Rumah yang Kosong

15 1 47
                                    

Rumah megah itu berdiri kokoh di sudut kota, memancarkan kemewahan yang membuat siapa pun yang lewat terpukau. Pilar-pilar putih yang menjulang tinggi, taman luas dengan bunga-bunga terawat, dan air mancur yang berkilauan di tengah halaman membuat rumah itu terlihat sempurna. Namun, di balik keindahannya, rumah itu hanyalah sangkar emas bagi Zea-tempat di mana kebahagiaannya terpenjara.

Zea dulu adalah gadis ceria yang selalu tertawa, tetapi semuanya berubah sejak ibunya meninggalkan dunia. Kehidupan yang semula hangat kini terasa dingin dan menyesakkan. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Jeni, yang tampak sempurna di mata orang lain. Namun, di balik pintu tertutup, Jeni adalah sosok yang kejam dan penuh tipu daya.

"Jangan ganggu hubungan aku sama Papa kamu!" bentak Jeni suatu malam. Tangannya mencengkeram pergelangan Zea hingga meninggalkan bekas memar.

Zea mencoba memberanikan diri mengadu pada ayahnya, tetapi yang ia dapatkan hanyalah tamparan keras di wajah.

"Dasar anak nggak guna! Kamu cuma bikin malu!" bentak ayahnya, matanya memancarkan amarah yang membuat Zea bergidik. Ia terdorong hingga kepalanya membentur dinding.

Malam itu, Zea menangis terisak di lantai dingin, tubuhnya gemetar menahan sakit. Dalam keputusasaan, hanya ada satu orang yang datang menyelamatkannya-Mina, sahabat setianya. Dengan tergesa, Mina membawanya ke rumah sakit, memastikan Zea mendapatkan pertolongan.

Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk mata Zea saat ia tersadar. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemah seperti tidak lagi miliknya. Di sisi tempat tidur, Mina duduk dengan wajah penuh kelegaan.

"Zea, akhirnya lu sadar juga!" ujar Mina, menggenggam tangan Zea dengan erat. "Lu udah koma tiga hari, tahu nggak?"

Zea mengerjap bingung. "Koma? Serius, Min?"

"Iya. Makanya sekarang istirahat aja. Gue mau beli makan dulu, oke? Jangan ke mana-mana!" Mina tersenyum, berusaha ceria.

"Dasar bawel," balas Zea dengan senyum tipis.

Namun, ketika Mina keluar dari ruangan, kesunyian kembali menyergap. Ingatan tentang apa yang terjadi sebelum ia koma menghantui pikirannya. Suara ayahnya yang dingin seperti pisau masih terngiang di telinganya: "Mending dia mati aja sekalian."

Air mata mengalir di pipinya. Kata-kata itu membekas dalam di hati Zea. "Kalau gue anak nggak guna, gue bakal buktiin kalau gue bisa hidup sendiri," gumamnya lirih. Sebuah tekad baru mulai tumbuh di hatinya.

Saat Mina kembali dengan makanan, Zea sudah membuat keputusan. Ia akan berhenti menjadi korban.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, sih?" tanya Mina curiga.

"Nggak apa-apa," jawab Zea singkat. Tapi dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri: Hidup gue belum selesai.

Setelah sembuh, Zea mengambil langkah besar yang mengubah hidupnya. Ia meninggalkan rumah dan pindah ke kos sederhana dengan bantuan Mina. Meski jauh dari kemewahan rumah lamanya, tempat itu memberinya kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Di kampus, Zea menjadi sosok yang berbeda. Jika dulu ia sering dibully, kini ia melawan.

Suatu hari, tiga mahasiswa mencoba mengganggunya. Salah satu dari mereka bahkan memukul tasnya hingga buku-bukunya berjatuhan. Zea, yang dulu akan diam saja, kini tidak lagi tinggal diam. Ia langsung membenturkan salah satu dari mereka ke dinding, membuat dua lainnya lari terbirit-birit.

"Zea, lo keras banget sekarang!" ucap Mina, setengah kagum setengah takut.

"Kadang, gue pikir gue ini superhero," ujar Zea sambil tertawa kecil.

zea milik si berandalan[ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang