Meskipun Zen sering kali berperang dengan Zea, tidak ada yang lebih kacau daripada kehadiran Raka dan Jeno. Kedua teman Zen ini memang selalu menjadi bagian dari segala kegilaan yang terjadi di sekitar mereka. Raka, dengan segala kelambanan dan kecenderungannya untuk berpikir dua langkah di depan—meskipun langkah-langkah itu sering kali salah—adalah seorang pemikir yang lebih suka berandai-andai daripada bertindak. Jeno, di sisi lain, adalah eksekutor ide-ide bodoh yang tak jarang berujung pada kekacauan.
Suatu sore, di sebuah kedai kopi kampus, Raka dan Jeno sedang berbicara serius—atau lebih tepatnya, Raka yang berbicara dengan sangat serius sementara Jeno hanya menatapnya bingung.
"Jadi, kita mau ngapain, Bro?" tanya Jeno, memiringkan kepala.
Raka meletakkan secangkir kopi di meja dan menatapnya dengan ekspresi penuh keseriusan. "Kita harus cari cara untuk bikin Zea dan Zen akur. Kalau mereka terus begini, kita bisa kena dampaknya, loh."
Jeno mengangkat alis. "Maksud lo, kita harus jadi pahlawan perdamaian? Tapi Zen kan udah... kayak gitu, loh."
Raka mengangguk. "Iya, tapi kalau mereka nggak akur, bakal ada bencana lebih besar dari yang kita kira."
Sementara itu, Zen yang baru masuk kedai kopi itu dengan santainya mendekat ke meja mereka, mendengar percakapan Raka dan Jeno. "Bencana? Kalian ngomongin apa?" tanyanya sambil duduk, menyeret kursi.
Jeno hanya mengangkat bahu. "Gak tahu, Bro. Raka lagi mikir kita bisa jadi 'mediator' antara lo dan Zea."
Zen mengerutkan kening. "Mediator? Hahaha, buat apa? Zea udah cukup jelas—dia gak akan pernah akur sama gue."
Raka mengangguk setuju. "Tapi kalau lo nggak berhenti, gue yakin, ada sesuatu yang lebih parah yang bakal terjadi, Zen. Gue nggak mau jadi bagian dari itu."
Zen hanya tertawa kecil, menatap Raka. "Lo serius banget sih, Rak. Tapi gue suka tantangannya."
Pada hari berikutnya, Zen memutuskan untuk menambah tingkat kesulitan “permainan”nya. Ia mengetahui bahwa Zea sangat memperhatikan setiap detail di kelas, jadi dia memutuskan untuk mengerjai Zea dengan cara yang sangat cerdik. Ia menukar semua buku Zea dengan buku-buku tebal berjudul aneh—"Sejarah Pembalasan Dendam Terbesar" dan "Panduan Menjadi Antagonis Kelas Satu."
Zea, yang biasanya sangat rapi dan teratur, langsung panik saat menemukan isinya sudah berubah. "Astaga, Zen!" pekiknya, sambil melihat teman-temannya tertawa geli. "Gue nggak mau jadi karakter antagonis!"
Sementara Zen hanya tersenyum puas dari jauh, Raka dan Jeno yang kebetulan ada di dekatnya hanya bisa memandanginya dengan pandangan penuh kekhawatiran.
“Zen... lo yakin?” Jeno bertanya cemas. “Kalo Zea beneran marah, bisa lebih parah dari yang lo kira, loh.”
Zen menatapnya dengan senyum lebar. “Malah seru, kan?”
Ketegangan antara Zen dan Zea memuncak pada pertemuan yang tak terduga di ruang kuliah. Zea yang sudah lelah dengan segala permainan Zen memutuskan untuk berbicara langsung.
"Lo harus berhenti, Zen. Gue nggak main-main lagi!" Zea berdiri dengan tatapan tajam, matanya penuh amarah yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya.
Zen, yang biasanya penuh dengan senyuman, kini merespons dengan serius. "Zea, lo pikir gue nggak tahu tentang semua ini? Lo nggak akan bisa lari dari kebenaran."
Tiba-tiba, kehadiran Raka dan Jeno justru memperburuk keadaan. Raka, dengan niat baiknya yang sedikit terlambat, mencoba menenangkan Zea. "Duh, Zea, jangan marah. Kalau marah gitu, ntar Zen makin suka sama lo, deh."
Jeno, dengan kebingungannya yang khas, ikut menimpali, "Iya, serius deh. Tadi gue liat Zen bawa papan tulis bertuliskan 'Suka Zea' besar-besar!"
Zea menatap mereka berdua dengan tatapan bingung dan geli. "Apa?! Kalian ini teman apa musuh?!" teriak Zea, membuat seluruh kelas tertawa keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...