Kelompok itu berhasil mencapai pintu belakang villa. Udara dingin hutan menyambut mereka saat mereka melangkah keluar, tetapi rasa lega hanya berlangsung sesaat. Di kejauhan, terdengar suara anjing penjaga menggonggong, dan langkah kaki pria bersenjata kembali terdengar mendekat."Ke arah kanan, sekarang!" Zea berbisik dengan suara mendesak.
Mereka semua berlari, melintasi jalan setapak yang penuh semak berduri. Raka kembali terpeleset di tanah yang licin, tetapi Zen dengan cepat menariknya berdiri. "Kalau jatuh lagi, kita tinggal, Rak," ucap Zen, setengah bercanda tapi penuh tekanan.
Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, mereka menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara bebatuan besar. Zea memberi isyarat agar mereka masuk. "Kita sembunyi di sini dulu. Aku butuh waktu untuk berpikir."
Saat mereka berjongkok di dalam gua, napas mereka terengah-engah, tetapi akhirnya ada keheningan. Jeno menyalakan senter kecil yang ia bawa, dan cahaya redupnya menyinari wajah mereka yang penuh keringat dan ketegangan.
"Zea," Zen memulai dengan nada serius. "Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kamu ada di villa itu? Dan siapa orang-orang bersenjata itu?"
Semua mata tertuju pada Zea, menunggu jawaban. Zea menunduk, menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Villa itu... adalah milik keluargaku."
Semua orang terkejut. Mina menutup mulutnya, sementara Raka mengangkat alis tinggi. "Tunggu, villa serem itu? Maksudmu keluargamu yang punya?"
Zea mengangguk pelan. "Aku baru tahu beberapa waktu lalu. Setelah ibuku meninggal, ayahku menyimpan banyak rahasia, termasuk soal villa itu. Villa itu bukan sekadar tempat tinggal biasa. Di sana, ada sesuatu yang berharga... sesuatu yang diburu banyak orang."
"Apa itu?" Zen bertanya, matanya tajam.
Zea ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Flash drive."
"Flash drive?" Jeno mengulang dengan nada bingung. "Cuma itu? Masa iya orang-orang bersenjata ngejar kita cuma buat itu?"
Zea menggeleng. "Flash drive itu berisi dokumen-dokumen penting. Informasi tentang jaringan mafia internasional. Selama ini, aku nggak tahu apa-apa soal urusan bisnis ayahku. Tapi setelah aku menemukan surat-surat lama ibuku, aku tahu ayahku terlibat dalam hal-hal yang gelap dan berbahaya."
Semua orang terdiam, mencerna informasi itu. Mina akhirnya bertanya, "Lalu, orang-orang bersenjata itu... mereka siapa?"
Zea menggigit bibirnya. "Mereka adalah musuh ayahku. Mereka tahu aku menemukan flash drive itu. Sekarang mereka mengincarku untuk mengambilnya."
Raka yang biasanya ceria tampak serius untuk pertama kalinya. "Jadi, flash drive itu ada sama kamu?"
Zea mengangguk. "Aku menyembunyikannya di villa sebelum mereka datang. Tapi aku belum sempat mengambilnya lagi."
Zen memukul lututnya dengan frustrasi. "Jadi kita balik ke villa, ambil flash drive itu, dan pergi sebelum mereka menemukan kita. Itu rencananya, kan?"
"Aku nggak tahu," Zea menjawab jujur. "Aku nggak mau melibatkan kalian lebih jauh. Ini urusanku."
"Terlambat, Zea," kata Zen tegas. "Kami sudah di sini. Kami nggak akan pergi tanpa memastikan kamu selamat."
Zea menatap Zen, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Ia mengangguk pelan. "Baiklah. Kita harus ke villa lagi, tapi kali ini kita harus lebih berhati-hati."
Mereka menyusun rencana dengan cepat. Jeno akan mengawasi dari luar villa, Mina bertugas mencari jalan keluar yang aman, sementara Zen dan Zea masuk ke dalam untuk mengambil flash drive itu. Raka, meskipun ragu, bersikeras ikut dengan Zen dan Zea.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...