Asha masih bersandar pada kepala ranjang hingga pagi menjelang, tak sedikit pun ada rasa kantuk menghinggapi dirinya. Perasaan was-was dan takut mendominasi, seolah tubuh itu berasa di tempat asing. Perlahan gadis itu menengok kearah jendela, ia merasa lebih lega di bandingkan sebelumnya. Dengan ragu kakinya mulai turun dari ranjang dan berjalan dengan gontai kerah jendela, membuka lebar-lebar jendela kamar itu.
Angin pagi langsung menyentuh kulitnya perlahan, memberikan sensasi kesegaran yang membuat perasaan was-was menjadi semakin ringan. Ia menarik napas panjang, membiarkan kesejukan pagi mengisi rongga paru-parunya. Jemari lentik itu dengan ragu menyentuh teralis besi yang menjadi penghalang antara dirinya dan dunia luar, tubuhnya tiba-tiba ambruk dan hanya menyisakan tangannya yang bertumpu pada teralis. Rasa sesak di dalam dadanya ternyata belum sepenuhnya mereda.
"Non," suara Sri di balik pintu terdengar. Sedikit mengejutkan Asha hingga tanpa ia sadari tergelincir dari teralis dan terjatuh, dibanding berdiri ia membiarkan tubuhnya yang layu jatuh ke lantai yang dingin. Lelah.
"Iya?" Sri memberanikan diri untuk membuka pintu ketika mendengar suara Asha, betapa terkejutnya ia begitu melihat Asha terduduk diatas lantai.
"Non, kenapa?" Sri langsung menghambur ke arah Asha, berusaha membopong Asha untuk agar gadis itu duduk di kursi belajar dekat jendela.
"Enggak, aku cuma ... " Asha memutar matanya, mencari jawaban. "Kesemutan, iya tadi tiba-tiba kesemutan." Asha langsung menarik kakinya mundur saat Sri berusaha menarik kakinya untuk di periksa, seolah menyembuyikan sesuatu dari Sri. "Enggak usah di periksa, aku gak kenapa-kenapa kok. Ada apa ya?"
"Non, ditunggu tuan dan nyonya di bawah buat sarapan," Asha mengangguk mendengar pesan yang di berikan oleh Sri.
"Ah iya, nanti aku nyusul. Makasih," dengan agak was-was Sri memilih untuk pamit undur diri. Asha menyandarkan tubuhnya ke kursi belajar, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Rakaian ingatan yang ingin ia lupakan lewat bagai gerbong kereta api yang berlalu lalang dengan cepat, ia menghela napas pasrah sembari tangannya memijat kening. Pikirannya tiba-tiba teralihkan ketika mendengar suara gedoran pagar yang bertubi-tubi, gedoran yang jelas saja mencuri perhatian tetangga lainnya karena pagi belum juga sepenuhnya tiba. Asha mengintip perlahan dari balik jendela, matanya terpaku pada dua orang yang berdiri di depan rumah Baskara. Ia mengenal mereka, amat sangat mengenal keduanya malah.
Kenapa mereka ada di sana?
...
Suara gedoran pintu gerbang begitu menderu, di susul suara dering ponsel yang semakin nyaring memenuhi kamar Baskara. Baskara dengan kasarmeraih ponselnya yang ada di samping tubuhnya di atas ranjang, belum ada satu jam ia terlelap Minggu paginya malah di mulai dengan kebisingan."Ha..."
"Ini gue Alan," suara napasnya tersengal-sengal di balik sambungan sana, membuat Baskara sadar sepenuhnya. "Gue di depan rumah lu, buruan buka! Argh," suara erangan kesakitan membuat Baskara melompat dari kasurnya, tanpa alas kaki ia berjalan menuruni tangga secepatnya. Ia langsung membuka lebar-lebar gerbang rumahnya, matahari belum sepenuhnya terbit namun Baskara mampu melihat darah bercucuran dari kepala Alan. Ia tampak layu dengan tubuh yang di topang oleh laki-laki dengan tubuh jangkung dan berisi. Baskara dapat melihat satu dua orang tetangganya tampak mengintip dari balik jendela rumah mereka, namun ia tak menghiraukan mereka. Tanpa berlama-lama Baskara langsung menyuruh kedua orang itu masuk kedalam rumah.
"Bawa masuk! Bawa masuk!" Alan langsung di bawa masuk ke ruang tamu, pria yang membawa Alan tampak panik melihat darah di kening Alan tak henti-hentinya mengucur deras.
