Tak seperti minggu-minggu lain di kehidupan sekolah Asha yang tenang dan damai, selama empat hari terakhir kepalanya pening. Perjanjiannya dengan Baskara benar-benar di manfaatkan oleh laki-laki itu, mulai dari menyuruhnya membawakan tas, menyiapkan bekal makan siang, hingga menggantikan Baskara piket kelas. Untungnya, Asha yang cerdik memberikan batas waktu. Lima hari! Selain itu, perjanjian ini hanya berlaku di sekolah, sedangkan di luar sekolah Baskara tidak dapat memerintah Asha.
Jumat sore saat mendekati jadwal pulang sekolah, notifikasi terdengar samar-samar dari ponsel Asha. Gadis itu langsung melirik ponselnya, Baskara melirik dengan intens. Ia yakin itu notifikasi dari seseorang yang spesial bagi Asha, selama empat hari terakhir ia sudah hafal berbagai notifikasi yang di miliki Asha.
D Mr. L
Kabarin aja kalo lu beres sekolah, gue jemput
It's me Asha
SiapAsha tersenyum menerima pesan itu, hal itu jelas membuat rasa penasaran bergejolak dalam diri Baskara. Diam-diam laki-laki itu melirik pesan singkat yang ada di ponsel Asha, gadis itu segera membalas pesan itu. Tentu dengan senyuman paling lebar yang Baskara tahu.
Gue curiga yang kemarin itu pacarnya, Baskara menerka-nerka dalam hati.
"Chat dari siapa?" Baskara mencondongkan tubuhnya ke arah Asha, berhadap gadis itu ingin membisikkan pesan yang ia terima.
Asha menyipitkan matanya. Curiga. "Lu banyak nanya banget sih, kek warga baru," Asha kembali melihat papan tulis, mencatat dan mendengarkan penjelasan guru seperti siswa teladan.
Dih, kalo lu punya pacar kan enak anjir. Gue gak harus kena skandal sama lu, Baskara memutar bola matanya jengah.
...
"Ini informasi yang berhasil gue terima, sisanya dari data peretasan. Nama aslinya Adnan Husein Dwi Putra, dia lebih muda satu tahun dari kalian. Dari beberapa informan bilang dia yatim piatu tapi gue gak terlalu yakin," Dio menampilkan power point dengan foto salah satu anggota Lucifer.
"Kenapa lu gak yakin?" Asha mengenakan furry mask yang menutup bagian wajahnya. Rambutnya dibiarkan terurai setengah, sedikit banyak mengejutkan Alan untuk pertama kalinya.
"Dia gabung jadi pengedar narkoba sekitar tahun lalu, kalo di tarik mundur dia pelanggan tetap tapi bukan pemakai," Dio menjelaskan lagi.
Ada dua foto yang ia tunjukkan pada slide selanjutnya, dua orang yang tampak sama. Bedanya salah satu foto menggunakan seragam salah satu sekolah elite yang ada di kota itu, sedangkan foto lainnya mengenakan pakaian urakan. Asha melihat foto pertama dengan seksama, ia yakin itu Adnan yang ia kenal bedanya hanya ada pada potongan rambut. Selama seminggu terakhir Asha pun memantau kegiatan Adnan, selain rumah Adnan tak ada lagi titik buta Asha untuk memantau pergerakan Adnan.
"Ini foto dia lagi ngedarin narkoba jenis sabu ke salah satu orang suruhan kita," Dio memperlihatkan foto transaksi barang haram itu di layar, tangannya langsung memasang hand gloves berbahan karet sebelum akhirnya membuka sebuah kotak berwarna bening. Jelas dalam kotak itu ada 5 gram sabu yang menjadi barang bukti kejahatan, dengan santai Dio membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya.
"Itu ... sabu?" Alan akhirnya membuka suara. Sejujurnya sedari tadi ia memperhatikan Asha yang berpempilan berbeda dari biasanya, apalagi hari ini ia mengenakan seragam sekolah tak seperti biasanya. Alan baru memperhatikan Dio ketika di tunjukkan slide transaksi pengedaran yang menjadi barang bukti.
"Iya," Dio meletakkan barang itu dan meletakkannya dalam ransel yang ia bawa.
"Jadi, ini akibat ulah lu yang asal masukin orang," Asha melirik tajam ke arah Alan. Baru kali ini Alan merasakan lirikan tajam gadis itu, mata Alan malah salah fokus menatapnya terutama pada bagian bulu mata yang agak lebar. "Woi!" Asha meninggikan suara.
"Iya denger," Alan memilih bersandar pada sofa, Dio mematikan laptopnya dan memilih duduk di salah satu single sofa yang kosong. Tak ada yang bersuara sejak saat Alan mengeluarkan suaranya, masing-masing dari mereka sibuk dengan isi kepalanya. "Gue laper, kalian laper?" Alan berdiri dan bertanya bergantian pada kedua bawahannya. Dio mengangguk dan Asha menggeleng. "Okey gue turun kalo gitu, nanti kalo udah dateng makanannya gue kabarin ya," Alan memilih keluar dari ruangannya. Suara langkahnya menuruni anak tangga begitu terdengar, bahkan teriakan ia memanggil orang kepercayaannya pun terdengar.
"Kak Dio," Asha memanggil Dio, jarak usia keduanya cukup jauh karena Dio merupakan mahasiswa tingkat akhir yang tengah menyusun skripsi. Dio hanya melirik malas, buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menonton video short dibandingkan mendengarkan Asha. "Ish," Asha tampak sebal dengan ketidak pedulian Dio.
"Apaan dih?"
"Gue minta tolong lu nyariin informasi seseorang boleh?" Dio terduduk, jelas mencari orang adalah bidangnya.
"Siapa?"
"Adnan Husein Pratama."
"Lah kan udah tadi, ujungnya jalan buntu," Asha menggeleng.
"Beda. Tadi Dwi Putra sedangkan yang gue minta Pratama," Dio menyipitkan matanya, ia tak percaya nama mereka hampir mirip mana mungkin satu orang memiliki dua nama yang berbeda? "Ini fotonya," Asha menunjukkan wajah Adnan yang sedang memegang piala bersama dirinya.
"Orang yang sama kali," jawab Dio yang memilih menonton video lagi. Ia memilih membuka sendal yang ia kenakan dan meringkuk di atas sofa.
"Jam berapa transaksi itu berlangsung?" Asha bertanya dengan nada serius.
"Selasa jam 2 sore di sekitaran priuk," jawab Adnan dengan malas.
Asha meraih ponselnya yang tergeletak di meja, menghubungi Adnan dengan panggilan suara dan suara sambungan menggema di ruangan itu. Sambungan tersambung, dari suaranya Adnan menjawab dengan santai.
"Halo, Kak. Ada apa?"
"Lu dimana?"
"Tempat les, Kak."
"Ah iya, Selasa jam dua lu dimana?"
"Kelas."
"Oh gitu, kelas lu CCTV nya mati gak sih? Kelas gue mati jadi agak was-was."
"Wah masa? Aman kok, Kak."
"Ah gitu okey makasih ya."
"Ada apa, Kak?"
"Enggak, see you."
Asha mematikan sambungan sedangkan Dio jelas masih di posisinya. "Retas aja CCTV kelas dia, kebetulan dia kelas..."
"10 - 1, dia beneran di kelas," Dio memotong kalimat Asha, ia langsung duduk dan menunjukkan rekaman kelas Adnan. "Jadi Dwi siapa?" Ternyata selama Asha menelpon, Dio sibuk memberikan pesan singkat pada informannya yang sedang senggang. Bagi mereka meretas CCTV merupakan hal yang biasa mereka lakukan.
"Woi!" Alan tiba-tiba datang dan mengejutkan mereka. Laki-laki itu berdiri menjulang di pintu masuk, keduanya terlalu fokus hingga tak menyadari Alan yang menuju ruangan itu. "Makanan udah ada di bawah, ayo turun," Dio dan Asha saling pandang dan mengangguk.
"Nanti nyusul," ucap Dio sambil membereskan barangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissident : I Want Freedom!
Teen FictionPapa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke gue? - Asha Alexa Purnama