Bab 16: Jejak Masa Lalu

4 4 0
                                    

Suasana Hogwarts terasa hening malam itu. Harry mendapati dirinya kembali terjaga di tengah malam, diliputi perasaan gelisah yang tak bisa ia abaikan. Sejak malam terakhir ia dan Ginny berbincang, bayangan aneh itu terus muncul dalam mimpi-mimpinya. Sosok perempuan berjubah hitam dan cermin misterius itu tampak begitu nyata, seolah-olah ia memanggilnya kembali ke masa lalu.

Harry berdiri dari tempat tidurnya, memandang ke arah jendela asrama. Dalam diam, ia memutuskan untuk menyusuri kastil, berharap bisa menemukan jawaban atas bayang-bayang yang mengganggu pikirannya. Ia berjalan keluar asrama Gryffindor dengan hati-hati, menuruni tangga-tangga yang sunyi dan koridor-koridor panjang yang gelap, mengikuti nalurinya yang kuat untuk mencari sesuatu.

Tanpa ia sadari, langkahnya membawanya ke ruang kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang lama. Pintu kayunya terbuka sedikit, seolah-olah mengundangnya masuk. Rasa penasaran yang tak tertahankan membuatnya melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

Di dalam, suasana ruang kelas terasa sunyi, namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruangan, di atas meja tua yang hampir tertutup debu, terdapat sebuah buku yang tampak kuno. Kulitnya terbuat dari bahan tebal berwarna hitam dengan hiasan ukiran aneh di sampulnya. Harry berjalan mendekat, merasakan ada sesuatu yang kuat memanggilnya dari dalam buku itu.

Saat ia membukanya, halaman-halaman buku itu berderit pelan, memperlihatkan tulisan-tulisan kuno yang ditulis dengan tinta emas. Beberapa halaman pertama berisi instruksi rumit tentang mantra dan perjalanan waktu, seolah-olah buku itu adalah salinan lain dari buku yang pernah ia temukan saat mencari cara untuk menyelamatkan Ginny. Namun, di halaman berikutnya, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan: catatan tangan seseorang yang sangat ia kenal.

"Tidak mungkin..." gumam Harry, tangannya gemetar. Di halaman itu, ada tulisan dari Dumbledore.

"Waktu adalah jaring yang kita tenun bersama, tetapi juga jaring yang dapat menangkap kita. Berhati-hatilah, Harry, karena perubahan pada satu titik dapat memicu perubahan yang tak terduga."

Harry menatap kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa Dumbledore sedang berbicara langsung kepadanya, memperingatkannya tentang konsekuensi dari perjalanan yang pernah ia lakukan. Namun, apa yang sebenarnya telah ia ubah? Mengapa kenangan-kenangan itu tetap kabur meski ia merasa ada sesuatu yang penting di dalamnya?

Saat ia membalik halaman berikutnya, pandangannya tertumbuk pada gambar cermin yang sama seperti yang muncul dalam mimpinya cermin dengan ukiran rumit yang tak asing lagi. Cermin Tarsah. Tetapi, catatan Dumbledore menjelaskan lebih jauh, bahwa versi cermin ini, yang ia sebut sebagai “Cermin Takdir,” bukan hanya menunjukkan hasrat terdalam, melainkan kemungkinan takdir yang bisa diubah oleh si pengguna.

"Jadi... itukah yang kulihat waktu itu?" Harry bergumam. Cermin itu bukan hanya memperlihatkan keinginannya untuk bersama Ginny; cermin itu telah memberinya peluang untuk mengubah jalan hidup mereka, bahkan jika itu berarti merombak takdir dunia yang seharusnya terjadi.

Harry menutup buku itu perlahan, jantungnya berdegup keras. Ia mulai memahami bahwa perjalanannya tak hanya menyangkut dirinya dan Ginny, tetapi juga seluruh keseimbangan dunia sihir. Ia telah membuat pilihan yang bisa mengubah takdir banyak orang, namun ia tidak sepenuhnya mengingat apa yang terjadi setelahnya. Keputusan yang ia buat di masa lalu tetap misteri yang tak bisa ia jangkau.

Saat ia berdiri di tengah ruang kelas yang hening, bayangan lain muncul di pikirannya sosok Sirius, Lupin, dan Dumbledore, orang-orang yang telah berkorban untuk kemenangan dalam perang melawan Voldemort. Apakah keputusannya telah mempengaruhi mereka juga? Apakah dunia ini, yang sekarang ia jalani, masih sama seperti dulu?

"Harry?"

Harry tersentak dari lamunannya dan berbalik. Di ambang pintu berdiri Ginny, dengan raut wajah khawatir. "Kau tidak bisa tidur juga?" tanyanya lembut, mendekatinya.

Harry tersenyum lemah, menutup buku itu dengan hati-hati. "Ya, aku... aku hanya merasa ada sesuatu yang hilang. Seperti, ada sesuatu yang belum aku pahami sepenuhnya."

Ginny menatapnya dengan tatapan penuh kasih. "Kau sudah melalui begitu banyak hal, Harry. Mungkin... mungkin ada hal-hal yang tak perlu kau pahami. Mungkin cukup hanya menerima kenyataan bahwa kita bersama."

Meskipun kata-kata Ginny menenangkan, Harry merasa beban di hatinya belum sepenuhnya hilang. Namun, saat Ginny mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya, perasaan hangat dan damai memenuhi dirinya. Seolah-olah, setidaknya untuk saat ini, semuanya baik-baik saja.

"Kau benar, Ginny," jawab Harry pelan. "Aku hanya harus menerima bahwa ini... ini adalah kesempatan kedua yang aku dapatkan."

Ginny tersenyum, dan bersama-sama mereka meninggalkan ruangan itu. Namun, saat mereka berjalan berdua menuju asrama, Harry menoleh sekali lagi ke arah buku yang tertinggal di meja tua. Ia tahu, suatu hari nanti, ia mungkin akan kembali untuk mencari jawabannya.

Tapi malam ini, bersama Ginny, Harry memilih untuk hidup di saat ini. Seolah-olah, dalam genggaman tangan Ginny, ia menemukan dunia yang tak perlu ia ubah atau sesuaikan.

Namun, di dalam hatinya, ia menyadari satu hal jejak masa lalu mungkin belum sepenuhnya hilang.

Tbc

Harry Potter Dan Mesin Waktu (Hinny) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang