Malam terasa dingin saat Zea berjalan sendirian menuju makam ibunya, Eliza Safira Winata. Sebuket bunga putih ada di tangannya, melambangkan kesucian dan kerinduan yang mendalam. Ia melangkah pelan melewati nisan-nisan yang berjajar rapi, menuju sudut sunyi di pemakaman. Di sana, di bawah naungan pepohonan rindang, terletak makam ibunya—sosok yang kini terasa seperti teka-teki besar dalam hidupnya.Berjongkok di depan batu nisan itu, Zea menyentuh ukiran nama ibunya dengan lembut. “Ibu…” bisiknya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sebenarnya dirimu?”
Namun, malam ini, keheningan makam itu terasa berbeda. Seolah-olah keheningan itu memanggilnya untuk menggali lebih dalam rahasia yang selama ini terkubur.
Langkah pelan dari belakang memecah lamunannya. Zea menoleh dengan cepat, dan di bawah bayangan malam, sosok pria yang tak asing muncul. Itu Armand.
“Aku tahu kau akan datang ke sini,” kata Armand sambil berjalan mendekat. Wajahnya tampak murung, matanya mengamati nisan Eliza dengan penuh beban.
Zea bangkit berdiri, memandang Armand dengan tatapan tajam. “Kenapa kau mengikutiku? Apa lagi yang kau sembunyikan?”
Armand menatap Zea dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak menyembunyikan apa pun, Zea. Tapi ada sesuatu yang harus kau ketahui—tentang ibumu, dan tentang ayahmu.”
“Cukup dengan teka-teki,” Zea membalas dengan suara dingin. “Aku lelah mendengar setengah kebenaran.”
Armand menarik napas panjang. “Ayahmu… dia bukan hanya sekadar suami Eliza. Dia adalah orang yang pernah sangat dicintai oleh ibumu, tetapi juga seseorang yang akhirnya mengkhianati kepercayaan itu. Setelah kematian ibumu, dia berubah. Pernikahannya dengan Jeni bukan hanya tentang cinta—itu adalah bagian dari permainan Arkana.”
Zea tersentak. “Permainan? Apa maksudmu?”
“Setelah Eliza meninggal, ayahmu memilih jalannya sendiri. Dia menyerahkan segalanya kepada Arkana—termasuk keluarganya. Pernikahannya dengan Jeni hanyalah kedok, sebuah cara untuk memperkuat posisinya di dalam organisasi. Sejak itu, dia berubah menjadi pria yang hanya memikirkan kekuasaan.”
Zea merasa darahnya membeku. Ia teringat perubahan sikap ayahnya sejak menikah dengan Jeni. Dari pria yang hangat dan penuh kasih, ia berubah menjadi seseorang yang keras, dingin, dan ambisius. “Tidak… tidak mungkin…” gumamnya.
“Percayalah, Zea,” kata Armand dengan nada serius. “Jika kau ingin tahu kebenaran tentang ibumu, kau harus menghadapi ayahmu. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu seluruh cerita.”
Setelah pertemuan itu, Zea memutuskan untuk kembali ke kos Mina. Malam itu di kamar, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Armand terus bergema di pikirannya. Keputusan untuk menyusup ke rumahnya sendiri mulai terbentuk dalam benaknya.
Pukul dua dini hari, Zea mengambil tas kecil dan mengenakan jaket gelap. Mina, yang biasanya tertidur pulas, tak menyadari apa pun. “Maaf, Min,” bisik Zea pelan sebelum menyelinap keluar dari kamar kos.
Perjalanan ke rumahnya terasa panjang. Udara dingin menampar wajahnya, namun ia tidak memedulikannya. Sesampainya di dekat rumah, Zea berhenti sejenak di balik pagar tinggi. Rumah itu gelap, hanya lampu teras yang menyala. Ia tahu ayah dan Jeni biasanya tidur di lantai atas, jadi lantai bawah seharusnya aman.
Dengan hati-hati, Zea memanjat pagar dan memasuki halaman. Kunci pintu belakang masih tersimpan di bawah pot bunga—kebiasaan lama yang tak pernah berubah. Perlahan, ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah yang kini terasa asing baginya.
Zea menyelinap ke ruang kerja ayahnya, ruangan yang selama ini terasa seperti tempat terlarang. Dalam kegelapan, ia hanya dibantu oleh senter kecil yang ia bawa dari kos. Ia mulai mencari apa pun yang bisa membantunya mengungkap rahasia keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...