Game : Ketujuh

49.6K 2.5K 269
                                    

--FADLY POV--

Aku menyeringai penuh kemenangan dari balik tembok menyaksikan bocah sialan itu menderita. Melihat air matanya jatuh, melihat bibirnya bergetar karena ketakutan, melihat tubuhnya yang terhuyung membuatku senang jika melihatnya. Aku tidak akan puas sebelum dia menderita semenderitanya. Bahkan kalau perlu akan aku buat bocah sialan itu mati secara perlahan. Akan selalu kugoreskan luka dalam hatinya setelah itu akan kutaburi garam. Rasanya pasti perih, perih sekali. Hingga dia tidak mampu membedakan lagi mana yang namanya sakit, mana yang namanya perih, mana yang namanya kebahagiaan. Senyum seringaiku kembali tersungging di bibirku.

***

--RAMA POV--

Aku terus melangkah tak tentu arah. Hatiku kesal dan kecewa. Hatiku masih miris mendengar beasiswaku telah dicabut. Ini semua gara-gara Chiko sialan itu. Eh, tunggu dulu. Mengapa aku menyalahkan dia. Dia kan sebenarnya tidak tahu apa-apa. Bukankah Fadly yang merencanakan ini semua. Seandainya dulu aku tidak menerima kesepakatan itu dengan Fadly. Tidak melakukan 'hubungan' itu dengan Chiko. Tidak merekamnya. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Seharusnya kan aku menyalahkan Fadly atas semua ini. Tapi, Chiko juga salah. Arrrggghhh...., aku pusing sendiri memikirkan itu. Yang jelas ini semua karena Chiko sialan itu. Sekarang apa yang harus aku perbuat? Beasiswaku sudah dicabut. Dan tidak mungkin lagi aku bisa meneruskan sekolahku disini tanpa beasiswa itu!

***

Ini adalah hari ketiga aku di skors. Ini semua gara-gara Chiko sialan itu. Aku tahu sebenarnya Chiko tidak salah apa-apa dalam masalah ini. Tetapi entah mengapa aku melimpahkan kesalahan ini padanya. Entah mengapa juga Aku kesal karena dia bilang yang sebenarnya kepada kepala sekolah. Sebenarnya aku juga kasihan setiap melihat dia yang selalu dikerjai. Apalagi si Fadly yang menurutku sudah keterlaluan jika dia mulai mengerjainya. Eh, mengapa aku memikirkan dia? Ini bukan urusanku kan? Ah entahlah. Menurutku yang membuat aku di skors dan beasiswaku dicabut adalah dia, Chiko titik!!.

Aku mulai kembali melakukan aktivitasku di tengah teriknya matahari siang ini. Peluh keringat yang membanjir telah membasahi kaos oblong dan celana 3/4 yang aku kenakan. Sengatan matahari yang mulai membakar permukaan kulitku. Bersag-sag semen telah menantiku untuk di pikul. Begitu juga dengan pasir-pasir dan batu bata yang menunggu giliran. Ya, sekarang ini aku menjadi seorang kuli bangunan mengisi kekosongan saat aku di skors. Meskipun dapat upah yang tidak seberapa yang penting bisa membantu kebutuhanku dan ibuku. Apakah ibuku tau kalau aku melakukan pekerjaan ini? Tentu saja tidak, beliau tidak akan pernah mengizinkan aku bekerja berpanas-panasan seperti ini. Yang beliau tau saat ini aku sedang duduk manis di dalam kelas mendengarkan guru yang sedang menerangkan. Sengaja aku tidak memberitahu ibuku kalau aku di skors oleh pihak sekolah. Terlebih lagi beasiswaku telah dicabut. Ibuku pasti sedih dan juga kecewa jika mengetahui hal itu. Karena beliau ingin melihat aku, anaknya menjadi orang yang sukses. Terpaksa setiap pagi aku selalu berpamitan kepada ibuku untuk berangkat sekolah dengan seragam lengkap. Tapi setelah aku meninggalkan rumah, seragam ini telah berganti dengan baju yang kusimpan di dalam tas dan bergelut dengan semen dan pasir. Kalau boleh jujur aku tidak mau berbohong seperti ini kepada ibuku. Tapi daripada melihat ibuku sedih terpaksa aku berbohong.

Aku tengah duduk dibawah tenda yang terbuat dari layar yang sudah kumal. Meneduh dari teriknya matahari. Meneguk sebotol air putih pemberian dari pak Budi, seorang bapak-bapak yang juga bekerja sebagai kuli bangunan. Selama ini beliau sangat baik padaku. Selalu menasehatiku dan memberiku motivasi. Kurasakan kehangatan seorang bapak yang selama ini tidak pernah kurasakan lagi. Dari jauh samar-samar kulihat seorang wanita berseragam abu-abu berjalan setengah berlari kearahku. Aku tau wanita itu adalah Rianty. Dia yang selama ini telah banyak membantuku. Sebenarnya ketika dia tau beasiswaku telah di cabut dia ingin minta tolong pada ayahnya agar mau membiayai sekolahku. Aku tentu saja menolaknya. Dia selama ini sudah sering membantuku. Aku tidak mau terlalu banyak hutang budi padanya. Begitu juga saat aku bekerja disini sekarang. Dia amat sangat menghargai keputusanku dan dia juga berjanji tidak akan memberitahukan semua ini kepada ibuku.

GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang