Bab 3: Kembali ke Jalan Pemberontakan

16 2 0
                                    

Ternyata pria berjas hitam kemarin adalah Ayah Laksana yang seorang tentara berpangkat mayor. Sikap tegas dan disiplin yang diwarisi Laksana mungkin berasal dari kehidupan militer yang sudah melekat dalam keluarganya. Dia selalu jadi teladan siswa lain—rajin, patuh, dan pintar. Tapi buat gua dan Reki, dia lebih seperti bayangan yang selalu mengingatkan betapa jauh kami dari standar ideal. 

---

Beberapa minggu pertama di sekolah baru terasa seperti pertarungan batin antara berubah atau tetap jadi diri sendiri. Gua sempat mencoba untuk ikut aturan, duduk dengan serius di kelas, dan bahkan sesekali ikut diskusi pelajaran. Tapi... semua itu cuma bertahan sebentar. Keinginan buat kembali ke jalan lama, jalan yang penuh kebebasan dan kekacauan, semakin menguat.

Reki, partner in crime gua, sepertinya mulai merasakan hal yang sama. Di tengah suasana sekolah yang ketat, dia malah semakin bersemangat buat menciptakan kekacauan baru.

“Ayo, Ry, kita bikin tempat judi di sini, biar hidup kita nggak monoton,” ujar Reki suatu pagi, sambil megang setumpuk kartu remi. “Judi itu hiburan, bro. Dan di sini, nggak ada yang bisa nahan diri apalagi duit jajan mereka banyak semua beda sama kita.”

Gua menatap dia sejenak, merasakan godaan itu. “Lu beneran mau, Rek?”

“Beneran! Coba aja, kita bikin tempat taruhan di kelas, satu per satu. Pasti seru haha!”

Gua tertawa kecil. “Lu emang gila, Rek. Tapi... oke lah, kita coba.”

Dan seperti yang udah bisa diprediksi, kami mulai menyebarkan judi kecil-kecilan di kelas. Setiap istirahat, kelas kami jadi penuh dengan permainan kartu dan taruhan receh. Seiring waktu, kami makin berani dan mulai memperluas jaringan. Bukan cuma di kelas, tapi juga di kantin, di halaman sekolah, bahkan di ruang guru yang jarang dipakai. Kami jadi bandar utama, dengan para siswa kelas atas yang jadi pelanggan tetap.

Tapi itu belum cukup. Kami mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar. Setelah melihat betapa banyak uang yang berputar setiap hari, kami dapat ide buat "mengambil alih" kantin dan koperasi sekolah. Kami rekrut beberapa teman yang mudah dipengaruhi, lalu mulai menjalankan skema curang. Kami ambil uang dari kas kantin dan koperasi, lalu membagi hasilnya di antara kami. Setelah itu, kami pesta di luar sekolah—makan enak, main game, dan sekadar senang-senang tanpa mikirin apapun.

Laksana, yang selama ini selalu berusaha menjaga kami, mulai kelihatan kesal.

“Ryu, lu nggak sadar ya? Sekarang sekolah udah bener-bener jadi zona bebas buat kalian,” katanya suatu hari setelah tahu tentang kegiatan kami.

“Lu lagi-lagi ngingetin kita, San mending belajar biar jadi tentara gagah kayak bapak lu?” jawab Reki dengan nada sinis. “Hidup kita ini bukan buat ngikutin aturan terus. Sekali-sekali kita harus menikmati hidup, kaku banget lu kayak kanebo kering.”

Laksana menghela napas berat. “Kalian udah keterlaluan. Kalau ada yang ketahuan, kalian bakal nyusahin semua orang. Gua nggak mau jadi bagian dari ini jadi suka suka kalian.”

Gua menatap dia. Dia kelihatan kecewa, dan gua tahu dia benar. Tapi saat itu, gua cuma bisa tersenyum tipis. "San, hidup itu nggak ada yang pasti. Kadang kita cuma butuh sesuatu yang lebih berwarna."

Reki menimpali, “Lagian, siapa yang bakal laporin kita? Semua orang kan ikut main.”

Namun, seperti biasa, semuanya mulai berantakan.

Suatu hari, saat kami sibuk dengan "operasi" di koperasi sekolah, tanpa kami sadari, beberapa siswa curiga. Mereka melaporkan kejadian ini ke pihak sekolah. Dalam hitungan jam, kami langsung dipanggil ke ruang kepala sekolah.

“Apa yang kalian lakukan di sekolah ini?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.

Gua menundukkan kepala, merasa semuanya udah selesai. “Kami... cuma mencoba membantu biar teman teman bisa jajan, Pak.”

“Membantu?” Kepala sekolah mencibir. “Tapi dengan cara merusak dan mengkhianati kepercayaan yang diberikan sekolah kepada kalian? Saya sudah memberi kesempatan, dan ini yang kalian lakukan?”

Gua menatap mata kepala sekolah itu, dan dalam sekejap, gua merasa semua pilihan buruk yang gua ambil selama ini terbayar lunas.

Om dan Tante gua datang ke ruang kepala sekolah, wajah mereka penuh kekecewaan. Om gua, yang dikenal sangat galak dan tegas, memandang gua tajam.

“Ryu, apa yang terjadi sama kamu? Kami udah kasih kesempatan, tapi lu malah nyia-nyiain semuanya,” kata Om dengan nada marah yang penuh penyesalan. “Tante dan Om berharap kamu bisa berubah di sini, tapi kenapa kamu malah ulang bandel yang dulu?”

Tante gua yang biasanya sabar, kali ini cuma bisa berkata. “Kenapa kamu selalu mengecewakan kami, Ryu? Apa yang salah denganmu? Otak kamu konsleting atau gimana”

Itu adalah saat paling berat dalam hidup gua. Gua melihat semua harapan keluarga yang hancur karena ulah gua sendiri. Gua tahu, keputusan ini akan menghancurkan hidup gua. Dan lebih parahnya, gua tahu, gua sudah melangkah terlalu jauh.

---

Keesokan harinya, gua dipanggil lagi ke ruang kepala sekolah.

“Ryu, kamu sudah diberi kesempatan berkali-kali. Tapi kamu tetap tidak bisa berubah. Karena itu, saya tidak punya pilihan selain mengeluarkan kamu dari sekolah ini,” kata kepala sekolah dengan tegas.

Dunia terasa begitu gelap. Semua yang gua pikirkan adalah kekacauan yang telah gua ciptakan. Seakan semua usaha dan harapan yang telah diberikan padaku hanya sia-sia.

Om dan Tante gua membawa pulang gua dengan wajah penuh kecewa. Mereka nggak ngomong apa-apa, cuma diam sepanjang perjalanan. Gua tahu, mereka udah kehabisan kata-kata buat ngelukain hati gua.

---

Di malam itu, saat gua duduk sendiri di kamar, gua merenung. Gua sadar kalau gua udah sampai di titik paling ngaco dalam hidup gua. Gua telah menyakiti orang-orang yang paling gua sayangi dan menghancurkan segala peluang yang pernah ada. Gua ingin berubah, tapi gua nggak tahu caranya.

Gua ingat perkataan Laksana, yang selalu berusaha menasihati kami. Mungkin dia benar. Mungkin gua udah terlalu lama berjalan di jalan yang salah.

Namun, tiba-tiba gua teringat sesuatu yang mencurigakan. Laksana, yang selalu menjaga jarak dari kami, tiba-tiba muncul di sekolah dan memberitahu pihak berwenang. Padahal, dia tahu segalanya—bahkan lebih dari yang kami bayangkan. Dia yang dulu selalu mengingatkan kami tentang konsekuensi dari setiap tindakan, malah menjadi orang pertama yang membocorkan rahasia kami.

Gua mulai merasa ada yang nggak beres. Kenapa Laksana begitu cepat mengetahui semua itu? Apakah dia nggak percaya sama kami sejak awal? Apakah dia benar-benar teman kami, atau hanya berpura-pura?

Malam itu, gua mencari tahu lebih banyak tentang Laksana. Gua menemui beberapa teman lama yang tahu lebih banyak tentang dia. Ternyata, Laksana bukanlah sosok yang baik seperti yang selama ini kami kira. Dia punya agenda tersembunyi, dan sikap “menasihatinya” selama ini cuma sebuah kedok buat mendekati kami. Dengan informasi yang kami punya, Laksana bukan hanya membocorkan rahasia kami, tapi juga telah merencanakan buat mengambil alih bisnis judi kami sejak awal. Semua yang dia lakukan hanyalah bagian dari rencananya buat memanfaatkan kami, dan akhirnya menjatuhkan kami di waktu yang tepat.

Itulah saat gua sadar: Laksana bukanlah teman. Dia cuma berpura-pura jadi sahabat, padahal dia jauh lebih jahat daripada kami.

SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang