Setelah pernikahan yang berlangsung singkat itu, Harvey kembali ke apartemen Sagara, tempat mereka akan tinggal. Sagara telah memutuskan untuk tinggal di apartemen pribadinya, alih-alih di kediaman mewah milik keluarganya, setidaknya untuk memberi mereka ruang. Di apartemen tersebut, Harvey kini duduk bersama Erlan dan Zay, sahabat-sahabatnya yang telah menemaninya melewati berbagai momen sulit. Ketiganya duduk di sofa besar, di ruang tengah yang sederhana namun nyaman, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka.
Erlan yang duduk di samping Harvey tak tahan untuk tidak bercanda, meskipun ia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat. “Anjir, suka sama kakaknya, tapi malah nikah sama adiknya,” ujarnya setengah bercanda, meskipun ia sadar bahwa ucapannya menambah tekanan di wajah Harvey yang terlihat lelah.
Harvey menghela napas panjang, menatap kosong ke depan. Dalam benaknya, ia masih belum sepenuhnya menerima kenyataan ini. Perasaannya untuk Radja—kakak Sagara, yang selama ini ia kagumi dan hormati—masih ada, meski ia tahu itu adalah perasaan yang tak akan pernah terbalas.
Zay yang duduk di sampingnya kemudian menyela, mencoba berbicara dengan nada lembut namun tegas. “Vey, kalau boleh jujur, gue ngerti kenapa lo suka sama Kak Radja. Dia punya segalanya—cakep, karismatik, baik dan jelas menonjol. Gue bisa ngerti, siapa pun pasti bisa jatuh hati sama dia,” Zay berhenti sejenak, mencoba menata kata-katanya. “Tapi, lo sekarang pasangannya Sagara. Lo harus mulai nerima kenyataan itu. Kak Radja sekarang udah punya calon istri, Jisella, yang Cuma beda jurusan aja sama kita. Lo tahu kan siapa Jisella Anastasya Putri?”
Harvey mengangguk pelan, merasa semakin sesak mendengar nama wanita itu. Jisella Anastasya Putri—wanita cantik dan cerdas dari jurusan kedokteran yang selama ini dikenal sebagai sosok yang sempurna. Berasal dari keluarga terpandang dan memiliki latar belakang yang sepadan dengan Radja, Jisella adalah pasangan yang ideal bagi Radja. Bagi Harvey, melihat sosok Jisella bersama Radja seakan menegaskan bahwa mereka memang ditakdirkan bersama. Sementara itu, dirinya, seorang Harvey yang hanya berasal dari keluarga biasa, kini malah menjadi bagian dari keluarga Pramana dengan status yang sama sekali tak ia harapkan—sebagai istri dari Sagara.
Harvey mengalihkan pandangannya, menunduk menatap perutnya yang masih datar. Hatinya dipenuhi dengan perasaan benci dan amarah pada situasi ini. Dengan suara bergetar namun penuh keteguhan, ia berbisik, “Gue bakal tetep cerai setelah bayi ini lahir.” Kata-kata itu seperti, tekad untuk memutuskan rantai yang mengikat dirinya pada pernikahan yang tak diinginkannya.
Erlan dan Zay saling menatap dengan tatapan penuh kekhawatiran. Mereka paham betapa sulitnya situasi ini bagi sahabat mereka. Namun, di balik semua keputusan Harvey, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan mungkin tak akan berjalan semudah yang dibayangkan. Mereka hanya bisa menghela napas berat, berharap agar Harvey menemukan kebahagiaan di tengah semua kekacauan ini, meskipun mereka tahu bahwa harapan itu tampaknya jauh dari jangkauan.
***
Harvey tersentak ketika pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram kuat. “Apa-apaan, Lo?!” serunya marah, memandang Sagara dengan tatapan melotot penuh emosi. Lelaki itu tanpa ekspresi menarik sebatang rokok yang sudah menyala dari jari Harvey, dan tanpa ragu, ia melemparkan batang rokok itu ke bawah balkon. Tak cukup sampai di situ, Sagara meraih kotak rokok di tangan Harvey, mematahkannya satu per satu hingga hancur, lalu melemparkannya ke tong sampah dengan gerakan tegas.
“Masuk. Udah malem,” ujar Sagara dengan suara rendah yang terdengar dingin namun tenang. Pandangannya tidak goyah sedikit pun meski Harvey melemparkan tatapan tajam penuh amarah padanya.
Kedua tangan Harvey terkepal kuat, menahan rasa kesal yang bergejolak di dalam dadanya. Ia menatap Sagara dengan rahang yang mengeras, lalu melangkah cepat menuju tong sampah di sudut balkon, bermaksud mengambil kembali kotak rokoknya yang sudah hancur di dalam sana. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Sagara mendekatinya, dan dalam hitungan detik, Harvey merasakan tubuhnya diangkat paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE TO LOVE
RomanceLelaki asing itu tersenyum sinis, menatap Harvey yang wajahnya semakin masam. "Sesuai perjanjian, yang kalah jadi babu 2 bulan." Harvey, sang penguasa arena, tak pernah menyangka akan ada hari di mana ia merasakan kekalahan. Malam itu, ia terhempas...