"Lu bantuin gue bawa baskom," Baskara memerintah orang itu dengan suara lantang. Ia tampak ragu antara harus meninggalkan Alan atau menurut pada Baskara. "Udah nurut aja!" Baskara yang gemas langsung menariknya menuju dapur, menyuruh laki-laki itu mewadahi baskom dengan air hangat. "Nanti, lu buka jaket sama celana jeans dia," ujar Baskara yang langsung menuju kamarnya, mengambil beberapa handuk bersih dan kotak P3K.
Tubuh Alan tampak naas hanya tersisa kaus pendek berwarna hitam dan kolor polos dengan warna sedana, selain itu luka memar berwarna kebiruan menjadi seperti hiasan di tubuhnya yang berkulit putih. Segera Baskara membersihkan luka yang ada di kepala Alan, luka itu ternyata hanya luka sayatan yang tak terlalu dalam. Tanpa perlu di jahit pun luka itu akan sembuh, dengan cekatan Baskara membersihkan luka itu dan menutupnya dengan kain kasa berwarna putih. Sedangkan luka-luka memar di tubuhnya di kompres dengan menggunakan handuk hangat oleh pria yang membawa Alan ke rumah itu.
"Gini doang udah kek mau sekarat," ujar Baskara. Tangannya langsung memukul lembut luka Alan yang masih tertutup kasa, selain di kepala beberapa bagian tubuh Alan pun terdapat luka yang lebih ringan. Alan meringis di buatnya, luka itu memang begitu tipis namun masih terasa begitu perih.
"Luka tetep luka ege," Alan memukul Baskara dengan bantal sofa yang ada di ruangan itu. "Ngomong-ngomong Tante Kartika mana?" Alan menoleh ke sekeliling.
"Belum balik, paling nanti lusa," ujar Baskara. "Terus lu siapa?"
"Saya?" Pria yang tampak lebih tua dari mereka itu akhirnya bersuara, Baskara mengangguk dengan pertanyaan itu. "Japra, tangan kanan Bang Alan di Lucifer," Japra tampak bangga dengan strata yang ia miliki di geng motornya itu.
"Ah iya, umurnya berapa, Bang?"
"Tahun ini 25 tahun."
"Berarti gak masalah ya gue panggil abang?"
"Santai lah."
"Ngomong-ngomong motor kalian di simpen dimana?" Pertanyaan itu membuat Japra dan Alan melongo.
"Motor?" Tanya Alan dan Japra bersamaan.
"Iya, kalian gak jalan kaki kan?"
"Allahu ... lupa masih di gerbang depan," Japra langsung mencari kunci motor yang mereka kendarai, seingat Baskara hanya ada satu motor di depan rumanya saat mereka tiba barusan. Alan pun tiba-tiba ikut kelimpungan terlebih setelah Japra bertanya, "Kuncinya mana ya?" Jadilah mereka saling pandang.
"Masih nempel?"
"Iya, Bos. Kayaknya," membulatlah mata Alan ketika mendengar jawaban dari Japra. "Cek! Cek! Buruan cek," Baskara terkekeh ketika melihat kedua orang itu saling kelimpungan ketika mencari kunci motor itu.
"Baru sekarang gue liat seorang KETUA GENG MOTOR kelabakan cari kunci," Baskara semakin tertawa nyaring ketika melihat ekspresi panik Alan.
"Anjir lu emang, bukannya bantu nyari malah ketawa-ketawa," Alan melempar satu-satunya bantal yang ada di dekatnya.
"Biarin."
Suara gaungan motor besar milik Alan terdengar, membuat Baskara berhenti tertawa namun ia masih terkekeh. Dengan tergopoh-gopoh Japra masuk ke dalam rumah sambil membawa kunci motor milik Alan. Ia langsung duduk begitu saja di samping bosnya, tanpa ia sadari ia menjadi pusat perhatian Baskara dan Alan.
"Ketemu, Bang?" Baskara bertanya dengan nada iseng.
"Ketemu, Bang. Di motor," jawab Japra. "Untung di perumahan elite, coba di kampung wah kemarin aja mio di kunci leher masih ilang," jawab Japra sambil meletakkan kuncinya diatas meja.
"Baguslah," Alan menghela napas ketika melihat kunci motornya. "Bisa-bisa duit jajan gue di potong dua tahun kalo motor ilang," jawab Alan.
"Ngomong-ngomong kalian ngapain ke sini?" Baskara tampak bertanya dengan serius ketika melihat Alan dan Japra di hadapannya.
"Gue mau ..."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissident : I Want Freedom!
Teen FictionPapa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke gue? - Asha Alexa Purnama