12

314 88 18
                                    

"Kak, kak Chika kira kira ada dirumah gak ya, sekarang?". Ara sedang duduk di depan TV bersama Ibu, dan adiknya. Dia menoleh pada Ardi. 

"Kakak gak tau, emang kenapa?".

"Aku mau main kesana, kira kira di bolehin kak Chika gak ya?". Ardi mengulum senyumnya.

Ara tidak menjawab hanya menatap Ardi.

"Jangan Di, bisa gak kamu gak perlu deketin Non Chika, Ibu takut dia risih sama kamu, nanti dia ngerasa kalo kamu emang mau deketin dia".

"Ya bagus dong Bu, berarti aku gak perlu bilang lagi ke kak Chika kalo aku mau kenal dia lebih jauh". Ardi seakan akan tidak mengerti maksud Laras. Atau memang dia mengerti tetapi memilih untuk abai.

"Di, kita bukan apa apa bagi mereka. Ibu gak mau nanti kamu kecewa ujung ujungnya. Gak mungkin orang kayak Non Chika mau sama orang seperti kita. Kamu kuliah dulu yang bener, lulus dan dapat kerja yang mapan, hidupi diri kamu sendiri baru mikir orang lain".

"Bu". Ardi menatap Ibunya dengan tatapan sedikit kesal. "Kenapa Ibu selalu ngomongin masalah perbedaan status kita? Apa orang kayak aku gak layak dapat pasangan yang lebih dari aku, cinta gak memandang status kan Bu? Tetapi kenapa Ibu malah jatuhin semangat aku bukannya ngedukung aku". 

"Ibu bukan gak dukung kamu, tapi Ibu ngomong masalah fakta. Zaman sekarang tidak munafik semua perempuan butuh yang namanya finansial tampang nomor 2. Ibu gak mau nanti kamu kecewa".

"Alah, Ibu sama aja kayak ayah sama sama merasa rendah tidak tahu-".

"Ardi!". Ara yang tadi diam hanya menyimak obrolan mereka jadi angkat bicara mendengar Ardi berkata untuk ayah mereka yang sudah tiada. "Jaga ucapan kamu". Menatap Ardi dengan tatapan sedikit tajam.

"Apa? Kakak juga sama". Ardi bangun dan pergi keluar rumah tanpa menghiraukan Ara yang memanggilnya. Ara menunduk, dia merasakan jika Ardi makin lama makin tidak bisa di atur.

"Bu, maafin Ardi ya". Ara menatap Ibunya dengan tatapan sendu.

"Maafin Ibu sama ayahnya ya sayang, Ibu dan ayah gak bisa buat kalian seperti anak anak lainnya diluar sana, hidup enak dan serba ada".

"Ibu". Ara mendekat, memeluk Laras.

"Bukan salah Ibu dan ayah, semuanya udah Tuhan atur".

"Kak Ardi jahat, aku gak suka dia". Arisa ikut memeluk Ibunya dan Ara.

"Gak sayang, Kak Ardi cuma lagi emosi aja, dia baik".

"Bu". Ara melepaskan pelukan mereka. "Buat benerin genteng". Ara tersenyum seraya mendongak menatap plafon rumahnya yang sebagian sudah rapuh dan terkelupas. Bahkan bekas air hujan dari atap masuk ke sela sela plafon dan terlihat merembes di dinding.

"Dari mana ini?". Laras langsung gemetar menerima uang segepok dari Ara di tangannya.

"Aku mau jujur sama Ibu. Tapi janji Ibu gak marah sama aku". Ara menetap sendu Ibunya. Besar harapannya jika dia memberitahu Ibunya ini tidak akan melarangnya. Karena dari sinilah penghasilan terbesar Ara, meski tidak setiap hari acara seperti itu ada, tetapi setidaknya kemenangan dari situ besar pengaruhnya.

"Apa sayang, selagi itu bener Ibu pasti akan selalu dukung kamu".

"Aku balap Bu, balapan mobil". Tersirat permohonan yang mendalam dari mata Ara.

Laras menarik dalam nafasnya. "Ara, itu bahaya". Laras tahu jika Ara, anak perempuannya itu sangat senang dengan dunia yang berbau otomotif apalagi pada kendaraan beroda empat tersebut. Sejak kecil, ketika Ayahnya sedang bekerja menjadi sopir mobil berat, Ara kadang kadang minta ikut dan suaminya itu selalu mengabulkan permintaan Ara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mine DRIVER (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang