Sejak percakapan mendalam di balkon apartemen Mile, segala sesuatunya berubah, terutama bagi Apo. Mile, dengan caranya yang lembut tapi gigih, mulai mendorong Apo untuk lebih mengenal siapa dirinya. Setiap kali mereka bertemu, pertanyaan-pertanyaan kecil namun bermakna selalu muncul, mengajak Apo merenung.
“Jadi, hari ini... kamu mau telormu gimana, Po?” tanya Mile saat mereka sedang sarapan di kafe favorit mereka. Bukan lagi pertanyaan biasa, tapi lebih seperti undangan bagi Apo untuk memahami preferensinya sendiri.
Apo, yang awalnya hanya tertawa kecil setiap kali Mile bertanya hal-hal sederhana seperti itu, akhirnya mulai menyadari bahwa ia benar-benar tidak pernah memberi waktu untuk memahami apa yang dia suka. Sebelumnya, semuanya terasa seperti autopilot, mengikuti selera pasangan-pasangannya yang terdahulu. Tapi bersama Mile, dia belajar menghargai preferensinya sendiri.
“Aku... rasa aku suka telur rebus setengah matang,” jawab Apo suatu pagi, setelah berpikir sejenak. Mile tersenyum lebar, bangga dengan kemajuan kecil itu. “Setengah matang, ya? Oke, kita pesan itu buatmu hari ini.”
Begitu pula dengan kopi. Sebelumnya, Apo selalu memesan latte karena itulah yang dia biasa pesan bersama tunangannya terdahulu. Tapi Mile terus mendorongnya untuk mencoba berbagai jenis kopi, sampai akhirnya Apo menemukan kesukaannya sendiri—sebuah Americano dengan sedikit gula.
Langkah-langkah kecil ini perlahan membantu Apo untuk lebih mengenal dirinya. Tak hanya soal makanan atau minuman, tapi juga hobinya. Mile sering mengajaknya ke tempat-tempat baru—taman, museum, atau sekadar berjalan-jalan di tepi sungai, sembari bertanya apa yang sebenarnya membuat Apo merasa hidup.
“Apa tempat yang bikin kamu nyaman, Po? Apa ada tempat yang kamu suka tapi belum sempat kamu kunjungi?” tanya Mile suatu hari.
Pertanyaan itu membuat Apo terdiam. Seumur hidupnya, ia terbiasa mengikuti keinginan orang lain. Tapi kini, bersama Mile, ia mulai memikirkan apa yang benar-benar membuatnya bahagia. “Aku selalu pengen pergi ke gunung, tempat yang tenang, jauh dari keramaian,” jawab Apo suatu hari. Dan Mile, dengan senyum lembutnya, berjanji akan mengajaknya ke sana suatu hari nanti.
Bertemu dengan Keluarga Mile
Setelah beberapa bulan menjalin hubungan yang semakin dalam, Mile memutuskan untuk memperkenalkan Apo ke keluarganya. Mile berasal dari keluarga terpandang di Thailand, salah satu klan old money yang kaya dan berpengaruh. Tapi meskipun mereka berasal dari kelas atas, keluarga Mile tidak kaku atau sombong. Mereka sangat menghargai Mile dan selalu mendukung apapun pilihannya.
Pertemuan pertama dengan keluarga Mile berlangsung dalam suasana yang hangat dan ramah. Mereka mengundang Apo untuk makan malam di rumah besar mereka yang penuh dengan sejarah, lukisan-lukisan tua menghiasi dinding, dan perabotan antik menambah kesan mewah yang elegan. Ibu Mile, seorang wanita anggun dengan senyum menenangkan, langsung menyukai Apo. Begitu juga dengan ayah Mile, yang penuh karisma namun tidak terlalu formal.
“Apo, Mile sering cerita tentang kamu,” kata ibunya dengan senyum lebar. “Kami senang dia bersama seseorang yang membuatnya bahagia.” Keluarga Mile tidak pernah menekan Mile untuk mengikuti tradisi keluarga atau memilih pasangan berdasarkan status. Yang penting bagi mereka adalah kebahagiaan anak mereka, dan itu sangat terasa dalam cara mereka menyambut Apo dengan hangat.
Apo merasa lega dan sedikit terkejut. Semua kekhawatirannya tentang bagaimana keluarganya akan diterima oleh keluarga Mile lenyap seketika. Keluarga Mile memperlakukannya seperti anggota keluarga sejak pertemuan pertama.
Wedding Dinner Keluarga Apo
Sebagai bagian dari hubungan yang semakin serius, Apo memutuskan untuk memperkenalkan Mile ke keluarganya sendiri. Kesempatan itu datang ketika adiknya, Rhuang, mengadakan acara wedding dinner, merayakan pernikahannya yang akan datang. Acara itu adalah momen yang tepat untuk memperkenalkan Mile ke seluruh keluarga besar Apo.
Keluarga Apo, berbeda dengan keluarga Mile, terkenal dengan karakter yang ceria dan humoris. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bercanda, bahkan jika itu menyangkut hal-hal yang sedikit sensitif. Malam itu, di tengah keceriaan dan tawa, candaan khas keluarga Apo mulai muncul, termasuk tentang masa lalu Apo.
“Wah, Mile, kamu tahu nggak? Apo ini di keluarga kita punya julukan ‘The Wedding Angels of Death’,” salah satu pamannya bercanda. Beberapa anggota keluarga lain tertawa mendengarnya, seolah hal itu adalah bahan guyonan yang biasa.
Apo hanya bisa tersenyum getir. Ia sudah terbiasa dengan candaan itu, meskipun dalam hati ia selalu merasa sedikit perih setiap kali mendengarnya. Namun, ia tidak ingin memperkeruh suasana, jadi ia memilih untuk mengabaikannya.
Tapi Mile? Mile sama sekali tidak menganggapnya lucu. Wajahnya berubah, dan ia segera merespons dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
“Maaf, tapi aku nggak ngerti kenapa hal ini dijadikan candaan,” kata Mile tiba-tiba, suaranya tegas. Seluruh ruangan mendadak sunyi. Semua orang menatapnya, terkejut dengan keberaniannya menyela candaan yang dianggap biasa oleh keluarga Apo. “Apo udah cukup sulit menghadapi masa lalunya, dan aku nggak suka kalian terus-terusan menjadikan itu bahan lelucon.”
Apo terkejut melihat sikap tegas Mile. Ia tidak pernah membayangkan Mile akan berbicara seperti itu di depan keluarganya. Tapi di saat yang sama, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Mile berdiri untuknya, membela perasaannya, sesuatu yang jarang dilakukan orang lain.
“Semua orang punya masa lalu, dan Apo udah lebih dari cukup berusaha untuk memperbaiki dirinya,” lanjut Mile, pandangannya menyapu seluruh anggota keluarga. “Jadi, aku harap kalian bisa menghargai dia tanpa harus menjadikan masa lalunya bahan candaan.”
Ada jeda panjang sebelum salah satu anggota keluarga Apo, yang awalnya membuat lelucon, akhirnya angkat bicara. “Kami nggak bermaksud jahat, Mile. Itu cuma candaan...” suaranya agak pelan, menyadari betapa seriusnya Mile.
“Tapi tidak semua candaan itu lucu bagi orang yang jadi sasarannya,” jawab Mile, tetap tenang tapi tegas.
Setelah itu, suasana berubah. Keluarga Apo mulai lebih berhati-hati dengan kata-kata mereka. Acara malam itu tetap berjalan dengan tawa dan canda, tapi tanpa lagi menyentuh hal-hal yang menyakitkan hati Apo. Di sisi lain, Mile tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari Apo, memberikan rasa aman yang selama ini jarang Apo rasakan ketika berhadapan dengan masa lalunya di depan orang lain.
Malam itu, setelah acara selesai, Apo dan Mile berjalan berdua keluar dari gedung acara. Apo berhenti sejenak, menatap Mile dengan perasaan yang sulit diungkapkan. “Makasih, Mile. Kamu nggak perlu bilang begitu tadi, tapi... aku senang kamu melakukannya.”
Mile tersenyum lembut, menatap Apo dengan penuh kasih. “Aku nggak tahan melihat orang-orang menyakiti kamu, bahkan jika itu cuma candaan. Kamu pantas untuk dihargai, Po. Jangan pernah lupakan itu.”
Apo merasakan air mata mulai menggenang di matanya, tapi kali ini bukan air mata kesedihan. Ini adalah air mata kebahagiaan, karena untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berdiri teguh di sampingnya, memperjuangkannya tanpa ragu.
Tbc.
Hai, sudah sampai chapter 17 kita rupanya, masih betahkah disini 😁? Tinggal 8 chapter ya (i hope), saya belum bisa buat chapter yang panjang-panjang 😅. Jadi cerita ini terasa ringan & padat. Hope you guys still finding it fun & enjoy to read it.
God Bless All
MileApo forever baby 💚💛
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO YOU
عاطفيةApo Nattawin adalah seorang fotografer muda yang penuh semangat, sukses, dan berjiwa bebas. Namun, di balik pesonanya yang menarik, dia menyimpan label kontroversial: "The Wedding Angels of Death." Gelar ini tidak tanpa alasan; Apo telah berulang ka...