Pencarian yang Membawa Bahaya

2 1 0
                                    

Zea menahan napas di dalam lemari kayu besar, mencoba menyamarkan diri di balik tumpukan pakaian lama yang berdebu. Langkah-langkah pria bersenjata semakin mendekat, dan jantungnya berdetak keras. Sementara itu, pikirannya melayang, berpikir tentang apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Tiba-tiba, terdengar suara keras dari luar kamar, seakan-akan ada yang mencoba membuka pintu. Zea menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang.

Di luar villa, Zen, Raka, Jeno, dan Mina, yang tanpa sengaja telah mengikuti jejak Zea, akhirnya tiba di lokasi yang mereka tuju. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi mereka tahu ada sesuatu yang mencurigakan dengan hilangnya Zea dari kosnya.

"Zea di mana sih? Kok nggak ada kabar sama sekali?" keluh Mina, yang berjalan dengan cepat, mengusap keringat yang mulai menetes.

"Aku bilang, jangan ikut!" Zen berkata, agak kesal, tetapi jelas ada rasa khawatir di wajahnya. "Tapi siapa yang denger? Sekarang kita malah bingung, nggak tahu di mana dia."

Raka tiba-tiba berhenti. "Hey, tunggu! Lihat deh, itu villa yang disebut-sebut dalam dokumennya! Gila, tempatnya serem banget!"

Jeno, yang biasanya ceria, malah tampak serius. "Kalau itu tempatnya, berarti kita harus hati-hati. Kita nggak tahu apa yang sedang terjadi di dalam."

"Jadi, kita harus gimana?" tanya Mina cemas.

"Aku sih… terus terang aja, lebih suka nunggu di luar aja." Raka mengangkat bahunya dengan santai. "Bukan masalah takut, cuma… kalau terjadi sesuatu, aku lebih suka lari ke rumah makan dulu."

Jeno menatap Raka dengan tatapan tajam. "Kamu nggak boleh lari, Raka! Ini soal teman kita! Kita masuk, cari Zea, dan keluar!"

Raka mengangkat tangannya. "Oke, oke! Tapi kalau ada zombie di dalam villa itu, aku nggak bisa janji!"

Zen menggulung matanya. "Jangan ngomongin zombie, Rak. Kita nggak mau ketawa sekarang."

Mereka berjalan perlahan ke pintu villa. Zen merasakan ketegangan yang sama dengan Raka, meskipun dia berusaha tetap tenang. Begitu mereka tiba di pintu, mereka terkejut mendapati pintu itu tidak terkunci. Zen melirik ke dalam, dan suasana di dalam tampak begitu sunyi dan menegangkan.

"Harusnya kita berhati-hati," Zen berkata pelan, memberi isyarat agar mereka tetap waspada.

Namun, mereka baru melangkah masuk ketika sebuah suara keras terdengar dari dalam villa. Suara kaca pecah. Semua orang terkejut, dan Zen segera bergerak menuju sumber suara, diikuti oleh Raka yang tampaknya sedang berusaha keras menyembunyikan rasa takutnya.

“Wah, ini sih udah kayak film horror!” Raka bergumam pelan, sambil berjalan tergesa-gesa.

"Ssttt! Jangan bikin suara!" Zen berbisik, menatap tajam pada Raka.

Raka menoleh dengan wajah bingung. "Apa? Aku nggak bilang apa-apa kok! Aku kan cuma ngomong sama diri sendiri!"

Di tengah kebingungannya, Jeno yang lebih berhati-hati memimpin mereka menuju bagian dalam villa. "Ikut aku, hati-hati! Jangan sampai kepergok!"

Mereka menyusuri lorong yang panjang, penuh dengan barang-barang usang, sampai akhirnya mereka menemukan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Zea sedang bersembunyi di balik lemari di dalam kamar kecil. Hati mereka terasa lega, namun mereka tahu situasi ini jauh dari selesai.

Namun, sebelum mereka sempat mendekat lebih jauh, Raka, dengan kecerobohannya, menendang sebuah vas yang tergeletak di sudut ruangan. "Aduh!" suara keras itu membuyarkan keheningan.

“Gimana sih, Rak?!” Zen hampir berbisik dengan keras, tapi dalam situasi tegang seperti ini, Raka tetap saja bisa bikin masalah.

Langkah-langkah pria bersenjata dari luar semakin mendekat. Zea yang berada di dalam kamar, terkejut mendengar suara langkah itu. "Mereka datang!" Zea berbisik. “Aku harus keluar dari sini…”

zea milik si berandalan[ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang