***
Hujan di luar turun dengan ritme yang stabil, cocok dengan suasana pikiran Mile yang mulai dipenuhi oleh kenangan masa lalu. Dia duduk sendirian di kantornya, menatap kosong pada dokumen kosong di laptopnya. Pikirannya tidak tertuju pada pekerjaan hari ini. Melayang kembali ke masa yang berbeda, ke kehidupan yang berbeda—saat dia bukan hanya seorang mogul yang sukses, tapi seorang pria yang sangat mencintai wanita yang dia kira akan bersamanya seumur hidup.Chailai, nama itu bergema dalam pikirannya, nama yang dulu penuh dengan kehangatan dan kenyamanan. Dia bukan hanya istrinya; dia juga sahabat terbaiknya sejak kecil. Keluarga mereka dekat, dan mereka tumbuh bersama. Selama bertahun-tahun, Mile berpikir mereka ditakdirkan untuk bersama. Semua orang di sekitar mereka percaya hal yang sama. Tekanan untuk membuat semuanya berhasil sangat besar, dan pada saat itu, semuanya terasa benar. Mereka saling mengenal lebih baik daripada siapa pun, jadi menikahi Chailai terasa seperti langkah yang wajar.
Namun, seperti hujan yang awalnya hanya gerimis ringan dan kemudian berubah menjadi badai, hubungan mereka perlahan mulai terurai, satu tetes demi satu.
Flashback
Mile mengingat tanda-tanda pertama dari masalah yang mulai muncul. Pada awalnya, itu hanya hal-hal kecil—perbedaan pendapat tentang masa depan, tentang apa yang mereka inginkan dalam hidup. Chailai memiliki mimpi besar tentang membangun kariernya sendiri di dunia seni. Dia penuh semangat, ambisius, dan Mile sangat mengaguminya. Tapi jalan mereka mulai berpisah. Mile mewarisi bisnis keluarganya dan semakin terikat dalam dunia korporat, sementara Chailai ingin lebih banyak kebebasan untuk mengejar tujuannya sendiri.
Awalnya, mereka mencoba membuat semuanya berjalan. Mile mengubah jadwal kerjanya, mencoba untuk lebih hadir dalam hubungan mereka. Tapi seiring tanggung jawabnya yang semakin besar, jarak di antara mereka semakin terasa.
Chailai (dengan suara lembut dan lelah di tengah percakapan larut malam):
“Mile, apa kamu ingat kapan terakhir kali kita bicara tentang sesuatu selain pekerjaan atau kewajiban?”Mile menatapnya dari atas laptop, merasa bersalah sejenak. Dia tenggelam dalam proyek selama berminggu-minggu, hampir tidak menyadari betapa tegangnya hubungan mereka.
“Aku minta maaf, Chai... hanya proyek ini, itu—"Chailai (memotongnya dengan lembut):
"Itu selalu tentang proyek ini, tentang kesibukan ini. Kapan ini akan berakhir?"Kata-katanya terasa menyakitkan, tapi Mile tidak punya jawaban. Kenyataannya, dia tidak tahu kapan itu akan berakhir. Dia terlalu terfokus pada kesuksesan perusahaan, pada pembuktian dirinya layak mewarisi warisan keluarganya, sampai-sampai dia tidak melihat betapa banyak yang dia korbankan dalam proses itu.
Bulan-bulan berlalu, dan argumen mereka semakin sering terjadi, meskipun tidak pernah meledak. Chailai selalu tenang, bahkan dalam kekecewaannya. Dia tidak pernah berteriak, tidak pernah membanting pintu. Itulah masalahnya—perpisahan mereka tidak dipenuhi oleh pertengkaran hebat atau perpisahan yang penuh kemarahan. Sebaliknya, itu adalah perpisahan yang sunyi, penuh rasa sakit yang lambat. Mereka semakin menjauh, dan tidak ada yang tahu bagaimana memperbaikinya.
Mile mengingat malam ketika segalanya benar-benar mulai berantakan. Mereka duduk di ruang tamu, keheningan di antara mereka lebih tebal dari biasanya. Chailai menatap keluar jendela, jarinya dengan canggung menyentuh pinggiran cangkir kopi di tangannya.
Mile (mencoba memecah keheningan, meskipun dia sudah tahu ke mana percakapan ini akan berujung):
“Chai, apakah kita akan terus hidup seperti ini? Seperti orang asing di rumah kita sendiri?”Chailai (masih menatap keluar jendela, suaranya hampir tak terdengar):
“Aku tidak tahu bagaimana lagi harus bersamamu, Mile. Aku bahkan tidak tahu siapa diriku saat bersamamu.”Kata-katanya menghantamnya seperti pukulan telak. Dia selalu berpikir bahwa tidak peduli seberapa buruk keadaan, mereka akan menemukan cara untuk menyelesaikannya. Tapi untuk pertama kalinya, dia melihat kebenaran di mata Chailai. Dia bukan lagi gadis yang pernah bermimpi menjalani hidup bersamanya. Dia telah menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang membutuhkan lebih dari apa yang bisa Mile berikan.
Mile (dengan suara yang sedikit bergetar):
“Kamu... kamu ingin pergi?”Ruangan terasa membeku setelah kata-katanya. Chailai menoleh, air mata mulai menggenang di matanya, tetapi dia tidak menangis. Dia hanya menatap Mile, sahabatnya, pria yang pernah sangat dia cintai.
Chailai (mengangguk pelan, suaranya dipenuhi kesedihan):
“Aku pikir kita berdua perlu pergi. Kita bukan lagi orang yang sama seperti dulu.”Perceraian mereka berjalan dengan damai, hampir terasa aneh. Tidak ada pertempuran hukum yang berlarut-larut, tidak ada skandal publik. Semuanya berlangsung setenang hubungan mereka yang telah memudar, sebuah kesepakatan bersama bahwa mereka telah tumbuh terpisah. Mereka menandatangani berkas perceraian, membagi aset, dan melanjutkan hidup masing-masing.
Namun, bagian tersulit bukanlah perceraian itu sendiri. Bagian tersulit adalah kehilangan Chailai sebagai sahabat terbaiknya. Selama bertahun-tahun, dia adalah orang yang paling Mile percayai, orang yang mengerti dirinya lebih dari siapa pun. Dan sekarang, dia hanya menjadi kenangan, seseorang yang dulu pernah dia kenal.
Present
Mile mengedipkan matanya, menggeleng pelan saat kenangan itu memudar. Sudah hampir dua tahun sejak perceraian itu, tapi beban itu masih menghantuinya, terutama pada hari-hari seperti ini ketika hujan mengingatkannya pada semua percakapan larut malam yang mereka lakukan, saat hubungan mereka masih bisa diselamatkan.
Sejak itu, Mile tidak membiarkan dirinya jatuh cinta lagi. Ketakutan mengulangi kesalahan yang sama, kehilangan orang lain yang dia pedulikan, membuatnya menjaga jarak. Pekerjaan menjadi tamengnya, dan kesuksesan menjadi satu-satunya pendamping setianya. Namun di dalam hati, Mile tahu bahwa tidak ada jumlah kesuksesan yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chailai.
Dia menghela napas dan bersandar di kursinya, tangannya menyapu rambutnya yang mulai kusut. Mile tidak yakin apakah dia masih percaya pada cinta, setidaknya bukan cinta yang bisa bertahan lama dan mengatasi segalanya. Cinta seperti itu terasa seperti mimpi yang jauh, sesuatu yang tak terjangkau.
Namun akhir-akhir ini, sejak pertemuannya dengan Apo, ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya. Itu belum cinta—tidak, terlalu cepat untuk itu—tapi ada koneksi. Sebuah rasa penasaran. Perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia belum sepenuhnya menutup dirinya untuk kemungkinan membuka hati lagi.
Saat hujan terus turun di luar, Mile melirik ponselnya. Ada email dari tim kreatif tentang tahap berikutnya dalam proyek mereka. Pikirannya sejenak tertuju pada Apo sebelum dia kembali ke pekerjaannya, bertekad untuk menyembunyikan perasaannya untuk sementara.
Namun, meskipun dia mencoba untuk fokus, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa masa lalunya mulai mengejarnya—dan kali ini, dia tidak yakin bagaimana cara untuk menghadapinya.
Tbc.
Hai, sedikit cerita tentang chapter ini ya. Menggali latar belakang emosional Mile, mengungkapkan hubungan mendalamnya dengan Chailai, persahabatan mereka sejak kecil, dan keruntuhan pernikahan mereka yang tenang namun menyakitkan. Perasaan yang belum terselesaikan ini akan membentuk cara Mile berinteraksi dengan Apo ke depannya.
Semoga kalian masih suka story saya ya.
See you next weekend lovely.
MileApo FOREVER pokoknya!!! 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO YOU
RomansaApo Nattawin adalah seorang fotografer muda yang penuh semangat, sukses, dan berjiwa bebas. Namun, di balik pesonanya yang menarik, dia menyimpan label kontroversial: "The Wedding Angels of Death." Gelar ini tidak tanpa alasan; Apo telah berulang ka...