Malam yang panjang akhirnya berlalu, membawa mereka kembali ke kota dengan berbagai rencana dan rahasia yang belum terpecahkan. Mereka semua sepakat untuk melanjutkan penyelidikan, tetapi kali ini dengan lebih berhati-hati. Zea meminta Mina dipindahkan ke rumah sakit yang lebih aman di kota, di bawah pengawasan dokter terpercaya.
Di perjalanan pulang, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Setiap orang sibuk dengan pikirannya sendiri, terutama Zea, yang memegang erat kotak logam kecil di pangkuannya. Kotak itu, yang ditemukan di rumah lama Eliza, menjadi simbol dari segala misteri yang belum terjawab.
Setibanya di kota, Cecil memutuskan untuk kembali ke rumah Zen bersama Kentut, kucing kecil yang tampaknya sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Cecil yang sebenarnya adalah adik Zen, akhirnya terlihat lebih rileks setelah satu minggu penuh ketegangan.
Malam itu, suasana rumah Zen terasa hangat, meskipun semua orang masih diliputi kekhawatiran. Cecil dan Kentut sibuk di ruang tamu, sementara Zea berdiri di balkon, menatap langit malam yang penuh bintang. Zen menghampirinya dengan langkah pelan, membawa dua cangkir teh hangat.
"Kamu nggak tidur?" tanya Zen, menyerahkan salah satu cangkir kepada Zea.
Zea menggeleng, memegang cangkir itu tanpa benar-benar meminumnya. "Masih banyak yang ada di pikiranku."
Zen menatapnya sejenak sebelum berkata, "Aku tahu kamu kuat, Zea. Tapi nggak apa-apa kalau kamu butuh tempat untuk berbagi."
Zea tersenyum tipis, tetapi ia tidak segera menjawab. Udara malam terasa dingin, tetapi kehadiran Zen di sisinya memberikan sedikit kehangatan.
Setelah beberapa saat, Zen membuka pembicaraan dengan suara lembut, "Zea, aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku harus jujur. Aku nggak bisa terus menyimpan ini sendirian."
Zea menoleh, menatap Zen dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Zen menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku menyukaimu, Zea. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku yakin dengan perasaanku."
Zea terdiam. Kata-kata itu membuat dadanya berdebar. Namun, ia tahu hatinya belum siap untuk menerima atau memberikan jawaban.
"Aku... Aku nggak bisa menjawab sekarang, Zen," kata Zea akhirnya, suaranya lembut namun tegas. "Masalah ibuku masih belum selesai. Aku harus menyelesaikan ini dulu sebelum aku bisa memikirkan hal lain."
Zen mengangguk pelan, meskipun ada kekecewaan yang terlihat di matanya. "Aku mengerti, Zea. Aku nggak akan memaksa. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada di sini untukmu, apapun yang terjadi."
Zea tersenyum kecil. "Terima kasih, Zen. Kamu adalah salah satu alasan aku bisa bertahan sejauh ini."
Sebelum Zen pergi, Zea menyerahkan kotak logam kecil itu kepadanya. "Zen, aku punya satu permintaan. Kalau aku nggak bisa menyelesaikan ini... aku ingin kamu yang membuka kotak ini dan mencari tahu apa yang ada di dalamnya."
Zen terkejut, tetapi ia menerima kotak itu dengan penuh kehati-hatian. "Aku janji, Zea. Tapi aku yakin kita akan menyelesaikan ini bersama."
Malam itu, meskipun tidak ada jawaban pasti, sebuah ikatan yang lebih dalam terjalin di antara mereka. Bukan hanya karena cinta, tetapi karena rasa percaya yang tumbuh di tengah segala kesulitan.
Keesokan harinya, mereka semua mencoba kembali ke kehidupan normal. Zea dan Zen kembali ke kampus, sementara Raka dan Jeno juga melanjutkan aktivitas mereka. Namun, satu minggu penuh ketegangan dan misteri telah mengubah cara mereka memandang dunia.
Di rumah sakit, Mina menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun ia masih lemah. Zea sering mengunjunginya di sela-sela waktu kuliahnya, memastikan sahabatnya merasa aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[ON GOING]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...