BAGIAN DUA PULUH SATU

276 24 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(~ —з—)~ ~(—ε— ~)


   “Ini berkas yang lo minta semalem,” kata Antonio Conte.

Namun melihat sang sahabat hanya diam dengan tatapan kosong, membuat kening Antonio mengeriting, hingga mau tak mau dia menarik kursi di depan meja kerja Arlo.

“Jelek amat muka lo!” Seloroh Antonio, senyum mengejek terpampang di wajahnya.

Arlo menarik bola matanya pada gambar wajah Antonio. “Keliatan banget, emang?”

“Menurut lo? Kenapa gue yang nganter berkas-berkas ini ke lo, dan bukan Tisa!”

Kekehan Arlo mengalun, menemani wajah masam Antonio. Padahal sejak semalam dia sudah mengatur ekspresinya dengan sedemikian rupa, tapi siapa sangka, Antonio bisa melihat semuanya dengan baik. Ah tidak, Kanaya dan anak-anaknya juga pasti sadar akan hal ini, karena itu sejak semalam semuanya terlihat bergitu berhati-hati dalam bersikap.

Kanaya juga beberapa kali menanyakan soal harinya, serta kesulitan-kesulitan yang mungkin Arlo alami di kantor. Namun pria itu berhasil mengelak. Ah jika dipikirkan kembali, Arlo merasa menyesal. Terlebih saat dia mengingat bagaimana senyum di wajah putra putrinya yang tidak seindah biasanya.

“Ada masalah apa? Perusahaan ini baik-baik aja kan?”

Arlo terkekeh, tapi tak ayal wajahnya tetap saja kusut. “Gue ngerasa, gue makin jauh dari anak-anak, Ton.” Jelasnya terdengar lemah di akhir.

“Lo ngapain anak-anak?!” Tanya Antonio terdengar marah.

“Gila, lo pikir gue sebrengsek itu apa, sampe gue berani nyakitin darah daging gue sendiri!”

Tanpa rasa bersalah atau setidaknya ekspresi sesal, Antonio memandang sahabatnya dengan tawa lepas. Walau harus berhadapan dengan wajah kesal Arlo, tapi setidaknya Antonio merasa lega karena setidaknya Arlo tidak menyakiti Ravendra, Sebastian atau bahkan Keana.

“Oke, oke, kali ini gue serius. Ada masalah apa?”

Arlo menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dalam sekali hentak. “Ini soal Bastian, Kea sama Virgo.”

“Mereka kenapa?”

Dengan tangan tertangkup di bawah dagu, Arlo menatap Antonio tepat pada kelereng matanya. “Gue ngerasa ada sesuatu yang sengaja mereka sembunyikan dari gue.”

“Lo udah nyoba nanya ke Virgo?”
Dengan lemah, Arlo mengangguk.

“Terus Virgo jawab apa?”

“Dia bilang gue nggak perlu khawatir. Kalo pun ada masalah sama Bastian atau Kea, dia sendiri yang bakal turun tangan.”

Antonio mengangkat kedua alisnya. “Wah, si Virgo masih kosong nggak ya?” tanya Antonio sambil memamerkan senyum tiga jarinya.

LAST CHANCE (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang