Jiyo melangkah bersama dengan Zea menyusuri lorong istana. Hal itu karena mereka baru saja mengambil tumpukan hadiah yang diberikan dari keluarga kerajaan dan kini mereka berjalan ke arah kereta kuda di mana mereka harus berjalan sedikit jauh.
"Lagipula kenapa harus kita? Bukankah ada pengawal?" Zea menggerutu.
Jiyo hanya tersenyum kaku. Bingung memberikan respon. Di sisi lain ia juga takut jika salah bicara. Terlebih, tidak jauh dari depan, terdapat dua pelayan istana yang memberikan mereka jalan.
"Seandainya bukan karena pekerjaan dan status, aku mana mau seperti ini, Jiyo. Tapi ... hanya mimpi bisa terlepas dari belenggu pelayan seperti kita," katanya lagi.
Jiyo pun sontak menoleh ke arah Zea. "Itu ...." Namun langkahnya langsung terhenti saat satu beberapa hadiah dari wadah yang ia bawah terjatuh. "Tunggu sebentar, aku mengambil hadiah yang terjatuh."
Zea lantas ikut berhenti. "Jatuh? Biar aku--"
"Tidak perlu, Zea. Aku bisa melakukannya."
"Hei, cepatlah jalan!" Di sisi depan, salah seorang pelayan ternyata berseru kepada mereka. Wajahnya memperlihatkan amarah.
Jiyo langsung menatap ke arah Zea kala ia yang sudah menaruh wadah miliknya terlebih dahulu di atas lantai. "Pergilah terlebih dahulu. Aku akan menyusul. Ini tidak akan lama."
Jiyo menatap Zea yang tampak ragu meninggalkannya, namun Jiyo kembali berusaha meyakinkan Zea dengan senyum tipis. "Pergilah, Zea. Aku akan segera menyusul."
Zea menatap Jiyo sejenak, tampak masih ingin membantunya, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi cepatlah. Aku akan menunggu di kereta."
Zea pun melangkah pergi, berbelok di ujung lorong dan menghilang dari pandangan. Lantas Jiyo segera menunduk, mengambil kotak hadiah yang terjatuh. Baru saja ia akan kembali berjalan ketika selesai mengambilnya, tiba-tiba saja langkahnya malah terhenti mendadak saat tubuhnya beradu dengan seseorang yang datang dari arah berlawanan. Kotak-kotak hadiah yang dalam genggamannya bahkan terjatuh berhamburan begitu saja.
Jiyo terperanjat, seketika menunduk panik sambil bergumam. "Maafkan saya ... maaf ...." Sembari ia buru-buru memunguti hadiah-hadiah yang berserakan di lantai.
Jiyo memungut satu per satu dengan tangannya yang sedikit gemetar. Namun, saat ia hendak pergi, tiba-tiba sebuah suara tenang tetapi tajam menghentikan langkahnya.
“Kau tampaknya melupakan sesuatu,” suara itu berkata, membuat Jiyo mendongak dengan ragu. Matanya melebar saat melihat satu kotak hadiah berada di kaki seorang pria yang kini berdiri di hadapannya, memandangnya dengan senyum miring.
Jiyo mengenali pria itu yang tidak lain adalah Duke Jung, salah satu bangsawan paling berpengaruh dan ditakuti di istana. Hatinya berdebar keras, rasa takut menjalari sekujur tubuhnya. Dengan napas tertahan, ia langsung bersimpuh di hadapan sang duke, menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Mohon maaf, Yang Mulia Duke atas kekacauan yang saya buat. Saya sungguh tidak berniat membuat kekacauan.”
Duke Jung memandangnya tanpa belas kasih, hanya dengan seringai kecil yang menambah tekanan pada suasana. “Kau ingin benda ini?” katanya sambil menyenggol kotak hadiah dengan ujung sepatunya, membuat Jiyo semakin gemetar.
Jiyo menunduk lebih dalam, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Maafkan saya … saya mohon ampun ....”
Sang Duke tertawa pelan, suara tawanya penuh ejekan. “Ampunan?” katanya dengan nada sinis. “Aku tidak bermurah hati yang seperti kau harapkan, budak tidak berguna.”
Rasa takut memenuhi benak Jiyo, pikirannya langsung melayang pada keluarga Viscount yang bisa saja akan terkena dampak jika sang Duke marah. Saat ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf lagi, Duke Jung tiba-tiba bertanya. “Siapa namamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Happy
RomanceBukankah semua orang memiliki hak untuk bahagia? Lantas kenapa Jiyo sama sekali tidak pernah merasakannya? Lahir tanpa mengetahui asal usul keluarga sendiri dan tinggal di rumah bordil sungguh membuatnya sangat menderita. Penyiksaan dan pemaksaan su...