singkat, tangannya mengambil nampan makanan, sendok, dan garpu.

"Hah? Katsu? Bukan maksud gue bakwan, gehu, sama cipe. Emang gak ada?"

"Cipe apaan?" Asha mendelik menatap Baskara yang mengambil nasi. Petugas yang membagikan makanan pun tampak terkejut dengan pertanyaan Asha, tapi lebih terkejut dengan Baskara yang mengetahui jenis-jenis makanan yang umum di makan oleh orang menengah bawah.

"Itu ..."

"Ehm," belum Baskara menjawab antrian di belakang tampak tak sabar. Mereka akhirnya mengantri dan melupakan pertanyaan terkait cipe. Pertanyaan Baskara absurd menurut Asha, termasuk perihal cipe yang Asha saha tak mengetahui bentuknya. Ia hanya mengetahui bakwan, sisanya ia tak tahu.

Untungnya, Baskara tidak mengikuti les di tempat Asha bimbel hampir setiap hari sepulang sekolah Asha les di salah satu tempat bimbel dengan akreditasi terbaik. Di hari-hari tertentu pun ia menyempatkan les privat dengan pengajar dari beberapa kampus yang ada di kota Asha. Jadwal padat itu tentu pelipur lara bagi Asha dari pertanyaan 'itu apa?' yang selalu Baskara tanyakan.

Sayangnya Asha bahkan tak sempat menghela napas, karena di tempat bimbel ia selalu bertemu Adnan yang ternyata satu tempat lepas, kelas yang mereka ikuti berbeda memang namun ketika jam istirahat bimbel Asha biasa menikmati makanan di minimarket depan tempat bimbel menjadi terganggu dengan Adnan yang mengekor padanya. Bagi Adnan Asha adalah mentor terbaik untuknya, karena Asha membuatnya berdiri di hadapan satu sekolah dengan bangga. Sebaliknya bagi Asha sendiri Adnan seperti seekor anak ayam yang kehilangan induknya.

Dari sekian banyak perumahan di kota ini kenapa gue harus tetanggaan sama mereka?! Asha menghela napas dengan kasar sebelum akhirnya memilih untuk berjalan menuju mobilnya.

...

Halo! Makasih udah mampir di cerita aku, jangan lupa vote dan kasih komentar ya buat ninggalin jejak kalian.

🤍🤍🤍

😙 See you di next chapter 😙

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang