Malam semakin larut. Angin dingin menusuk kulit Zea dan Zen yang masih bersembunyi di hutan kecil. Mereka berusaha menenangkan napas setelah lolos dari pengejaran. Namun, perasaan cemas tak kunjung surut."Aku nggak percaya kita lolos begitu saja," gumam Zea, memeriksa luka kecil di lengannya akibat ranting tajam.
Zen mengusap dahi penuh keringat sambil memandang jalan setapak yang baru saja mereka lewati. "Mereka pasti masih mencari kita. Kita harus cepat balik sebelum mereka menemukan jejak."
Tapi sebelum mereka bergerak, suara langkah kaki terdengar mendekat. Zen dan Zea sigap bersembunyi di balik semak-semak. Yang muncul adalah sosok Jeno dan Raka dengan wajah panik.
"Zea! Zen!" Jeno berbisik keras.
Zea keluar dari persembunyiannya. "Kenapa kalian kembali? Bukannya aku bilang kalian pergi ke tempat aman?"
Jeno dan Raka saling pandang, dan Raka akhirnya membuka suara. "Mina terluka."
Wajah Zea seketika memucat. "Apa? Apa yang terjadi?"
Jeno menggaruk kepala dengan wajah bersalah. "Kami nyaris tertangkap waktu mau kabur. Mina kena pukul saat berusaha melindungi Cecil dari salah satu pria itu."
Zen mengepalkan tangan. "Dia sekarang di mana?"
"Kami bawa ke rumah sakit kecil di dekat sini. Cecil lagi jagain dia. Tapi kita harus cepat. Pria-pria itu pasti tahu Mina masih di daerah ini," kata Raka dengan nada serius.
Mereka segera bergegas ke lokasi rumah sakit. Sesampainya di sana, suasana hening berubah riuh ketika Cecil berlari keluar dengan wajah panik.
"Kak Zen! Kak Zea!" serunya. "Dokternya bilang Mina butuh operasi kecil. Tapi mereka nggak punya alat lengkap."
Zea mendekat dan memegang bahu Cecil. "Tenang. Kita pasti bisa cari bantuan. Mina akan baik-baik saja."
Namun, ketegangan berubah seketika ketika Kentut, si kucing kecil, muncul dari dalam rumah sakit dengan mulut menggigit perban bekas yang ia ambil dari ruang perawatan. Perban itu menjuntai seperti bendera kecil yang membuat Raka dan Jeno tertawa terbahak-bahak.
"Gue nggak tahu siapa yang lebih nyusahin, Kentut atau kita," ujar Raka sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa.
Zea mendesah keras. "Ini nggak lucu, Rak!"
"Bukan salah Kentut. Dia cuma coba bantu," Cecil membela si kucing yang kini duduk manis di lantai.
Zen menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Oke, fokus. Mina harus diselamatkan. Tapi kita juga nggak boleh tinggal di sini terlalu lama."
Saat mereka berembuk, Kentut kembali mencuri perhatian. Kali ini, ia menarik-narik kantong kecil yang jatuh dari tas Mina. Saat Zea membuka kantong itu, ia menemukan sebuah kartu nama berlogo perusahaan misterius yang sebelumnya mereka lacak-perusahaan yang terhubung dengan ayahnya.
"Apa ini? Kenapa Mina punya kartu ini?" gumam Zea, tatapannya penuh pertanyaan.
Raka menyahut, "Gue rasa Mina tahu lebih banyak dari yang kita kira."
Sebelum mereka bisa menganalisis lebih lanjut, sebuah suara berat terdengar dari belakang mereka.
"Kenapa kalian menyebut nama perusahaan itu?"
Semua menoleh dan melihat seorang pria tua berdiri di dekat pintu rumah sakit. Wajahnya penuh kerut, tapi matanya tajam seperti pisau. Pria itu tampak mengenali logo pada kartu nama di tangan Zea.
Zea segera mendekati pria itu. "Kakek tahu sesuatu?"
Pria itu mengangguk pelan. "Aku bekerja di perusahaan itu dulu. Tapi aku dipecat setelah mencoba melaporkan transaksi ilegal yang mereka lakukan. Kalian sebaiknya menjauh dari ini semua. Itu bukan urusan anak-anak seperti kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...