Peringatan 🔞: Bab ini mengandung konten dewasa yang tidak sesuai untuk pembaca di bawah umur. Bagi yang belum cukup umur, disarankan untuk segera meninggalkan bab ini dan melanjutkan ke bagian lain yang lebih sesuai. Mohon kebijaksanaannya dalam membaca.
______________________________________
"Panas..." gumam Harvey lirih, nyaris seperti bisikan. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi rasanya seperti ada yang menggelegak di dalam tubuhnya, memicu panas yang sulit dikendalikan. Namun, ia mencoba untuk tetap terlihat normal, meski tubuhnya perlahan terasa semakin tidak terkendali.
Sagara, yang masih berjalan di depannya, menoleh sejenak sambil menunjuk ke arah tangga yang mengarah ke lantai atas. "Kamar gue ada di lantai dua, pintu warna putih. Lo taruh aja ransel gue di sofa kamar, terus Lo bisa langsung pulang," ujarnya santai sambil melepas jaket kulit yang sejak tadi ia kenakan.
Tanpa banyak bicara, Harvey menuruti instruksi Sagara. Jika dalam keadaan normal, ia mungkin akan melayangkan penolakan, tapi saat ini, kepalanya terasa berat dan tubuhnya mulai terasa semakin panas. Ada sesuatu yang tidak biasa terjadi dalam dirinya, dan ia bahkan merasakan kehangatan yang aneh berkumpul di pusat tubuhnya, menimbulkan perasaan basah di sana yang sangat mengganggunya. "Apa-apaan ini...?" gumamnya, semakin bingung. Tangannya gemetar saat memegang ransel Sagara, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk naik ke lantai dua, mencari pintu putih yang dimaksud.
Saat sampai di depan pintu kamar Sagara, Harvey berusaha membuka pegangan pintu, tapi rasa panas yang menyerang tubuhnya membuat tangannya gemetar semakin hebat. Ia hampir terjatuh saat mendorong pintu masuk, kakinya lemas, seperti tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. "Sial... gue kenapa?" ucapnya setengah berbisik, mencoba memahami apa yang sedang terjadi padanya.
Di lantai bawah, Sagara mulai merasakan sesuatu yang sama. Tubuhnya terasa memanas, dan ada ketegangan aneh yang menjalar di sekitar perutnya, hingga ke antara kedua kakinya. Rasa sakit dan perasaan tidak nyaman mulai membuatnya gelisah. Sagara menoleh ke arah tangga, menyadari bahwa Harvey belum juga turun kembali. Kecurigaannya mulai timbul, menyadari ada yang tidak beres. Sambil mengerutkan kening, ia berjalan menaiki tangga, berniat memastikan keadaan Harvey dan memintanya segera pulang jika memang ia sudah meletakkan ransel itu di kamarnya.
"Dia ke mana?" gumam Sagara bingung saat melihat pintu kamarnya terbuka lebar, namun tidak menemukan keberadaan Harvey di sekitar ruangan. Pikirannya mulai dipenuhi dengan berbagai spekulasi, dan ia baru akan melangkah ke luar saat mendengar suara rintihan samar yang berasal dari arah kamar mandi pribadinya.
Sagara membelalakkan mata, langkahnya semakin cepat menuju kamar mandi. Ketika membuka pintu, pemandangan di depannya membuatnya terkejut sekaligus bingung. Di lantai kamar mandi, Harvey duduk meringkuk, tubuhnya setengah basah kuyup, seolah baru disiram air. Kulitnya tampak memerah, dan wajahnya berkeringat. Ada getaran halus yang terlihat di seluruh tubuhnya, seolah ia sedang menahan sesuatu yang tak terkatakan.
"L-lo kenapa?" tanya Sagara panik, belum memahami apa yang terjadi. Ia mencoba menyentuh bahu Harvey yang bergetar, namun tiba-tiba, Harvey menatapnya dengan tatapan yang buram dan menariknya kuat hingga Sagara hampir jatuh ke arah tubuhnya.
"P-panas... ugh," keluh Harvey lirih, suaranya terdengar serak dan sedikit terbata. Tanpa sadar, ia meremas kuat kaos yang Sagara kenakan, seperti mencoba mencari pijakan dalam kondisi tubuhnya yang semakin tidak terkendali.
Sagara tercekat, terpaku dengan posisi mereka yang begitu dekat. Ia bisa merasakan hawa panas yang memancar dari tubuh Harvey. "Harvey..." ucapnya pelan, bingung dengan situasi yang tiba-tiba berubah intens. Harvey semakin mendekat, wajahnya mengarah pada perpotongan leher Sagara, dan Sagara bisa merasakan nafas Harvey yang berat mengalir di kulitnya, menyebabkan bulu kuduknya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE TO LOVE
RomanceLelaki asing itu tersenyum sinis, menatap Harvey yang wajahnya semakin masam. "Sesuai perjanjian, yang kalah jadi babu 2 bulan." Harvey, sang penguasa arena, tak pernah menyangka akan ada hari di mana ia merasakan kekalahan. Malam itu, ia terhempas...