Kenangan yang Terlupakan

2 1 0
                                    


Zea duduk sendirian di ruang tamu rumah lamanya, menatap dengan kosong pada bingkai foto di meja. Foto itu sudah usang, gambar keluarga yang dahulu tampak sempurna—ibu, ayah, dan dirinya yang masih kecil, dengan senyum bahagia yang seolah tak tergantikan. Namun kenangan itu semakin memudar, terkubur dalam kegelapan yang menyelimuti masa lalu.

Keadaan rumah itu terasa asing baginya. Sebuah rumah yang dulu dipenuhi tawa, kini hanya menyisakan kesepian yang mencekam. Zea tidak bisa mengingat kapan tepatnya perubahan itu mulai terjadi. Ia hanya ingat, segala sesuatu mulai berubah sejak ayahnya menikahi Jeni.

Saat Zea berusia 15 tahun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ayahnya, Darren Winata, yang dulu dikenal tegas namun penuh kasih sayang, tiba-tiba mengumumkan pernikahannya dengan Jeni, wanita muda yang jauh lebih muda darinya, yang hanya berusia 20 tahun. Jeni, dengan senyum manis dan pesona yang tak terbantahkan, tampaknya telah mengambil tempat di hati ayah Zea dengan cepat.

Zea merasa seperti ada jarak yang semakin dalam di antara dirinya dan ayahnya. Seperti ada ruang kosong yang mulai terbentuk, yang tidak bisa diisi oleh siapa pun, bahkan oleh orang terdekat sekalipun. Ayahnya yang dulu selalu mengutamakan keluarga kini lebih sering terperangkap dalam perasaan bahagia baru dengan Jeni, mengabaikan kehadiran Zea yang semakin merasa terasingkan.

Awalnya, Zea mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Tapi semakin lama, ia merasa semakin jauh dari ayahnya. Jeni, yang awalnya tampak baik dan penuh perhatian, ternyata menyembunyikan sisi gelap yang perlahan terungkap. Seiring berjalannya waktu, Zea mulai merasakan ketegangan yang tak terlihat antara dirinya dan ibu tirinya.

Namun, ada satu kejadian yang mengubah segalanya. Suatu malam, saat Zea kembali ke rumah lebih larut dari biasanya, ia mendengar suara tangisan dari kamar ibu tirinya. Dengan hati yang penuh curiga, Zea membuka pintu kamar dan melihat Jeni duduk di ujung tempat tidur, menangis dengan wajah yang penuh ketakutan.

Zea terkejut. "Kenapa kau menangis?" tanya Zea, suaranya dingin dan tajam.

Jeni menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan, seolah ada sesuatu yang ingin disembunyikan. "Tidak ada, Zea. Hanya... hanya lelah."

Namun, ada sesuatu yang tidak biasa dalam nada suaranya. Zea merasa ada sesuatu yang disembunyikan, dan rasa curiga itu semakin menguat.

Beberapa malam kemudian, Zea memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia diam-diam mengikuti Jeni ke ruang bawah tanah rumah mereka. Ketika ia berhasil masuk tanpa diketahui, ia melihat Jeni sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Suara yang datang dari speaker telepon itu membuat darah Zea berdesir—itu adalah suara yang familiar, suara yang pernah didengar Zea dalam rekaman-rekaman yang ditemukan beberapa bulan lalu.

"Ini harus dilakukan. Dia terlalu berbahaya," kata suara itu. "Zea harus diambil sebelum dia terlalu banyak tahu."

Jeni terdiam, lalu menjawab dengan suara gemetar, "Aku tahu. Aku akan melakukannya. Aku tidak punya pilihan."

Zea terdiam di balik pintu, tubuhnya membeku. Tak lama setelah itu, Jeni menutup telepon dan dengan cepat berbalik, hampir menabrak Zea yang berdiri di ambang pintu. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Jeni menyadari bahwa semuanya telah diketahui.

Malam itu, Zea merasa dunia runtuh di sekitarnya. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, malah membiarkan dirinya dibawa ke dalam kegelapan yang tak terlihat. Jeni, ibu tirinya yang tampaknya baik, ternyata adalah seorang pengkhianat yang bekerja sama dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian ibunya, Eliza. Kenyataan itu begitu sulit untuk diterima. Zea merasa dihianati, tak hanya oleh Jeni, tetapi juga oleh ayahnya sendiri.

Namun, apa yang lebih mengerikan lagi adalah kenyataan bahwa Jeni tidak pernah benar-benar mencintainya. Jeni hanya melihatnya sebagai ancaman yang harus dihancurkan, dengan cara apapun.

zea milik si berandalan[THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang