Harvey berjalan di koridor kampus bersama Bayu, berbincang ringan sembari menikmati suasana kampus yang ramai oleh mahasiswa yang lalu-lalang. Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang dosen memanggil mereka dari kejauhan. Harvey dan Bayu dengan cepat menghentikan langkah, menoleh ke arah dosen yang berjalan mendekat. Keduanya membungkuk sopan.
"Bayu, kamu ikut ke ruang saya. Ambil soal kuis hari ini di meja," ucap dosen berkumis tebal itu, nada suaranya tegas. Bayu segera mengangguk sambil tersenyum sopan, menunjukkan bahwa ia siap menerima tugas tersebut.
"Baik, Pak," jawab Bayu dengan hormat.
Dosen itu kemudian beralih menatap Harvey. Pandangannya penuh harap, sementara Harvey membalas dengan senyum sopan dan anggukan kecil. "Harvey, ini ada setumpuk berkas. Tolong kamu bawa ke ruang lab, taruh di meja, lalu pastikan pintunya terkunci kembali setelahnya," ujarnya sambil menyerahkan setumpuk berkas ke tangan Harvey.
"Baik, Pak," jawab Harvey sambil merapikan berkas-berkas di pelukannya agar lebih mudah dibawa.
Bayu, yang mendengar kata "lab," langsung terdiam sejenak dan menatap Harvey dengan kaget. Ia menyadari bahwa ruang laboratorium berada di lantai empat, sementara mereka saat ini ada di lantai satu. Tangga yang perlu dilalui cukup banyak, dan dengan kondisi Harvey saat ini, Bayu merasa tak nyaman membiarkan sahabatnya membawa beban seberat itu sendirian. Ia ingat bahwa lift di fakultas mereka sedang dalam perbaikan, jadi Harvey tak punya pilihan lain selain menaiki tangga.
Bayu hendak menawarkan diri untuk menggantikan Harvey, mengingat ia tahu kondisi sahabatnya yang sedang hamil, tetapi saat ia membuka mulut untuk bicara, Harvey sudah memberikan tatapan tegas dan gelengan pelan, seolah memberi isyarat bahwa ia bisa mengatasinya. Bayu pun akhirnya menahan diri, meski hatinya merasa berat.
"Ayo, Bayu," ujar sang dosen seraya mulai berjalan menuju ruangannya, sedikit mendesak Bayu untuk mengikutinya.
"I-Iya, Pak," jawab Bayu, tersenyum pasrah. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke arah Harvey sekali lagi, dan Harvey mengangguk pelan, seolah ingin meyakinkan Bayu bahwa dirinya baik-baik saja. Dengan berat hati, Bayu pun mengikuti dosennya, meninggalkan Harvey yang kini sendiri dengan tumpukan berkas di tangannya.
Begitu Bayu dan dosen mereka sudah cukup jauh, Harvey menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai perjalanan ke lantai empat. Ia tahu ini akan melelahkan, tetapi ia tak ingin merepotkan Bayu atau siapapun. Setelah menghembuskan napas perlahan, Harvey mulai menaiki tangga dengan langkah mantap, meskipun pelan dan berhati-hati.
Namun, tanpa disadarinya, ada seseorang yang memperhatikan percakapan mereka tadi dari kejauhan. Orang itu adalah Nando, yang kebetulan lewat di dekat mereka dan mendengar instruksi dosen pada Harvey. Saat melihat Harvey mulai menaiki tangga menuju lantai empat, Nando tercengang.
"Anjir, lab kan ada di lantai empat... bukannya Harvey lagi hamil?" gumam Nando dengan cemas, mengernyitkan dahi sambil terus memperhatikan Harvey yang tampak kesulitan membawa tumpukan berkas tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Nando segera berlari cepat, bergegas menuju kelas Sagara. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu betul bahwa kondisi Harvey tidak seharusnya dibebani tugas berat seperti itu, dan ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Sagara jika mengetahui Harvey harus menaiki tangga sebanyak itu.
Begitu sampai di depan kelas, Nando langsung memanggil nama Sagara dengan suara lantang, "Sagara!" Suara teriakan paniknya mengundang perhatian seluruh kelas yang kini menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. Sadar bahwa ia telah menjadi pusat perhatian, Nando tersenyum kikuk, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda minta maaf.
Ia kemudian melangkah cepat ke arah meja Sagara, yang duduk bersama Bara, sahabatnya yang juga menatap Nando dengan heran.
"Kenapa, Lo, Ndo? Kok panik banget?" tanya Bara sambil mengerutkan kening, merasa penasaran dengan kegelisahan yang terpancar dari wajah Nando.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE TO LOVE
RomanceLelaki asing itu tersenyum sinis, menatap Harvey yang wajahnya semakin masam. "Sesuai perjanjian, yang kalah jadi babu 2 bulan." Harvey, sang penguasa arena, tak pernah menyangka akan ada hari di mana ia merasakan kekalahan. Malam itu, ia terhempas...