Saksi Perasaan

17 7 1
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Tempat itu seakan menjadi saksi akan awal mula berseminya sesuatu di hatiku, ketika aku kembali mendekat, kembali mengunjungi tempat itu, kaulah yang pertama ku ingat, bahkan ketika tujuanku bukanlah dirimu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tempat itu seakan menjadi saksi akan awal mula berseminya sesuatu di hatiku, ketika aku kembali mendekat, kembali mengunjungi tempat itu, kaulah yang pertama ku ingat, bahkan ketika tujuanku bukanlah dirimu.

-Ameer Zaidan Al-Habibie-

°

🍂🍂🍂

Rumah bercat biru langit milik paman Ilyas kini bisa Ameer lihat dengan jelas. Rumah sederhana dengan suasana sejuk menjadi salah satu hal yang membuat Ameer merasa betah untuk berlama-lama dirumah pamannya itu.

Mobil miliknya telah terparkir rapi di garasi rumah pamannya. Karena memang sudah menjadi kebiasaan ketika mereka berkunjung mobil selalu langsung di parkir di garasi jika tidak akan di pakai lagi atau ketika cuaca sedang hujan seperti kali ini.

Tak lama kemudian seseorang membukakan pintu lalu menyambut mereka dengan begitu ramahnya.

"Assalamu'alaikum Rahma, kamu apa kabar?" Maryam Ibunya Ameer yang terlebih dahulu menyapa dan menanyakan kabar adik iparnya.

"Waalaikumsalam, Masya Allah mbak udah sampai, Alhamdulillah aku baik kok mbak."

"Mas sama mbak, gimana kabarnya? Ameer nak kamu juga apa kabar?" Sambung Rahma, bibinya Ameer istri dari paman Ilyas.

"Alhamdulillah kita semua baik," kini Ayah Ameer yang menjawab disertai senyuman.

"Alhamdulillah," ucap Rahma.

Tak lama sosok pria dengan janggut tipis keluar dari rumah bersama seorang anak laki-laki, dengan senyuman yang sangat hangat, hendak menyambut Ameer beserta keluarganya.

"Alhamdulillah, kalian udah sampai," ucap Ilyas.

"Paman, bibi, mas Ameer, Raihan rindu kalian," ucap anak laki-laki bernama Raihan itu.

"Raihan kamu apa kabar?" Tanya Rifa'i.
"Baik paman," jawab Raihan antusias.

Mereka saling bersalaman, terkecuali Rifa'i dan Ameer yang tidak bersalaman dengan Rahma, mereka bukan mahram.

" Kita ngobrolnya di dalam aja, mari masuk," ajak Ilyas.

"Mari, silahkan masuk, Ameer ayo nak." ucap bibi Ameer tak kalah ramahnya.

Mereka pun masuk kedalam rumah, dengan Ameer yang merangkul Raihan.

🍂🍂🍂

Rasa letih yang Ameer rasakan setelah menempuh jarak yang terbilang jauh, kini telah terbayar tuntas karena kehangatan keluarga pamannya dalam menyambut dan melayani mereka dengan penuh kasih sayang.

TAKDIRKU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang