Namaku Ryu, dan kisah ini bukan tentang pahlawan yang selalu melakukan hal baik. Ini adalah cerita tentang perjalanan penuh kekacauan, sedikit penyesalan, dan banyak drama & tawa.
Saat aku di kelas 7 SMP, aku sudah jadi anak bandel. "Raja kerusuhan," begitu mereka memanggilku. Dari guru sampai penjaga sekolah, semua orang kenal siapa si tukang rusuh satu ini.
Punya teman seperti Kenge dan Relo, reputasiku semakin berkembang. Kenge adalah tangan kananku yang selalu menurut, apa pun perintahku. Nggak peduli seaneh atau segila apa pun idenya, dia bakal ikut. Relo, di sisi lain, selalu takut kalau aku ngajak bikin onar, tapi anehnya, dia tetap aja nggak pernah menolak.
Suatu hari, ide liar muncul lagi di kepala ku. "Relo, ayo ikut gua ke parkiran motor!"
"Eh, mau ngapain lagi, Ry?" tanyanya, cemas.
"Udah, nggak usah banyak tanya. Bawa botol minum kosong aja!"Dengan Kenge yang sibuk mengawasi, aku dan Relo melakukan aksi kecil paling legendaris: mengencingi motor teman di parkiran. Hasilnya? Motor itu bau pesing sepanjang jalan pulang, dan keesokan harinya kelas ribut membuli teman kami tiap kali dia masuk ruangan.
"Ry, ini kayaknya keterlaluan deh," kata Relo dengan suara gemetar.
Aku tertawa sambil menepuk pundaknya. "Santai aja, Relo. Lagi siapa suruh motornya ngalangin jalan gua."Tentu saja, kenakalan kami nggak berhenti di situ. Di kelas, aku sering keluar tanpa izin cuma untuk melakukan kerusuhan. Sambil pura-pura mikir serius, aku sengaja bikin suasana semakin ribut. Kalau ada yang bertanya, "Ryu, ngapain lo di luar?" aku cuma jawab, "Lagi ngasih kesempatan orang lain untuk merasakan ketenangan kelas tanpa gangguan." Tentu saja, jawaban itu bikin teman-teman sinis, terutama ketua kelas yang nggak bisa ngelakuin apa-apa.
Di lapangan olahraga, aku juga nggak kalah gila. "Kenge, lu lihat celana siapa yang longgar?" bisik aku sambil menunjuk teman cewek yang lagi main voli.
Kenge, yang penurut luar biasa, langsung menunjuk salah satu teman cewek kami tanpa ragu.
"Dia, Ry. Tapi yakin, mau narik celana cewek?" bisiknya sambil cengengesan.
Aku nyengir. "Yakinlah! Kalau nggak begini, kapan lagi kita bikin cerita?"Tentu saja, aku melakukan hal yang lebih gila lagi. Di tengah lapangan, aku menarik celana teman cewek itu. Dia teriak histeris, sementara seluruh lapangan tertawa terbahak-bahak.
Aku? Aku hanya berdiri dengan bangga, seperti pahlawan yang baru memenangkan pertempuran.Namun, semua kenakalan itu ada akibatnya. Ketika kenaikan kelas tiba, aku dipanggil ke ruang guru. Di sana, Bu Neni, wali kelas aku, sudah menunggu dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Ryu," katanya dengan nada dingin, "kamu tidak naik kelas."
Aku mengangkat alis, mencoba terlihat santai. "Apa? Kok bisa, Bu?"
"Bisa? Kamu masih tanya? Semua catatan pelanggaranmu ini panjangnya kayak novel, bolos sekolah keseringan, berantem, ketahuan merokok, belum lagi kenakalan-kenalan lain yang dicatat di ruang BK!" katanya sambil menunjukkan map besar di mejanya.Aku menelan ludah. Oke, kali ini gawat.
"Tapi..." lanjut Bu Neni, "ada satu solusi. Kamu harus pindah sekolah, saya udah bilang ke orang tua kamu kok."Aku keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Begitu aku sampai di kantin, Kenge dan Relo sudah menunggu.
"Gimana, Ry?" tanya Kenge dengan rasa ingin tahu.
"Gua disuruh pindah sekolah sialan," jawab aku lesu.Relo, yang selalu was-was, langsung panik. "Apa?! Pindah? Ke mana? Kenapa? Jangan bilang gara-gara gua ikut bantuin lu waktu di parkiran!"
Aku menatapnya datar. "Lu pikir semua masalah gua itu cuma gara-gara sma lu, Relo? Jangan GR boaz salossa lu gak akan ikut dikeluarin."Kenge malah tertawa kecil. "Santai aja, Ry. Lu kan bisa bikin kerusuhan di sekolah baru. Itu bakal seru banget!" Aku dengan senyuman berkata, "Bener sih, aku bakal lebih bikin onar disana nge."
Malam itu, suasana rumah jauh lebih tegang dari biasanya. Ayah duduk di kursi dengan wajah dingin, sementara Ibu mencoba menahan tangisnya.
"Kamu nggak naik kelas?" suara Ayah seperti guntur.
Aku mencoba membela diri. "Ayah, ini cuma salah paham. Guru-guru di sekolah itu emang nggak suka sama aku!"Ayah langsung menepuk meja. "Jangan cari alasan, Ryu! Kami sudah sabar, tapi ini keterlaluan!"
Ibu akhirnya ikut bicara, dengan suara serak. "Kami akan memindahkanmu ke sekolah baru. Di kota tempat kami berasal. Ini keputusan final, disana ada Tante dan Om kamu yang urus."
Aku mencoba memprotes. "Tapi, Bu, ini nggak adil! Di sana aku nggak kenal siapa-siapa!" Aku terkejut sambil bicara dalam hati. *Wah gawat nih, tempat tante Neli yang bener-bener bikin pusing karena mulutnya kayak rapper.*
Ibu menatap aku dengan mata berkaca-kaca. "Adil? Kamu pikir apa yang kami rasakan selama ini adil? Ryu, kami hanya ingin kamu berubah."Kata-kata itu membuat aku diam. Untuk pertama kalinya, aku merasa bersalah. Mereka benar. Semua ini salah aku. Aku menghela napas berat.
"Baik," kata aku pelan. "Aku akan pindah sekolah. Dan... aku akan berubah."Ayah menatap aku tajam. "Kami nggak butuh janji, Ryu. Kami butuh bukti."
Di dalam hati, aku bertekad: Ini adalah awal baru. Meski... ternyata itu juga awal dari kekacauan yang lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)
Teen FictionJudul: SIMFONI BOCAH LIAR On Going Update tiap hari kamis Genre: - Drama - Komedi - Coming-of-Age Rating: - 15+ Sinopsis: Ryu, seorang siswa yang dikenal karena kenakalannya, harus pindah ke sekolah baru yang sangat disiplin dan penuh...