Sagara menatap lembaran dokumen di tangannya, setiap kata di sana terasa berat, menggema dalam pikirannya. Bibirnya terkatup rapat saat ia mencerna informasi yang baru saja ia terima. Mata coklatnya, menelisik setiap detail kalimat yang tertulis rapi di atas kertas. "Dia... intersex," gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
Di seberangnya, seorang pria berpakaian jas abu-abu berdiri dengan sikap profesional, menunggu instruksi selanjutnya. "Orang tuanya memutuskan untuk melakukan tindakan operasi," pria itu melanjutkan penjelasannya dengan nada terukur, "dengan mempertahankan sisi kewanitaannya, tanpa mengubah secara drastis penampilan fisiknya yang lebih menyerupai seorang pria."
Sagara mendengarkan sambil menatap dalam kertas itu, jarinya sedikit mengetuk-ketuk tepi dokumen. "Kau bisa pergi sekarang," ujar Sagara akhirnya, nada suaranya dingin namun penuh otoritas. Ia tidak repot-repot menatap pria tersebut, yang dengan segera membungkukkan badan dengan penuh hormat sebelum meninggalkan ruangan.
Setelah sendirian, Sagara kembali menatap nama yang tertulis jelas di bagian atas dokumen itu: Ethaniel Harvey Evander. Nama lengkap Harvey bergema dalam benaknya. Sagara menggumamkan nama itu, nyaris berbisik, mencoba merasakan setiap suku kata yang kini memenuhi kepalanya.
***
Sagara menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Soal kemarin malam-" ucapannya terputus ketika Harvey tiba-tiba menatapnya tajam, tatapan yang dingin dan penuh ketegasan. Tanpa menunggu Sagara menyelesaikan kalimatnya, Harvey mengangkat dagu, ekspresinya tak tergoyahkan.
"Enggak ada apa-apa di antara kita," tegas Harvey dengan nada datar namun menusuk, seakan berusaha menutup setiap celah bagi Sagara untuk merespons. "Apa yang terjadi, gue anggap Cuma angin lalu, enggak lebih. Gue harap Lo juga bisa anggap sama."
Kata-katanya membuat Sagara terdiam, sebuah keheranan tampak di wajahnya. Ia mengernyit, menatap Harvey yang tampak begitu yakin dengan kata-katanya. Ada sesuatu dalam sikap Harvey yang terasa tak biasa, seolah dia berusaha menyingkirkan semua yang sempat terjadi di antara mereka.
Harvey memalingkan muka dan mulai melangkah pergi, seolah tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Namun Sagara, yang merasa belum selesai, dengan sigap mengulurkan tangan dan mencengkeram pergelangan tangan Harvey, mencegahnya untuk pergi begitu saja. Sentuhan itu membuat Harvey terhenti sejenak, namun hanya sejenak. Dia berbalik, dan tatapan matanya memancarkan kemarahan yang tak terselubung.
"Lepasin anjing," ucap Harvey tegas, nadanya penuh ketidaksetujuan. Tanpa menunggu Sagara melepaskannya, dia menarik pergelangan tangannya dengan kasar, melepaskan diri dari genggaman Sagara.
Harvey menatapnya dengan tatapan tajam, ada kemarahan terpendam yang membuat setiap kata yang diucapkannya terdengar semakin dingin. "Gue udah bilang, dan gue minta Lo hargai keputusan gue. Cukup sampai sini. Tentang perjanjian atau kekalahan gue, gue enggak lupa, dan gue bakal tanggung jawab." Harvey menambahkan, seolah ingin memastikan bahwa Sagara tidak punya alasan untuk mengejarnya lagi.
Setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Harvey membalikkan badan dan melangkah cepat, meninggalkan Sagara berdiri sendirian di lorong kampus yang masih sepi pagi itu.
***
Harvey menoleh cepat saat mendengar seseorang menyebut namanya. Seketika matanya melebar begitu menyadari siapa yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya-Radja, lelaki yang selama ini diam-diam ia kagumi. Rasa terkejut bercampur gugup membuatnya refleks menyembunyikan surat yang hendak ia masukkan ke dalam loker Radja. Surat cinta yang disusun dengan hati-hati dan penuh perasaan, lengkap dengan inisial namanya. Tentu saja, Harvey masih cukup waras untuk tidak menuliskan namanya sendiri di dalam surat itu; ia lebih suka membiarkan perasaannya tersirat secara anonim.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE TO LOVE
RomanceLelaki asing itu tersenyum sinis, menatap Harvey yang wajahnya semakin masam. "Sesuai perjanjian, yang kalah jadi babu 2 bulan." Harvey, sang penguasa arena, tak pernah menyangka akan ada hari di mana ia merasakan kekalahan. Malam itu, ia terhempas...