Harvey merasakan tubuhnya bergetar hebat, tenggorokannya terasa kering dan sesak kata-kata ibunya terus berputar di kepalanya. "Kamu hamil, Harvey."
Matanya membulat, penuh ketidakpercayaan dan kepedihan yang mendalam. "E-enggak... enggak mungkin... g-gue... gue enggak mungkin hiks... enggak!" serunya dengan suara bergetar. Rasa syok yang menyergap dirinya seolah mencengkram dadanya, membuat Harvey nyaris sulit bernapas. Dia menggigit bibirnya, kepalanya terasa berputar-putar. Kenyataan pahit itu sungguh menghancurkan hatinya, lebih-lebih saat ia menyadari bahwa nyawa yang kini tumbuh di dalam dirinya adalah darah daging dari seseorang yang sangat ia benci-Sagara. Rivalnya. Lelaki yang selalu dianggapnya sebagai musuh.
Tanpa bisa mengendalikan emosinya, Harvey menoleh dan menatap gelas di atas nakas. Dalam kemarahan dan kepedihan yang bercampur menjadi satu, ia mengambil gelas itu dan melemparkannya dengan keras ke atas lantai.
Prang!
Suara pecahan kaca menggema di ruangan, memecah keheningan. Kepalan tangan Harvey bergetar saat ia menatap tajam ke arah perutnya sendiri. Tangannya terangkat dengan perlahan, kepalan itu kini berayun dengan kasar menghantam perutnya. "Enggak... hiks... g-gue enggak sudi... sialan!" ujarnya dengan suara penuh kebencian, campuran antara kemarahan dan ketidakberdayaan menyelimuti suaranya. Tangannya terus memukul perutnya yang mulai terasa nyeri, seolah-olah ingin menghancurkan kenyataan yang baru saja ia ketahui.
"Harvey!" Suara panik ibunya terdengar, menggema dari arah pintu. Wanita itu langsung berlari masuk, napasnya tersengal-sengal melihat keadaan putranya. Mata ibunya dipenuhi dengan kekhawatiran yang dalam. Tanpa berpikir panjang, ia segera meraih Harvey, memeluknya dari belakang dengan penuh keputusasaan. "Harvey, apa yang kau lakukan, Nak?! Hentikan, Harvey!" serunya, berusaha menghentikan tindakan putranya yang penuh amarah dan luka.
Namun, Harvey hanya meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan ibunya. "Lepas! Lepaskan aku, Bu! Lepas!" tangisnya pecah, suara penuh kepedihan yang tak mampu disembunyikannya lagi. Perasaannya bercampur aduk antara marah, kecewa, dan ketidakmampuan menerima takdir yang menimpanya. Ia merasa seolah dunia telah menertawakannya, menghukum dirinya dengan cara yang paling kejam.
Di tengah-tengah kekacauan itu, mata Harvey tertuju pada serpihan kaca yang berserakan di lantai. Tanpa pikir panjang, tangannya terulur, diam-diam mengambil salah satu serpihan kaca tajam tersebut. Namun, sebelum ia sempat mengarahkan kaca itu ke perutnya, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal dengan kuat.
"HARVEY!" Suara lantang ayahnya menggema, membuat Harvey tersentak. Ayahnya meraih serpihan kaca dari tangan Harvey, membuangnya ke sudut ruangan dengan tatapan penuh kemarahan. Wajah sang ayah merah padam, rahangnya mengeras, matanya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan yang dalam.
"Apa kau gila?! Apa aku mengajarimu untuk menjadi seorang pembunuh?!" bentak ayahnya tajam. Ucapan itu membuat tubuh Harvey kaku seketika. Tatapan tajam ayahnya seolah menembus jiwanya, mengguncang sisi terdalam hatinya. Harvey hanya bisa terpaku, ketakutan menyelimuti wajahnya. Ia tak pernah melihat ayahnya semarah ini sebelumnya.
"A-aku... aku tidak mau... anak sial-" ucapannya terhenti saat tiba-tiba ayahnya mengangkat tangan dan menampar pipinya dengan keras.
Plak!
Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Harvey terdiam dalam keterkejutan. Rasa panas di pipinya terasa begitu menyakitkan, namun jauh lebih sakit lagi perasaan di hatinya. Matanya melebar, perlahan beralih menatap ayahnya yang berdiri di hadapannya dengan napas terengah, amarah yang begitu besar tampak jelas di wajahnya.
"A-ayah..." bisik Harvey, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya perlahan memerah, dan air mata yang sudah sejak tadi tertahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipinya yang terasa berdenyut akibat tamparan ayahnya. Ia tidak pernah menduga ayahnya akan bereaksi sedemikian keras, tetapi di lubuk hatinya yang terdalam, Harvey tahu ia telah melukai perasaan orangtuanya dengan tindakannya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE TO LOVE
RomanceLelaki asing itu tersenyum sinis, menatap Harvey yang wajahnya semakin masam. "Sesuai perjanjian, yang kalah jadi babu 2 bulan." Harvey, sang penguasa arena, tak pernah menyangka akan ada hari di mana ia merasakan kekalahan. Malam itu, ia terhempas...