Bab 5 : Karma di tengah taman bunga

18 3 0
                                    

Hari itu cuaca cerah. Aku mencoba untuk menjalani hari dengan ikhlas, meski hatiku masih terasa berat. Aku berjalan keluar rumah, berniat membeli beberapa keperluan untuk persiapan kepulangan ke kota asal. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup baru, meninggalkan semua kekacauan di belakang.

Namun, di tengah perjalanan, saat aku sedang memilih barang di sebuah toko kecil, suara langkah kaki dan keributan dari belakang membuat aku waspada.

"Eh, itu dia!" teriak salah satu suara yang familiar.

Aku menoleh, dan segerombolan orang dari sekolah mulai mendekat. Mereka adalah kakak kelas, teman-teman yang dulu pernah bermain judi bersama aku, dan beberapa wajah lain yang aku kenali. Wajah mereka terlihat penuh emosi dan dendam.

Tanpa banyak basa-basi, mereka mulai menyerang. Salah satu dari mereka mendorong aku hingga aku kehilangan keseimbangan.

"Apa-apaan ini?!" aku mencoba bertanya, tapi mereka tidak peduli.

Serangan itu berubah menjadi keroyokan. Tinju dan tendangan datang bertubi-tubi dari berbagai arah. Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu banyak. Kepala aku ditumbukkan ke batang pohon di dekat sana, membuat pandangan aku kabur. Tanganku juga terasa nyeri-mungkin cedera karena pukulan yang terus-menerus.

Sambil memukuli aku, salah satu dari mereka berteriak, "Penipu! Bandar biadab! Balikin duit gua!"

Aku hanya bisa diam, bingung, dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku terus menahan rasa sakit sambil mencoba menjaga diri tetap sadar.

Saat aku hampir tak sanggup lagi, sosok yang aku kenal baik muncul di tengah kerumunan. Itu Reki.

Dengan langkah santai dan senyum mengejek, dia mendekat. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan empati.

"Gimana, enak nggak dipukulin?" tanyanya dengan nada sinis. "Enak nggak makan duit orang-orang?"

Aku mencoba berkata sesuatu, tapi sebelum aku sempat membuka mulut, dia membungkuk dan berbisik di telinga aku, "Kalo sama lu, gua nggak bisa kuasain sekolah. Dan gua nggak bakal dapet uang jajan yang banyak kayak sekarang."

Dia tertawa kecil, kemudian menambahkan dengan suara penuh ejekan, "Makasih, Ryu. Si tolol."

Reki pergi sambil tertawa puas, meninggalkan aku yang terkapar di tanah, sendirian dengan rasa sakit dan rasa hancur di hati, Yang kukira sahabat orang yang paling aku mengerti ternyata sama sekali aku tak mengerti apa yang ia lakukan.

Tubuhku terasa sangat lemah setelah dipukuli. Setiap langkah terasa berat, dan aku kesulitan untuk berdiri. Aku berlutut di tengah kerumunan, merasakan darah mengalir dari luka-luka di tubuhku. Kepalaku berputar, dan dunia seakan berputar cepat mengelilingiku. Aku hampir tak mampu menahan sakit yang terus menghujam.

Namun, tiba-tiba, ada suara lembut yang memanggil namaku. "Ryu!"

Aku mengangkat wajah, meski pandanganku kabur. Seorang wanita berdiri di depanku. Matanya penuh perhatian, dan senyumnya tampak tulus, meskipun aku tidak mengenalnya.

Dia bukan hanya seorang yang cantik dan anggun, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa sedikit tenang. Tanpa berkata banyak, dia segera meraih tanganku untuk membantu aku berdiri. Beberapa warga yang berada di dekat situ juga datang menghampiri, ikut membantu, dan membawa aku ke tempat yang lebih aman, jauh dari kerumunan.

Saat aku duduk di bangku yang lebih nyaman, wanita itu dengan lembut mengusap luka-lukaku. Tangannya terasa hangat, dan meskipun aku masih kesakitan, entah kenapa, rasanya seperti ada semacam kekuatan yang menyembuhkan. Setiap usapan di luka-luka itu memberi kelegaan, dan aku merasa seperti ada sedikit harapan yang kembali.

Aku memandang wajahnya, mencoba mengingat, tapi aku benar-benar tak bisa mengenalnya. Aku hanya ingat satu kejadian-di kantin sekolah beberapa waktu lalu. Waktu itu, aku tidak membawa uang dan dia membayar makanan untukku. Aku tidak mengingat banyak detail tentangnya, karena hidupku yang dulu begitu kacau, dan aku terlalu sibuk dengan masalah sendiri untuk peduli dengan orang lain. Kami berpisah setelah itu tanpa sempat berbicara lebih banyak.

Sekarang, di saat seperti ini, aku baru menyadari betapa kecilnya dunia ini. Namun, aku juga merasa aneh-kenapa dia repot-repot membantu aku? Kenapa dia peduli?

Wanita itu memandangku, senyumnya tetap terjaga meski dia tahu betapa buruk kondisiku. "Kamu nggak usah khawatir, Ryu," katanya dengan suara lembut. "Semua luka ini bisa sembuh, dan kamu masih punya kesempatan untuk berubah."

Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa malu. Seharusnya aku lebih menghargai orang-orang di sekitarku, seperti dia. Tapi, semua itu sudah terlambat.

Wanita itu melihat sekeliling dan berbisik, "Aku nggak kenal kamu, tapi aku tahu kamu bukan orang jahat. Kamu cuma salah jalan. Aku harap kamu bisa berubah, Ryu."

Dia mengusap luka terakhir di tubuhku, dan meskipun aku belum sepenuhnya sembuh, rasanya aku sudah mulai melihat secercah harapan di tengah kegelapan yang melanda hidupku.

Ketika dia selesai, dia berbalik dan beranjak pergi. Aku ingin memanggilnya, tapi kata-kata itu seakan terhenti di tenggorokanku. Tanpa mengenalku lebih jauh, dia sudah memberikan bantuan yang sangat berarti bagiku. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, dan berharap suatu hari nanti aku bisa memperbaiki diriku-untuk dirinya, untuk orang-orang yang peduli padaku.

Namun, dia sudah hilang dari pandanganku sebelum aku bisa mengucapkan terima kasih. Semua yang tersisa hanya rasa sesal dan harapan yang baru terbentuk dalam hatiku.

Hari itu akhirnya tiba, hari kepulanganku ke kota asal. Setelah semua kejadian yang menyakitkan dan penuh penyesalan, aku bertekad untuk menjadikan ini titik balik dalam hidupku. Aku memasukkan barang-barang terakhir ke dalam koper, memandangi kamar kecil yang telah menjadi saksi bisu dari pergulatanku dengan rasa bersalah dan keputusasaan.

Langit di luar cerah, tapi angin dingin musim gugur berhembus, seolah mengingatkan aku pada semua yang telah terjadi. Aku naik ke bus yang akan membawaku ke pelabuhan. Selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh wajah-wajah yang pernah aku sakiti, terutama keluargaku. Aku tahu, permintaan maaf saja tidak akan cukup, tetapi aku ingin mencoba.

Kapal akhirnya tiba di kota tempat aku tumbuh. Suasananya tidak banyak berubah-jalanan sempit, toko-toko kecil, dan suara anak-anak yang bermain di gang. Aku berjalan perlahan, menghirup udara yang terasa begitu familiar. Hanya saja, kali ini langkahku lebih berat. Ada perasaan cemas yang tak bisa kuhilangkan. Bagaimana jika mereka tidak mau menerimaku? Bagaimana jika aku hanya menjadi beban bagi mereka?

Rumahku ada di ujung perempatan jalan, dengan cat dinding yang mulai memudar. Aku berdiri di depan gerbang, tanganku bergetar saat mengetuk pintu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan pintu terbuka perlahan.

Ibuku berdiri di sana. Wajahnya tampak campur aduk antara senang, sedih dan kecewa bocah liarnya telah kembali.

SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang