Chapter 3

221 60 10
                                    

Arena balap yang berada di pinggiran kota malam itu dipenuhi oleh suara deru mesin dan sorakan penonton. Lampu-lampu dari mobil dan motor para penonton menerangi sirkuit yang gelap, menambah suasana tegang dan antusias. Di tengah lapangan, dua motor dengan tampilan gagah sudah bersiap di garis start. Harvey, dengan helm berwarna hitam dan garis merah menyala, duduk mantap di atas motornya sambil memeriksa gas dan rem. Di sampingnya, Sagara dengan tenang menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak ada sedikit pun ketegangan dalam dirinya. Ia tampak percaya diri, menunduk sedikit untuk memeriksa motor sportnya yang hitam pekat dengan aksen biru.

Bara berdiri di sisi lintasan dengan bendera hitam-putih di tangannya. Ia mengangkat bendera itu tinggi-tinggi, tanda balapan akan segera dimulai. Kedua pembalap menyiapkan posisi, suara mesin mereka mengaum siap untuk melesat. Penonton menahan napas.

"Siap... Satu... Dua... Tiga!"

Bendera diturunkan, dan Harvey serta Sagara langsung tancap gas, melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan. Harvey yang terkenal gesit dan cekatan, langsung memimpin di depan, membuat para penonton bersorak keras. Ia melewati tikungan pertama dengan sangat mulus, mempertahankan kecepatan dengan kemantapan yang ia banggakan. Namun, ketika melewati tikungan kedua, ia mulai mendengar suara motor Sagara semakin mendekat di belakangnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Sagara untuk mulai mengejar Harvey. Ia tampak sangat tenang, tanpa gerakan yang berlebihan. Pada tikungan ketiga yang tajam, Sagara mengambil jalur dalam dengan presisi sempurna, mendekati Harvey dengan kecepatan yang luar biasa. Pada saat yang tepat, ia memutar setang motornya dengan lincah, membuatnya berhasil mengambil alih posisi terdepan.

Harvey sedikit terkejut saat melihat Sagara sudah berada di depannya. Ia segera menambah kecepatan, berusaha mengejar, tapi Sagara sudah melesat lebih jauh. Setiap tikungan yang sebelumnya terasa sulit bagi Harvey, Sagara lewati dengan begitu mudahnya, seolah-olah ia sudah hafal setiap inci lintasan.

Di lap kedua, perbedaan kemampuan mereka semakin jelas. Sagara menjaga keseimbangan dan kecepatan di level yang sangat stabil, membuatnya terus menambah jarak dari Harvey. Ia mengontrol motornya dengan ketepatan yang mengesankan, menghindari setiap gundukan dan tikungan tajam dengan lincah. Sagara bahkan nyaris tidak pernah menggunakan rem secara agresif, hanya melambat sedikit di tikungan sebelum kembali melesat dengan kecepatan penuh.

Di belakang, Harvey mulai frustasi. Ia tahu ia sedang kalah, dan setiap usahanya untuk menambah kecepatan justru membuatnya semakin berisiko tergelincir. Pada tikungan terakhir di lap kedua, ia terlalu agresif dan hampir kehilangan keseimbangan. Motor sempat bergoyang, namun ia berhasil mengendalikannya kembali-meskipun harus kehilangan beberapa detik berharga.

Saat memasuki lap ketiga, Sagara sudah memimpin dengan jarak yang cukup signifikan. Ia tak lagi melihat Harvey di kaca spionnya. Fokusnya hanya pada lintasan di depan, dan ia terus mempertahankan kecepatan tanpa tanda-tanda kelelahan. Sorakan penonton semakin membahana, mengiringi laju Sagara yang kian tak terkejar.

Pada detik-detik terakhir, Harvey menyadari bahwa jarak antara mereka sudah terlalu jauh. Sagara melintasi garis finish dengan anggun, sementara Harvey baru saja memasuki tikungan terakhir. Selisih waktu mereka tertera di layar yang besar-1 menit 2 detik. Sebuah perbedaan yang jelas menggambarkan betapa terampilnya Sagara dibanding Harvey di arena balap.

Para penonton bersorak riuh, sebagian tampak takjub sementara sebagian lainnya menatap Harvey dengan tatapan kecewa. Sagara turun dari motornya dengan tenang, melepas helm dan menampakkan senyum tipis di wajahnya, sementara Harvey yang baru mencapai garis finish menarik napas dalam-dalam, dengan kefrustasian yang tergambar jelas di wajahnya.

***

"Anjing," umpat Bayu dengan suara rendah, kedua tangannya terangkat untuk menutup wajahnya yang dipenuhi rasa frustrasi. Di sampingnya, Devon terlihat lebih emosional, mengacak-acak rambutnya sendiri seraya menghela napas panjang. "Sial, selisihnya lumayan juga," gumamnya dengan suara pelan, matanya terpaku pada layar besar yang menampilkan angka kekalahan Harvey-1 menit 2 detik. Angka yang cukup besar, membuatnya semakin sulit menerima kekalahan itu.

HATE TO LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang