Jejak Misteri dan Kedatangan yang Mengejutkan

10 1 19
                                    

Hari itu, suasana di Philo High School terasa berbeda. Zea dan Zen mulai terlihat lebih sering berbicara, meski masih diselingi adu mulut kecil. Mina, sahabat Zea yang selalu ceria dan suka bergosip, tidak berhenti memandangi keduanya dari jauh.

"Zea, lo udah nggak tahan sama Zen, ya? Kok gue liat lo mulai lembut gitu sama dia," goda Mina sambil mengunyah roti isi.

"Lembut apanya? Gue cuma... capek marah-marah terus. Bukan berarti gue suka, Min!" jawab Zea dengan nada defensif, tapi pipinya memerah.

Di sisi lain, Jeno dan Raka kembali sibuk dengan rencana konyol mereka. Kali ini, mereka mencoba membuat Zen dan Zea lebih sering menghabiskan waktu bersama, dengan harapan bisa menciptakan lebih banyak "drama lucu."

"Gue punya ide!" seru Raka. "Kita atur supaya Zea dan Zen terjebak di ruang seni, biar mereka ngobrol!"

Jeno mengangguk antusias. "Iya, Bro! Tapi... lo yakin mereka nggak bakal bunuh-bunuhan di sana?"

Namun, sebelum rencana itu terlaksana, sesuatu yang lebih besar terjadi.

Sore itu, saat Zea kembali ke kos Mina, ia mendapati sebuah pemandangan yang membuatnya terkejut. Ayahnya, Pak Winata, berdiri di depan pintu kos bersama Jeni, istri barunya. Jeni tampak anggun dengan senyum palsu yang selalu ia pasang di depan umum, tapi tatapannya pada Zea penuh dengan rasa tidak suka.

"Ayah?" Zea memandang mereka dengan waspada.

"Kamu pikir, kamu bisa kabur dari tanggung jawab sebagai anak saya? Kamu ini tinggal di mana? Dengan siapa?" bentak ayahnya.

"Ayah, aku-aku tinggal di sini sama Mina. Aku nggak mau pulang karena-"

"Karena apa?" potong Jeni dengan nada sinis. "Karena kamu nggak suka aku jadi ibumu? Dengarkan aku baik-baik, Zea. Aku nggak peduli kamu mau suka atau nggak. Kamu tetap tanggung jawab keluarga ini, dan kamu harus pulang."

Mina, yang baru saja keluar dari kamar, mencoba melindungi Zea. "Pak, kalau Zea nyaman tinggal di sini, biarkan dia di sini. Dia baik-baik aja kok!"

Namun, Jeni hanya mendelik. "Kamu jangan ikut campur, anak kecil!"

Kekacauan itu terhenti ketika tiba-tiba Zen muncul di depan kos. Ia melihat Zea yang tampak ketakutan, dan tanpa ragu, ia maju untuk membela.

"Pak Winata, kalau Zea nggak mau pulang, itu hak dia. Jangan paksa dia buat sesuatu yang dia nggak mau," kata Zen dengan nada tegas.

Pak Winata mendengus marah. "Kamu siapa, anak muda? Jangan ikut campur urusan keluarga kami!"

Tapi Zen tetap berdiri tegak. "Saya Zen Wijaya. Dan kalau saya tahu ada orang yang menyakiti Zea, saya nggak akan diam."

Zea terkejut mendengar keberanian Zen. Namun, Jeni tiba-tiba tersenyum licik. "Oh, jadi ini teman dekatmu sekarang, Zea? Hebat. Apa dia tahu tentang... ibumu?"

Zea membeku. "Apa maksudmu?"

Jeni menatapnya dingin, tapi sebelum ia bisa melanjutkan, Pak Winata menariknya pergi. "Cukup, Jeni. Jangan bicara terlalu banyak."

Setelah mereka pergi, Zen menatap Zea dengan serius. "Apa maksudnya, Zea? Ada apa dengan ibumu?"

Namun Zea menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Gue nggak tahu, Zen. Gue beneran nggak tahu..."

Beberapa hari kemudian, di tengah kekacauan hidup Zea, Zen dikejutkan dengan kedatangan keluarganya dari luar negeri. adiknya Cecil yang masih duduk di bangku SMP, dan ayahnya yang karismatik tiba-tiba muncul di depan rumah Zen.

"Zen! Lama nggak ketemu," sapa ayahnya dengan hangat.

Zen mengerutkan dahi. "Kenapa kalian tiba-tiba pulang?"

zea milik si berandalan[ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang