Bab 9 : Yuni si pacar pertama

8 1 0
                                    

Hari kelulusan akhirnya tiba, hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Suasana sekolah penuh dengan semangat dan kegembiraan. Panggung besar untuk pentas seni berdiri megah di tengah lapangan, bazar makanan dan permainan meramaikan setiap sudut, dan semua siswa sibuk menciptakan kenangan terakhir bersama teman-temannya.

Aku, Dana, dan Yuni berkeliling bazar sambil mencicipi berbagai makanan. Dana, seperti biasa, sibuk memamerkan tingkah konyolnya. "Ryu, lihat tuh stand es krim pelangi! Gua yakin bisa makan sepuluh dalam lima menit! Mau taruhan nggak?" tanyanya penuh percaya diri.

Yuni melirik Dana dengan tatapan datar. "Kak Dana, kalau kakak makan sepuluh es krim dalam lima menit, aku jamin kakak nggak bakal lulus. Kakak langsung lulus ke rumah sakit."

"Yuni, jangan iri dong! Ini kan bakat alami gua bjir," jawab Dana sambil menyombongkan diri.

Aku hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Dana, berbakat makan lu itu cocok buat di taman lawang."

Di tengah kegembiraan, giliran Yuni yang membuat tingkah aneh. Dia membeli balon helium berbentuk hati dan mencoba bicara dengan suara yang lucu. "Kak Ryu, dengerin suara aku! Hahaha, lucu banget kan?" katanya sambil tertawa cekikikan.

Dana menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Yuni, gua nggak tahu mana yang lebih lucu: suara lu sekarang, atau fakta kalau balon itu lebih pintar dari lu bjir."

Yuni langsung memukul lengan Dana dengan kesal. "Kak Dana, kalau nggak bisa ngelucu, diem aja!"

Ketika acara hampir selesai, semua siswa berkumpul di lapangan untuk foto bersama dan mengucapkan selamat tinggal. Ada tawa, air mata, dan kenangan yang tak terlupakan. Tapi momen itu berubah menjadi canggung ketika Yuni mendekatiku dengan wajah serius.

Tanpa peringatan, Yuni memelukku erat, sangat erat sampai aku hampir sulit bernapas.
"Kak Ryu! Jangan pergi! Jangan ninggalin aku!" katanya sambil mempererat pelukannya.

Aku panik. "Yuni, lepas dulu! Gua nggak ke mana-mana. Tapi kalau gini terus, gua beneran nggak bisa napas!"

Tapi Yuni malah semakin erat memelukku. "Nggak mau! Aku nggak mau kakak pergi!" katanya dengan nada hampir menangis.

Beberapa siswa yang lewat mulai melirik kami dengan pandangan geli. Ada yang menutup mulut menahan tawa, ada juga yang mulai berbisik-bisik. Aku merasa sangat malu. "Yuni, lepasin, serius ini! Kalau nggak, gua bakal-"

Sebelum aku selesai bicara, Yuni menatapku dengan wajah benar-benar merah. Matanya mulai berkaca-kaca, dan dia bergumam pelan, "Kak Ryu... mau cium aku?"

Aku tertegun sejenak, lalu mendekatkan wajahku ke arahnya. Wajahnya semakin merah, dan dia mulai mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Tapi aku menarik sesuatu dari rambutnya: sehelai daun kecil yang tersangkut di sana.

"Siapa yang mau cium? Nih, Dana mau cium nggak?" tanyaku sambil menyerahkan daun itu pada Dana.

Ekspresi Dana langsung berubah cerah. "Wah, gua mau bjir! Gua mau banget!" katanya sambil mendekat ke Yuni dengan wajah penuh semangat.

Yuni, yang tadinya masih malu-malu, langsung bereaksi. Dia menampar Dana keras-keras hingga terdengar gema di seluruh lapangan. "Kak Dana, mimpi apa sih?! Jangan gajelas "

Dana hanya bisa berdiri mematung dengan wajah penuh rasa sakit. "Tapi... tadi kan Ryu yang nyuruh... Gua cuma..." gumamnya dengan suara pelan, seakan hidupnya baru saja hancur.

Yuni menambahkan, "Kak Dana, kalau aku terakhir di dunia ini dan kakak satu-satunya cowok yang tersisa, aku tetap milih nikah sama pohon."

Dana terduduk lesu sambil memegangi pipinya yang merah, matanya kosong seperti kehilangan semangat hidup. "Gua nggak bakal ngobrol sama cewek lagi seumur hidup bjir..." katanya pelan.

Namun, situasi semakin aneh. Banyak siswi di sekitarku mulai mencibir Yuni dengan pandangan sinis dan komentar tajam.
"Ih, Yuni tuh ya... nempel terus kayak perangko. Mau banget pacaran sama Ryu!"
"Geli banget deh. Berharap banget padahal nggak ada harapan."

Aku melihat Yuni menundukkan kepala, wajahnya memerah karena malu. Aku tahu dia tidak tahan dengan komentar itu. Dengan spontan, aku meraih tangannya, menariknya lebih dekat, dan berkata dengan suara lantang, "Yuni pacar gua, masalah buat kalian?"

Semua orang langsung terdiam. Bahkan sebelum bisik-bisik itu mulai lagi, aku menambahkan. "Kalau nggak suka, simpan sendiri pendapat kalian. Gua nggak peduli."

Lalu, tanpa basa-basi, aku mencium kening Yuni di depan kerumunan siswa yang masih terkejut. Suasana menjadi sangat heboh. Siswi-siswi yang tadi mencibir langsung bungkam, sementara Yuni menatapku dengan mata membelalak dan wajah merah padam.

"Kak... Kak Ryu..." katanya terbata-bata, terlalu gugup untuk melanjutkan kalimatnya.

Aku berkata. "Udah, nggak usah diambil hati omongan orang. Yuk, kita selesaiin hari ini dengan senyum."

Begitulah hari kelulusan berakhir: dengan suasana yang penuh emosi, tawa, dan sedikit kehebohan yang mungkin akan diingat semua orang selamanya.

SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang