Malam semakin larut. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara angin yang meniup dedaunan di sekitar tempat persembunyian mereka. Di dalam ruangan kecil itu, Zea duduk diam dengan dokumen di tangannya. Wajahnya yang biasanya tegas kini tampak dipenuhi bayang-bayang keraguan dan duka."Zea, kamu baik-baik saja?" Zen mendekat, duduk di sampingnya.
Zea mengangguk lemah, tapi tidak menatap Zen. "Tidak sepenuhnya. Semakin banyak aku tahu, semakin aku merasa tersesat. Semua ini... terasa seperti mimpi buruk yang nggak pernah selesai."
Zen terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kita akan mencari tahu semuanya. Bersama-sama. Kamu nggak sendirian."
Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kembali melayang ke masa lalu-ke wajah ibunya, Eliza Safira Winata.
"Ibu meninggal saat aku masih kecil," Zea memulai dengan suara pelan. "Mereka bilang itu kecelakaan, tapi aku tahu itu bukan kecelakaan biasa."
Raka, yang duduk di pojok ruangan, menghentikan gumamannya dan menatap Zea. "Kecelakaan? Maksudmu, nggak ada yang aneh waktu itu?"
Zea menggeleng. "Banyak yang aneh. Dokter bilang ibu keracunan, tapi nggak pernah ditemukan bukti jelas dari mana racun itu berasal. Ayahku... dia selalu bilang semuanya sudah selesai dan aku nggak perlu tahu. Tapi aku nggak pernah percaya."
Cecil mendekat, duduk di lantai dekat kaki Zea sambil memeluk Kentut. "Mungkin ada sesuatu yang ibu kamu tahu. Sesuatu yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan."
Zea mengangguk. "Aku ingat, ibu sering bicara tentang kebenaran. Dia bilang bahwa hidup kita nggak sepenuhnya bersih, bahwa keluarga kami punya sisi gelap. Tapi aku terlalu kecil untuk mengerti."
Jeno, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Kalau benar ada yang disembunyikan, mungkin itu alasan ibu kamu jadi target."
"Target?" tanya Zea, meski dalam hati ia tahu Jeno mungkin benar.
Jeno mengangguk perlahan. "Kalau perusahaan itu terlibat dalam banyak hal ilegal, dan ibu kamu tahu terlalu banyak, mungkin dia dianggap ancaman."
Ruangan itu kembali sunyi. Zea menatap dokumen yang ada di tangannya. "Aku harus tahu. Aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Ibu meninggal dengan membawa rahasia, dan aku nggak akan membiarkan semuanya terkubur."
Zen menatapnya dengan penuh perhatian. "Jadi, langkah kita selanjutnya apa?"
Zea memandang teman-temannya satu per satu, lalu berkata tegas, "Kita ke rumah lama ibu. Kalau ada sesuatu yang bisa memberi petunjuk, itu pasti di sana."
Perjalanan menuju rumah lama Eliza terasa panjang dan sunyi. Rumah itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi oleh kebun yang sudah lama tidak dirawat. Ketika mereka tiba, pintu kayu tua itu masih berdiri kokoh, meski catnya mulai terkelupas.
"Ini rumahnya?" tanya Raka, melirik ke sekeliling.
Zea mengangguk pelan. "Ya. Sudah bertahun-tahun aku nggak ke sini."
Mereka masuk perlahan, suasana rumah terasa dingin dan sunyi, seakan waktu berhenti di dalamnya. Zea memimpin mereka ke ruang kerja Eliza. Di sana, meja besar yang dipenuhi buku-buku tua dan bingkai foto berdebu masih berdiri seperti dulu.
Zea berjalan ke arah meja itu, tangannya gemetar saat mengambil sebuah foto keluarga. Wajah Eliza tersenyum hangat di foto itu, memeluk Zea kecil dengan penuh cinta.
"Dia terlihat seperti ibu yang hebat," gumam Cecil.
"Iya," jawab Zea lirih. "Dia ibu yang hebat. Dan aku akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...