Bab 4 : Laksana & Reki

13 2 0
                                    

Hari itu, aku berdiri di depan sekolah dengan perasaan yang penuh emosi, menunggu Laksana datang. Aku tak lagi mengenakan seragam sekolah, karena kini aku bukan lagi anak sekolah ini. Hatiku dipenuhi dengan amarah dan kebingungan. Rasa sakit atas pengkhianatannya yang terlalu dalam untuk dimaafkan, meskipun aku tahu seharusnya aku tidak melakukan apa yang akan kulakukan.

Tak lama, aku melihat Laksana datang. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tidak mengenakan seragam sekolah. Mataku menyala, penuh kebencian. Tanpa banyak basa-basi, aku langsung melangkah ke arah Laksana dan memukul wajahnya dengan sekuat tenaga.

"Ryu! Tunggu!" teriaknya, tapi aku tak peduli.

Suasana di sekitar kami langsung berubah jadi riuh. Anak-anak yang melihat mulai berteriak, keributan tak bisa dihindari. Laksana mencoba bertahan, mencoba menjelaskan, tapi aku tak peduli. Aku terus memukulinya, tak peduli apa pun yang dia katakan. Pukulan demi pukulan mengarah ke wajah dan tubuhnya. Laksana terjatuh, tak mampu lagi bangun, tubuhnya terkapar di depan banyak mata. Semua mata di sekolah terfokus pada kami, dan mereka hanya bisa terdiam, terkejut melihatku kembali ke sekolah ini hanya untuk memukuli sahabatku sendiri.

Akhirnya, aku berdiri, siap pergi begitu saja. Aku tak ingin mendengar penjelasan lebih lanjut. Tapi saat itu, mataku menangkap sosok Reki di kejauhan. Dia berdiri dengan ekspresi aneh, tertawa kecil. Aku merasa ada yang tak beres. Tanpa menyapa, dia berbalik dan mencoba menghindar dariku.

Dengan tubuh yang terasa lelah, aku memutuskan untuk pulang. Tapi saat aku melangkah, suara Laksana terdengar lirih, memanggilku.

"Ryu, maafkan gua ... Gua nggak bisa bantuin lu buat nggak dikeluarin..."

Aku tak menoleh, tak peduli dengan perkataan itu. Aku melangkah pergi, membiarkannya terkapar di sana, tak peduli lagi.

---

Di rumah, aku duduk terdiam, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Pikiranku masih kacau. Pukulanku terhadap Laksana-apakah itu memang yang pantas dia dapatkan?

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Pesan masuk dari Ani, seorang teman perempuan yang dulu sering berbicara denganku di sekolah.

"**Weh Ryu, gua mau ketemu, ini penting kebangetan. Lu yaa bikin Laksana babak belur.**"

Aku cuma melirik pesan itu tanpa menggubrisnya. Tapi Ani kembali mengirimkan pesan.

"**Ryu, Laksana tuh berusaha banget biar lu nggak keluar sekolah, bahkan sampai rela berurusan sama pihak berwajib.**"

Itu membuatku terkejut. Aku memutuskan untuk menghubungi Ani dan menanyakan lebih lanjut. Dia menjawab cepat.

"**Gua tunggu di warung Mbak Inem, jam pulang sekolah. Dateng!**"

Aku semakin penasaran. Pikiranku semakin gelisah. Apa maksud Ani dengan semua ini? Aku pun memutuskan kembali ke sekolah, menuju warung Mbak Inem-tempat biasa kami nongkrong.

---

Begitu sampai di warung, tanpa kata-kata, Ani langsung menamparku keras. Aku terkejut.

"Tai lu ya, Ni, jangan mentang-mentang cewek gua nggak bisa pukul lu."

Namun, Ani hanya diam, lalu menamparku lagi. Aku hendak membalas, tapi tamparan ketiga datang lebih cepat, diikuti yang keempat. Sampai aku tak bisa menahan diri.

"Woy, cabe muka bedak gopean," ujarku dengan kasar. Ani terhenti, air mata mulai menetes dari matanya. Aku terdiam, merasa sedikit bersalah.

"Eh, Ni, gua cuman bercanda, nggak usah nangis gitu."

"Gua bukan nangis gara-gara ledekan lu," jawab Ani dengan suara pecah. "Tapi gara-gara lu tega sama Laksana. Pagi-pagi tadi, pak isman yang nemuin Remi di bawah meja lu. Itu barang punya lu kan, Pak isman petugas kebersihan sekolah. Laksana yang pertama kali ngambil, dia bilang itu punya kakaknya yang kemarin ketinggalan. Pak Isman ngadu ke guru BK, tapi Laksana bilang kalau itu barang kakaknya, dan karena Laksana dianggap siswa teladan, guru BK pun nggak memproses lebih lanjut."

Aku terdiam, kaget. Ani melanjutkan.

"Gua tau semua ini karena gua datang ke ruang BK buat nanya tugas. Gue denger percakapan mereka. Dan tahu nggak, Ry? Ternyata, di bawah meja lu juga ada narkoba. Pak Isman melaporkan itu ke guru BK, dan mereka curiga kalau lu yang konsumsi itu. Laksana berusaha keras buat ngelindungin lu, tapi nggak ada yang percaya lagi sama dia."

Aku terdiam, kacau. Aku tak bisa percaya apa yang aku dengar. Ani melanjutkan.

"Laksana itu rela berurusan sama pihak berwajib biar lu nggak ketahuan, Ry. Mereka duga lu yang pake narkoba. Itu sebabnya lu dikeluarin buat menjaga nama baik sekolah. Tapi, gua nggak tau kenapa pihak sekolah malah lebih percaya sama rumor daripada Laksana."

Aku merasa dunia seakan runtuh. Laksana, yang sudah aku anggap pengkhianat, ternyata berjuang untuk melindungiku. Dia berusaha keras untuk melindungi nama baikku. Aku merasa sangat bersalah.

---

Saat itu juga, mata aku menangkap sosok Reki yang datang. Dia bersama anak-anak bandel lainnya, menatap aku dengan senyum sinis. Mereka mulai menghina aku.

"Ehh, liat tuh, ada bandar narkoba sekolah yang abis mukulin si ganteng favorit guru!" salah satu dari mereka berkata, sambil menunjuk aku.

Yang lain menimpali dengan nada mengejek, "Temen baik sendiri dipukulin! Eh, Ki, lu hati-hati, jangan-jangan lu juga bakal dipukulin kalau nggak nurut sama dia!"

Reki hanya berdiri di sana, menatap aku dengan penuh rasa puas dan arogan. Tatapannya seakan bilang, *ini semua yang aku mau*. Aku cuma bisa diam, nggak tahu harus bereaksi gimana.

Tanpa berkata apa-apa, Reki muter badan dan pergi begitu aja, meninggalkan aku dengan ribuan pertanyaan di kepala.

Ani, yang masih ada di samping aku, langsung buka suara, "Udah, Ry, nggak usah diladenin. Percuma!"

Dengan rasa bersalah yang nggak bisa aku tahan lagi, aku ngasih Ani pesan untuk disampaikan ke Laksana. Pesan itu penuh penyesalan dari aku-permintaan maaf yang aku tahu nggak akan cukup untuk menebus semuanya. Ani cuma mengangguk pelan, memahami perasaan aku.

Setelah itu, aku memutuskan untuk pulang. Pikiran aku kusut, bingung sama semua yang terjadi. Di rumah, aku mulai berkemas, bersiap buat kembali ke kota asal aku. Tapi di dalam hati, aku tahu-rasa bersalah ini nggak akan hilang dengan mudah.

---

Saat aku kembali ke rumah, orang tuaku mulai memarahi aku di telpone. Kali ini, mereka benar-benar kecewa. Aku dikeluarkan dari sekolah untuk kedua kalinya. Mataku mulai terasa panas, tapi aku menahan air mata. Rasanya, aku nggak bisa lagi menahan rasa bersalah ini. Semua yang aku lakukan, semuanya salah.

Sejak saat itu, aku tak pernah merasa seburuk ini. Dan aku tahu, hidupku yang dulu penuh kebebasan dan kekacauan, sekarang hanya menyisakan penyesalan yang begitu dalam.

SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang