Esok paginya, Zean terbangun dengan perasaan yang masih sama seperti malam sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Adel, senyumannya, caranya berbicara, bahkan tawa kecilnya yang membuat hatinya terasa hangat. Dia tak bisa menepis perasaan itu. Bagaimanapun, pertemuan singkat itu seolah meninggalkan kesan yang mendalam. Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tetapi di dalam hatinya, semuanya terasa sedikit berbeda. Seperti ada sesuatu yang baru yang sedang berkembang.
Zean berusaha untuk tidak terlalu terlarut dalam perasaan itu. Dia beranjak dari tempat tidur dan mulai menyiapkan diri untuk hari yang baru. Pekerjaan menanti, dan meskipun pikirannya terpecah, dia tahu bahwa dia harus tetap fokus. Kegiatan bisnis, rapat penting, dan segala hal yang berhubungan dengan karier tetap harus menjadi prioritas utama.
Namun, ketika dia turun ke ruang makan, suasana di rumahnya langsung terasa berbeda dari biasanya. Zean melihat ayahnya, Gracio, duduk di meja makan sambil membaca koran, sementara ibunya, Shani, sedang menyiapkan sarapan. Christy, adiknya, seperti biasa duduk di meja, sibuk dengan ponselnya.
"Pagi, Nak!" sapa Shani, sambil meletakkan sepiring telur dadar di meja untuk Zean. "Ayo, makan dulu, nanti keburu terlambat."
Zean membalas dengan senyuman tipis, lalu duduk di kursi. Perutnya terasa sedikit cemas, meskipun sarapan yang disajikan cukup menggugah selera. Tapi tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian Zean dari pikirannya yang masih terpusat pada Adel.
"Ada yang mengganggu, ya?" tanya Gracio, suaranya terdengar khas, serius namun penuh perhatian. "Kamu kelihatan sedikit berbeda belakangan ini."
Zean tersentak, seolah terkejut karena ayahnya bisa membaca ekspresinya. "Hah? Gak kok yah, cuma sedikit capek" jawabnya cepat, berusaha mengalihkan perhatian.
Namun, Gracio tidak begitu mudah dibohongi. Dia meletakkan korannya dan memandang Zean dengan tatapan tajam, seolah tahu ada yang tidak beres. "Capek? Coba deh, ceritakan. Biasanya kalau kamu ada masalah, kamu langsung nyelesaikan sendiri. Tapi kali ini, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal."
Shani juga ikut menatapnya dengan perhatian. "Apa jangan-jangan kamu punya masalah di kantor, Zean? Bunda nggak pernah lihat kamu seperti ini sebelumnya."
Zean merasa sedikit terpojok. Dia tahu betul kedua orang tuanya selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya, bahkan ketika dia berusaha menyembunyikan sesuatu. "Beneran nggak ada apa-apa, Bunda, Yah" jawab Zean, sambil mencoba tersenyum untuk meyakinkan mereka. "Cuma lagi sibuk aja."
Namun, Gracio masih menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. "Zean, kamu nggak usah bohong. Kita tahu kamu, kamu anak kita. Kamu biasanya nggak pernah segelisah ini, apalagi soal pekerjaan. Ada yang lain, kan?"
Zean menghela napas. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tentu saja, masalah ini bukanlah soal pekerjaan. Pekerjaan tetap berjalan dengan lancar, dan meskipun tekanan tinggi, dia merasa itu bukan yang mengganggunya. Tetapi di luar itu, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang muncul setelah bertemu dengan seseorang yang bernama Adel. Perasaan yang baru, yang mengusik kedamaian hatinya, dan itu membuatnya bingung.
"Yah, Bun, ini soal... orang yang baru aku kenal," akhirnya Zean mengakui, meskipun rasanya itu agak canggung. Tidak biasa baginya untuk membuka diri tentang masalah pribadi. Namun, entah kenapa, dia merasa ini adalah saat yang tepat untuk jujur pada orang tuanya.
"Apa maksud kamu, Zean?" tanya Shani, tampaknya tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Maksud kamu, kamu baru kenal seseorang dan itu membuat kamu jadi nggak fokus?"
Zean mengangguk pelan. "Iya, Bun. Kita baru ketemu sekali, tapi entah kenapa, Zean merasa nggak bisa berhenti mikirin dia."
Shani dan Gracio saling memandang dengan ekspresi terkejut, namun keduanya segera tersenyum lebar, seolah mendengar sesuatu yang menyenangkan. Shani, dengan sikapnya yang selalu hangat, langsung mendekatkan dirinya ke Zean.
"Wah, keren juga! Jadi, kamu ketemu dia di acara amal itu, kan?" tanya Shani dengan suara lembut, memancing penjelasan lebih lanjut.
Zean mengangguk, merasa sedikit canggung dengan antusiasme bunda dan ayahnya. "Iya, Bun. Kita ngobrol sebentar, dan entah kenapa, setelah itu aku nggak bisa berhenti mikirin dia. Rasanya aneh, tapi juga... menyenangkan."
Gracio, yang sebelumnya tampak serius, kini tersenyum dengan ekspresi bangga. "Itu bagus, Zean. Akhirnya kamu mulai memikirkan hubungan yang lebih serius. Biasanya kamu kan lebih fokus ke pekerjaan terus. Ini pertama kalinya kamu cerita kayak gini."
"Jadi, kamu suka sama dia?" tanya Gracio dengan nada yang lebih ringan, namun tetap terdengar serius. "Kenapa kamu nggak coba ngobrol lebih banyak sama dia? Jangan ragu."
Shani juga menambahkan, "Betul, Nak. Kalau kamu merasa ada yang spesial dengan dia, jangan biarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Coba deh, dekati dia lebih jauh. Mungkin ini kesempatan bagus buat kamu."
Zean merasa sedikit lega mendengar reaksi kedua orang tuanya. Dia memang tidak pernah merasa nyaman berbicara tentang perasaan pribadi, tetapi reaksi positif mereka membuatnya merasa lebih tenang. Seperti beban yang terangkat dari pundaknya.
"Zean nggak tahu harus mulai dari mana" kata Zean, mengusap wajahnya. "Zean cuma nggak mau salah langkah. Zean nggak tahu apa dia merasa sama seperti Zean, atau ini cuma perasaan sesaat aja."
Shani tersenyum, menyentuh tangan Zean dengan lembut. "Cinta itu nggak harus langsung besar, Nak. Kadang-kadang, kita cuma perlu memberi ruang dan waktu untuk mengenal lebih dalam. Yang penting, kamu jujur dengan perasaan kamu dan jangan takut untuk mengejarnya."
Gracio mengangguk setuju. "Iya, Zean. Jangan ragu untuk belajar lebih banyak tentang dia. Kalau memang dia cocok buat kamu, kenapa nggak dicoba? Yang penting, kamu nggak terburu-buru. Ambil waktu untuk mengenal satu sama lain."
Christy, yang selama ini diam, akhirnya ikut bersuara. "Aduh, jadi ceritanya kak Zean mau deketin cewek, nih?" Christy terkekeh, tapi senyumannya penuh kehangatan. "Tapi serius kak. Kalau kakak selalu mikirin dia, kenapa nggak coba aja? Adek yakin dia juga pengen kakak kenal lebih jauh."
Zean tersenyum kecil mendengar kata-kata Christy. Meskipun adiknya cenderung santai dan sering kali berbicara tanpa beban, kali ini Christy memberikan dukungan yang hangat. Sepertinya, dia tidak sendirian dalam hal ini.
Zean merasa sedikit lega dengan semua perhatian dan dukungan yang diberikan oleh keluarganya. Mereka benar. Mungkin ini adalah langkah pertama yang perlu dia ambil. Dia merasa sedikit lebih tenang dan lebih siap untuk menghadapi perasaan yang mulai berkembang di dalam dirinya.
"Makanya, coba aja ngobrol lebih banyak sama dia, Zean," kata Gracio sambil tersenyum. "Jangan sampai kamu menyesal karena nggak mencoba. Jangan cuma fokus sama pekerjaan terus. Hidup nggak cuma soal kerjaan."
Zean mengangguk, merasa didukung penuh. "Zean akan coba yah. Tapi ini semua masih baru buat Zean. Zean cuma nggak mau buru-buru."
"Yang penting, kamu tidak takut untuk menjalani perasaan itu, Zean," ujar Shani dengan penuh kasih. "Peluang itu nggak datang dua kali, Nak."
Setelah percakapan itu, Zean merasa sedikit lebih tenang. Sarapan pagi itu terasa lebih ringan, meskipun pikirannya masih penuh dengan sosok Adel. Namun, kali ini, dia merasa bahwa keluarganya mendukung keputusan apa pun yang akan dia ambil.
Saat mereka selesai makan, Zean memutuskan untuk pergi ke kantor dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Keputusan itu belum final, tapi setidaknya sekarang dia merasa lebih siap untuk menghadapi perasaannya sendiri. Seiring mobilnya melaju menuju kantor, ada satu hal yang jelas dalam perasaan ini, meskipun baru, sepertinya harus diberi kesempatan untuk tumbuh. Mungkin, perjalanan ini akan membawa ke arah yang lebih baik.
Dan di dalam dirinya, Zean tahu bahwa ini baru awal dari cerita yang mungkin akan mengubah hidupnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Soulmate (ZeeDel) ✔
FanfictionDi balik kemegahan gedung kantor yang menjulang, ada satu sosok yang berdiri di puncak kesuksesannya, Zean Alvaro. Namanya dikenal sebagai CEO muda yang berprestasi, pemimpin yang disegani, dan figur yang dihormati. Di usia tiga puluh tahun, ia suda...