009 I want Freedom

5 2 0
                                    

Sepulang dari markas Lucifer, Asha merebahkan tubuhnya dengan kaki yang masih menggantung di kasur sambil menatap langit-langin kamar. Tangannya terulur ke arah langit-langit, seolah sedang meraih sesuatu dan berusaha menggenggamnya. Gadis itu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya memilih untuk menurunkan tangannya.

Matanya teralihkan pada furry mask yang di berikan oleh Dio siang tadi, benda putih itu tampak menyumbul malu-malu dari totebag yang ia kenakan. Warna putih yang kontras dengan seprainya yang berwarna hitam, tangannya meraih benda itu dan terduduk. Jemari lentik itu dengan lembut mengelus permukaan furry mask yang polos dengan ukiran cat berwarna merah. Sedikit rasa rindu mulai menggerayangi tubuhnya, adrenalin yang terpacu ketika dirinya melanggar aturan rumah terasa begitu nyata dalam benaknya. Rasa was-was dan serangkaian kejadian yang memicu adrenalin dalam dirinya semakin kuat, namun ia menghela napas.

Freedom, I just want a Freedom, Asha tertawa pahit ketika menyadari dirinya terkurung di penjara emas. Penjara mewah yang mengharuskan dirinya menumbalkan kebebasan, kemewahan yang tak sedikit pun ia minta. Perlahan terdengar suara hujan dari arah luar jendelanya, sedari tadi cuaca memang mendung. Ia menoleh ke arah jendela,

“Kayaknya karena mendung gue jadi melankolis gini.”

Suara ketukan pintu membuatnya berjalan ke arah pintu, menyembunyikan fully mask itu di tempatnya semula. “Iya?” Asha membuka pintu kamarnya, mendapati asisten rumah tangganya berdiri di depan kamar dengan menunduk – anak Bi Tati, Sri namanya.

“Nyonya berpesan untuk makan malam bersama hari ini,” Sri tampak menunduk dalam-dalam, aura intimindasi terasa begitu kuat dari Asha yang berdiri di depan pintu kamarnya.

“Bawain telor ceplok aja ke kamar,” Asha tampak tak melepas knop pintu, tangannya yang masih menggantung seolah siap mendorong pintu itu untuk di kapanpun ia mau.

“Maaf, Non,” Sri menelan ludah, ini kali pertamanya melayani Asha, biasanya ia di dapur membantu Clara menyiapkan makan malam atau hanya menemani wanita itu mengobrol sambil membuat kue. “Makan malam kali ini akan ada tuan,” helaan napas berat Asha membuat Sri semakin gugup. Kegugupan itu malah baru di sadari oleh Asha, Asha merubah ekspresinya menjadi lebih santai dan bibirnya tersenyum tipis.

“Ah I see, ya udah kalo gitu siapin telor ceplok aja nanti di meja buat gue ... ah  I mean buat aku,” Asha tersenyum tipis, perlahan Sri memberanikan diri melihat ekspresi Asha yang berubah. Ia membalas senyuman Asha, rasa gugupnya menjadi berkurang cukup drastis.

“Baik, akan saya sampaikan,” Sri langsung pamit ke dapur saat itu juga, sedangkan Asha menghela napas lagi dan menutup pintu kamarnya dari dalam.

Ia berjalan menuju kamar mandi, ekor matanya melihat totebag yang ada di atas ranjang. Dengan santai ia menggantung tasnya itu di samping jendela besar kamarnya. Tirai tipis kamarnya perlahan melambai-lambai, jendela besar itu ternyata sedikit terbuka. Udara lembab dari hujan masuk tanpa pamrih, memberikan kesejukan untuk Asha. Lagi-lagi gadis itu menghela napas, ingatannya akan kebebasan beberapa tahun lalu bagai mimpi baginya.

Freedom, can I?

...

Asha menuruni anak tangga dengan langkah pasti, matanya langsung menangkap dua orang tuanya yang sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing. Abraham yang duduk di kursi makan tampak memberikan arahan terakhir untuk Bintang, sementara Clara baru keluar dari dapur dengan tablet besar di tangannya. Semuanya sibuk. Asha memilih duduk di tempat duduknya, menunggu kedua orang tuanya yang sibuk tanpa mengintrupsi sedikit banyak ada rasa sesal dalam hatinya karena lupa membawa ponsel.
“Gimana sekolah kamu?” Abraham memulai percakapan, laki-laki yang umurnya belum mencapai empat puluh tahun itu tampak kelelahan dengan agendanya. Sedangkan Clara, ia menutup tablet-nya dan mulai menyendokkan nasi untuk suaminya.
“Baik, Pah,” jawab Asha singkat. Asha dengan terbuka menepis Clara yang akan membawakan nasi untuknya, dengan tajam matanya menatap Sang Mama.

“Kamu jangan gitu ke mama kamu,” Abraham memulai memakannya.

“Iya,” Asha menjawab dengan malas. Sebuah telur ceplok buatan Bi Tati langsung ia letakkan di piringnya, sepiring nasi dan sebuah telur ceplok menjadi menu makan malamnya. Tak sedikit pun ia tergiur dengan cumi asam manis atau udang tepung yang dibuat oleh Clara. Tak ada percakapan lagi, mereka mulai sibuk dengan makanan masing-masing.

“Pa, Ma, duluan,” Asha bersiap pergi begitu makanan di piringnya habis.

“Jangan pergi dulu, papa mau ngomong,” darah Asha berdesir, ia langsung duduk kembali di tempatnya. Rasa was-was menggerayangi tubuhnya, takut akan ketahuan pergi ke tempat lain selain sekolah dan tempat les sore tadi. Asha menunduk, seperti seorang tersangka yang terciduk. “Besok kamu libur bimbel,” Asha menoleh. Rasa was-was dalam dirinya sirna, berganti rasa penasaran.

“Ada apa, Pah?” Clara meletakkan sendok makannya.

“Ada kolega yang mau makan malem sama kita, kebetulan mereka punya anak kembar seumuran Asha.”

“Ah iya, jam berapa?” Clara tampak penasaran. “Nanti biar aku sama yang lain masak cukup banyak.”

“Pas makan malem.”

“Oh okey,” Asha tersenyum lega.

...

“Pak Abraham, sebelumnya saya  perkenalkan dulu ini istri saya,” seorang wanita paruh baya tampak anggun diantara keluarga kecilnya. “Dan mereka dua jagoan saya Gabriel Wicaksana dan Alan Wicaksana,” kepala keluarga tamu itu langsung memperkenalkan keluarga kecilnya dengan penuh kebanggan.

“Senang berkenalan dengan keluarga anda Bapak Theodore Wicaksana,” Abraham tersenyum sambil berjabat tangan di depan kediamannya. Clara yang berdiri di samping Abraham tampak manis dengan balutan gaun rumahan bernuansa biru, ia pun tersenyum dengan menawan saat menyambut tamu keluarga mereka. Sedangkan Asha mematung di depan rumahnya, matanya bergantian melihat sepasang anak kembar keluarga Wicaksana.

Alan ketua geng Lucifer dan Gabriel ... belum Asha mencerna informasi yang ia terima, Gabriel langsung memeluknya dengan hangat. Seluruh orang terkejut dan tampak keheranan, termasuk Asha yang mematung.

“Akhirnya gue bisa ketemu sama lu, gue kangen banget, Acha,” bisikan lembut Gabriel terdengar begitu sendu, namun tubuh Asha merinding sepenuhnya.

Bersambung ...

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang