Bab 6 : sekolah baru lagi

10 2 0
                                    

Setelah dikeluarkan dari sekolah sebelumnya, aku akhirnya diterima di sekolah baru yang seakan-akan menawarkan kehidupan yang jauh lebih normal. Bayangkan, di sekolah ini, semua orang terlihat sangat biasa dan tidak menarik . Mereka seperti makhluk yang di cetak hanya untuk menjalani kehidupan biasa, , sekolah tidak terlalu ketat seperti sebelumnya. Aku, di sisi lain, merasa seperti orang asing yang terjebak dalam dunia yang aneh. Seakan-akan aku ini bintang dari film yang salah pilih genre.

Hari pertama aku masuk kelas, aku bisa merasakan pandangan orang-orang yang penuh rasa penasaran. Mereka mungkin berpikir, *"Ini dia, si anak bandel. Pasti bakal bikin masalah."* Tapi aku mencoba sekuat tenaga untuk berubah. Aku duduk manis, mendengarkan guru, dan berusaha menghindari segala jenis keributan. Yang benar-benar merasa asing adalah aku. Aku merasa seperti orang yang dipaksa mengenakan jas di acara pernikahan, padahal hatinya pengen jadi MC di acara pesta ulang tahun temannya.

Suatu hari, saat pelajaran berlangsung, Dita, teman sekelas yang tampaknya sangat baik, menghampiriku dan berkata dengan senyum manis, *"Ryu, kamu anak baik banget sekarang ya. Semua orang suka sama kamu!"*

Aku hanya tersenyum tipis, meski di dalam hati aku merasa seperti kehilangan sesuatu. Rasanya seperti mencoba mengenakan sepatu baru yang ketat. Gak enak, tapi harus dipakai.

Namun, suatu hari seorang siswa bernama Sukri melemparku dengan es cekek yang biasa ada di kantin. Es itu mengenai badanku dan membuat tubuh serta mukaku basah. Dia berkata, "Ohh, ini yang namanya Ryu yang katanya jagoan."

Aku menjawab, "Kayaknya lu megang esnya kurang kenceng, deh, sampai numpahin ke badan orang."

Sukri berucap, "Ahh, ini mah dia gonta-ganti sekolah karena emang goblok aja. Biasanya orang-orang kayak lu ini cuma modal cerita dan ngomong kosong."

Aku, yang tak mau mencari keributan, berkata, "Iya, itu cuma rumor yang dilebih-lebihin orang aja, bro. Hehe, nggak apa-apa kok. Lain kali megang esnya yang kenceng, ya."

Dia mencoba memukulku, tapi aku sengaja tak menghindar. Setelah memukul, dia berkata, "Wah, tangan gua kepleset, mau salaman tadi."

Aku membalasnya dengan senyum sambil menggigit gigi dengan kencang, lalu pergi. Di kelas, dia dan teman-temannya membuliku. Salah satu anak menamparku, sementara anak lain berjaga di depan pintu kelas sambil mengamati guru. Aku hanya diam. Murid lain juga diam, ketakutan.

Aku berdiri, bukan untuk menghindar atau pergi, tapi sekadar melihat kemungkinan. Jika aku melawan, aku mulai membayangkan skema: mulai dari menendang yang di depan, memukul yang di samping, lalu membanting yang di depan pintu. Setelah itu, berhadapan dengan yang lain menggunakan meja sebagai pembatas agar mereka tidak bisa mengeroyokku dengan leluasa.

Ya, aku memang punya banyak keahlian bela diri. Dalam duel, aku tidak pernah sekalipun kalah. Tapi, aku mengurungkan niatku ketika tiba-tiba membayangkan wajah orang tuaku yang menangis.

Lalu, salah satu dari mereka menendang mejaku dan pergi. Hari-hari berlalu dengan kesabaran, sampai suatu ketika teman yang biasa bersamaku, bernama Dana, ikut dibully. Hingga saat mereka ingin memukul Dana, tanpa sadar tangan murid yang membullynya aku tangkap, dan lehernya aku kunci dengan keras sampai dia tidak bisa bernapas.

Dia berkata, "Woy, lepasin gua, gabisa nafas!"

Aku berkata, "Maaf, maaf. Tadi cuma mau misahin. Kukira kalian berantem," sambil tersenyum dan menatap dengan mata yang menyala seakan mengintimidasi dia.

Dia ketakutan sehingga tak melanjutkan aksinya. Siangnya, seperti biasa, dia memanggil salah satu orang yang mungkin paling ditakuti di sekolah, yaitu Purnama.

Purnama mendekatiku dan menanyakan kejadian kala itu. Aku menjawab, "Hehe, sorry, sorry. Tadi itu salah paham aja."

Tanpa basa-basi, mereka ingin mengeroyokku. Tapi, Purnama menghentikan mereka, lalu dia menantangku duel sepulang sekolah. Sebelum itu, dia memukul Dana dengan kencang dan berkata, "Lawan dong, jangan diem aja," sambil membenturkan kepala Dana ke meja.

SIMFONI BOCAH LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang