Bab 4: Pertemuan Tak Terduga

0 0 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan Maria terus berjuang dengan ketegangan yang menyelimuti hubungan antara dirinya, Kevin, dan Demian. Meskipun mereka berusaha untuk menjaga persahabatan mereka, suasana di antara mereka semakin tegang. Setiap kali Maria melihat Kevin dan Lisa bersama, rasa cemburu yang menyakitkan itu mengganggu pikirannya. Dia berusaha menenangkan diri, tetapi setiap senyuman Kevin pada Lisa membuat hatinya bergetar.

Suatu sore, Maria memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Dia mencari ketenangan di antara buku-buku, berharap bisa melupakan masalah yang mengganggu pikirannya. Saat dia duduk di pojok ruangan dengan buku di tangan, dia melihat bayangan seseorang mendekat. Ketika dia menatap lebih dekat, dia melihat Demian, yang sepertinya sedang mencari buku.

"Hey, Maria! Apa kamu di sini?" tanya Demian dengan senyum lebar.

Maria tersenyum kecil, merasa senang melihat sahabatnya. "Iya, aku hanya butuh waktu sendiri. Bagaimana denganmu?"

"Sudah selesai belajar, jadi aku datang ke sini. Mau cari buku atau hanya ingin bersembunyi?" Demian menggoda.

Maria tertawa kecil. "Mungkin sedikit dari keduanya. Terkadang, aku hanya ingin melupakan semuanya."

Demian mengangguk, merasakan kesedihan dalam suara Maria. "Aku paham. Jika kamu butuh seseorang untuk diajak bicara, aku selalu ada."

Maria merasa terharu mendengar kata-kata itu. Meskipun dia tahu perasaan Demian terhadapnya, dia menghargai dukungannya yang tak terduga. "Terima kasih, Demian. Aku tahu aku bisa selalu mengandalkanmu."

Mereka berdua menghabiskan waktu di perpustakaan, saling berbagi cerita tentang kelas dan berbagai hal yang mereka sukai. Maria merasa sedikit lebih ringan, tetapi bayangan Kevin dan Lisa terus mengintai di benaknya. Saat mereka berpisah di depan pintu perpustakaan, Maria merasa cemas. Dia tidak ingin menyakiti perasaan Demian, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri.

Keesokan harinya, saat sekolah mengadakan acara olahraga, Maria melihat Kevin berlari di lapangan bersama timnya. Dia merasakan campuran rasa bangga dan cemburu. Ketika Kevin mencetak gol, sorak sorai dari teman-teman sekelasnya menggema di seluruh lapangan. Maria tidak bisa menahan senyum melihat Kevin bahagia, tetapi saat dia melihat Lisa bertepuk tangan di sampingnya, hatinya kembali terasa nyeri.

Demian yang berdiri di samping Maria merasakan perasaan campur aduk itu. "Kau ingin pergi mendekat? Mungkin kamu bisa memberi semangat padanya," katanya, berusaha mendukung Maria.

Maria terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Demian. "Aku... aku tidak tahu. Rasanya aneh. Aku tidak ingin terlihat seperti orang yang cemburu."

"Tidak ada salahnya menunjukkan dukunganmu. Dia tetap sahabatmu," jawab Demian, tersenyum dengan penuh pengertian.

Akhirnya, Maria mengambil napas dalam-dalam dan melangkah ke arah lapangan. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa meskipun situasinya sulit, dia masih peduli pada Kevin. Dia berteriak, "Bagus, Kevin! Ayo, teruskan!"

Kevin menoleh dan melihat Maria, senyumnya meluas saat dia melambai. Saat itu, Maria merasakan kebahagiaan di hatinya, tetapi rasa sakit akibat cemburu terhadap Lisa tetap ada. Setelah pertandingan selesai, Maria mendekati Kevin, yang tampak lelah tetapi bahagia.

"Bagaimana, kamu bermain sangat baik!" puji Maria.

"Terima kasih, Maria! Tanpa dukunganmu, aku mungkin tidak bisa melakukannya," kata Kevin dengan ceria.

Maria tertawa kecil, tetapi saat melihat Lisa mendekat, suasana hatinya mendadak berubah. Lisa tampak anggun dan percaya diri saat menghampiri Kevin. "Kamu bermain luar biasa! Kapan kita bisa merayakan kemenangan ini?" tanyanya dengan nada menggoda.

Maria merasa tertekan. "Aku... aku harus pergi," katanya cepat, mencoba menghindari situasi yang tidak nyaman.

"Maria, tunggu!" Kevin berteriak, tetapi Maria sudah pergi sebelum dia bisa mengucapkan lebih banyak. Dia merasa sakit di dadanya, perasaan rindu akan waktu-waktu bahagia bersama Kevin melanda hatinya.

Di sisi lain, Demian menyaksikan semuanya. Dia merasakan ketidakadilan di hatinya. Dia ingin sekali bisa melindungi Maria dari rasa sakit yang dia alami. Saat Maria kembali, dia melihat ekspresi kesedihan di wajahnya.

"Hey, kamu baik-baik saja?" tanya Demian khawatir.

"Tidak, aku tidak baik. Melihat mereka bersama membuatku merasa hancur," jawab Maria, air mata menggenang di matanya.

Demian merangkulnya, berusaha memberikan dukungan. "Maria, jangan biarkan itu menghancurkanmu. Kamu kuat, dan kamu tidak sendirian."

Maria merasa terharu dengan perhatian Demian. "Terima kasih, Demian. Aku hanya merasa bingung. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan."

Malam harinya, saat Maria kembali ke rumah, dia merenungkan semua yang terjadi. Dia membuka media sosial dan melihat foto-foto Kevin dan Lisa yang diunggah teman-temannya. Setiap senyum Kevin seolah mengiris hatinya. "Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya. "Haruskah aku melupakan semua kenangan indah kami?"

Saat merenung, Maria teringat saat-saat mereka bertiga bersama, berkeliling kota, tertawa, dan berbagi rahasia. Kenangan itu selalu membuatnya tersenyum, tetapi kini rasanya seperti bayangan yang terus menghantuinya.

Keesokan harinya, Maria bertekad untuk melupakan ketegangan yang mengganggu. Dia memutuskan untuk mengundang Kevin dan Demian ke kafe setelah sekolah. Dia ingin mengatasi semua ini dan memperbaiki keadaan. Setelah menyusun rencana dalam pikirannya, Maria merasa sedikit lebih tenang.

Setelah sekolah, Maria menunggu di kafe dengan cemas. Ketika Kevin dan Demian tiba, dia merasakan getaran di dalam dirinya. "Terima kasih sudah datang," katanya sambil tersenyum, berusaha menutupi kegugupannya.

"Tidak masalah, Maria. Kami senang bisa bertemu," kata Kevin, tetapi saat itu, Maria merasakan bahwa ada ketegangan di antara mereka.

Setelah beberapa saat mengobrol, Maria memutuskan untuk membahas perasaan mereka. "Aku tahu kita semua sedang berada di tempat yang sulit, dan aku ingin kita jujur satu sama lain. Kita tidak bisa terus seperti ini," katanya dengan tegas.

Kevin dan Demian saling memandang. "Apa yang kamu maksud?" tanya Kevin, penasaran.

Maria mengambil napas dalam-dalam. "Aku merasa kita semua memiliki perasaan yang rumit. Dan jika kita terus berusaha mengabaikannya, kita akan kehilangan satu sama lain."

Demian mengangguk. "Aku setuju. Kita perlu mengatasi ini sebelum semuanya semakin rumit."

Maria merasa lega mendengar kata-kata itu. Dia berharap bisa menemukan solusi untuk situasi yang rumit ini. "Aku ingin tahu bagaimana perasaan kalian sebenarnya," lanjutnya.

Kevin terlihat ragu. "Maria, aku tahu kita berpisah untuk mengejar masa depan yang lebih baik, tetapi aku tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan terhadapmu."

Maria merasa jantungnya bergetar. "Kevin, aku juga merasa sama. Tapi kita tidak bisa hanya fokus pada perasaan kita. Kita harus menjaga persahabatan kita."

Demian mengangkat tangan. "Aku juga ingin berbicara. Maria, aku sudah lama menyukaimu. Tapi aku tahu bahwa perasaan ini tidak bisa mengalahkan persahabatan kita."

Maria terdiam, mendengar pengakuan itu. Dia merasa bingung dan terharu. "Demian, aku menghargai perasaanmu. Tetapi aku tidak ingin membuat keputusan yang salah."

Ketiga sahabat itu terjebak dalam kebingungan. Maria merasa tertekan, tidak ingin menyakiti siapapun. Kevin dan Demian juga berada dalam posisi yang sulit. Namun, di tengah ketegangan ini, mereka semua sepakat untuk saling jujur dan menghormati satu sama lain.

Malam itu berakhir dengan kesepakatan untuk tetap berkomunikasi dan terbuka satu sama lain. Namun, Maria tahu bahwa mereka belum sepenuhnya keluar dari kegelapan. Dia merasa harapannya mulai redup, tetapi dia bertekad untuk terus berjuang demi persahabatan mereka.

Ketika Maria pulang ke rumah, dia merasa lebih tenang, tetapi bayangan perasaan rumit itu terus menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar akan segera menghadang.

Jalan BerpisahWhere stories live. Discover now