Bab 16

3.9K 35 2
                                    


Kami berdua akhirnya masuk ke dalam rumah tersebut. Di dalamnya rupanya ada meja rias dan kursi untuk salon. Ada pula cermin besar dan berbagai perlengkapan salon lainnya.

"Untung kamu datang hari ini. Ada barang bagus buat permak kamu."ujar Nyonya Jamilah tersenyum penuh misteri.

Kami berdua kemudian di antarkan ke bagian belakang rumah yang semi terbuka karena tidak ada atap. Bagian bawahnya pun hanya berupa beton yang belum dikeramik.

"Oh ya kamu tahu kan kenapa ke sini?"tanya Nyonya Jamilah berbalik ke arahku.

"Tidak tahu nyonya."kataku mengakui.

"Jelasin fah."perintah Nyonya Jamilah.

"Jadi, ini adalah tempat kita para budak berdandan. Nyonya Jamilah gini-gini jagoloh buat dandanin budak. Maka sering dimintain tolong sama ummi Nayla."

"Oh begitu ya kak."kataku mengangguk paham.

"Ya sudah, sini berdiri di sini."Nyonya Jamilah menunjuk bagian tembok dengan lubang kecil di sana. Aku dengan patuh melangkah ke posisi yang ditunjuk.

Nyonya Jamilah kemudian mengeluarkan sebuah ember dengan bau yang agak busuk. Rupanya di dalam sana sudah air berisi banyak kembang yang teramat busuk karena sudah terlalu di simpan. Aku ingin menutup hidungku tapi Kak Iffah memberi isyarat melarang.

Nyonya Jamilah kemudian mengambil sebuah gayung dan langsung menyiramku dengan air bunga tersebut. Aku merasa begitu menggigil ketika merasakna air yang dingin tersebut menyentuh kulitku. Hidungku juga langsung merasakan bau yang sangit dari bunga-bunga busuk itu.

Nyonya Jamilah kemudian mengambil sabut kelapa yang kasar kemudian menyerahkannya pada Kak Iffah.

Seakan tahu yang harus dilakukan, Kak Iffah lantas berjongkok kemudian mengeluarkan air seninya yang langsung membasahi sabut kelapa tersebut. Setelah kencingnya berhenti, Kak Iffah menyerahkan sabut kelapa itu pada Nyonya Jamilah.

Nyonya Jamilah kemudian menghentikan guyurannya dan mulai menggosokkan sabut kelapa yang telah berlumuran dengan kencing tersebut ke seluruh tubuhku. Bahkanwajah dan rambutku tak luput dari gosokan sabut kelapa tersebut. Rasanya sakit sekali memang apalagi sabut itu amat kasar. Namun semua kutahan demi mengikuti perintah dari Nyonya Jamilah.

Setelah menggosokkannya, kukira Nyonya Jamilah akan menyiramku kembali. Tapi rupanya Nyonya Jamilah malah menyuruhku untuk berlutut di depannya. Kemudian Nyonya Jamilah mengangkat dasternya dan memperlihatkan memeknya yang kendor dan berbulu lebat. Dari memek tersebut, keluarlah air kencing berwarna kunign pekat yang langsung membasahi wajahku dan mengalir turun hingga ke pahaku. Aku lagi-lagi diam saja membiarkan Nyonya Jamilah mengencingiku.

"Nah beres."ucap Nyonya Jamilah tersenyum puas.

"Terima kasih nyonya sudah memandikan budak ini."

"Ah ini belum selesai. Ayo balik ke ruangan tadi."

Dengan tubuh yang masih basah baik oleh air kembang maupun oleh air kencing, aku diajak Nyonya Jamilah untuk pergi ke ruang depan tempat peralatan salon itu. Kemudian aku menjalani perawatan rambut seperti salon pada umumnya. Rambutku sedikit dirapikan dan dibuat sedikit bergelombang.

Wajahku juga menjalani treatment. Termasuk juga kukuku yang dibuat berkilap. Nampak sekali kerja Nyonya Jamilah yang begitu cekatan dalam memolesku.

"Ok sudah selesai."Nyonya Jamilah tersenyum puas di sebelahku.

Aku memandang takjub ke arah cermin. Di sana terlihat sosok Anita yang begitu anggun dan jelita. Jauh berbeda denganku yang bahkan hampir tidak pernah memakai make up. Meskipun kini yang berbeda tubuhku bugil tanpa penutup apapun dan berbau pesing.

"Ayo, kita keluar buat sentuhan terakhir."ajak Nyonya Jamilah.

"Eh keluar?"tanyaku tidak mengerti.

"Iya. Kenapa?"

"Tapi kan aku telanjang."

"Terus?"

Aku meneguk ludahku. Aku sadar kalau aku tida punya hak untuk melawan perintah dari Nyonya Jamilah.

"Ayo, ta,"ajak Kak Iffah menepuk bahuku. Aku akhirnya mengangguk dan beranjak berdiri mengikuti Nyonya Jamilah berjalan keluar.

Di luar, Nyonya Jamilah menyuruhku untuk berdiri di bawah salah satu pohon. Dia lantas mengambil tali dan melemperkannya ke salah satu dahan.

"Angkat tanganmu."

Aku patuh dan mengangkat kedua tanganku. Nyonya Jamilah kemudian mengikatkan tali yang sudah tertambat di dahan atas ke kedua tanganku dengan satu simpul hingga kini aku terekspos bebas tanpa ada apapun yang bisa kugunukan untuk menutupi tubuh bugilku.

"Wih, bu, ada barang baru nih?"tanya seorang bapak-bapak yang entah dari mana lewat dan mendekat.

"Iya pak kiriman dari Ummi Nayla."

"Cakep juga barangnya."bapak tersebut mendekatiku dengan pandangan penuh rasa kagum."Memeknya boleh dicicip gak ?"

"Jangan dulu. Masih perawan dia. Nanti bakal di lepas di acara spesial."cegah Nyonya Jamilah dengan muka galak.

"Alah sayang banget ini."bapak tersebut mengeluh kecewa.

"Sudah, sabar saja. Nanti lu juga bisa nikmatin memeknya. Tapi bukan perawaannya."

Bapak itu masih mendengus kesal.

"Ya sudah nih. Lu boleh mainin tubuh ini barang sambil gua siap-siapin ini alatnya."ucap Nyonya Jamilah beranjak pergi meninggalkanku."Iffah, kamu ikut aku."

"Baik Nyonya."Iffah melangkah mengikuti Nyoya Jamilah.

"Sipppp..."Bapak tadi tersenyum sumringah.

Aku meringis menatap bapak tersebut yang penampilannya cukup lusuh. Dia seperti tidak pernah mandi selama sebulan terakhir.

Tangan bapak tadi terulur sambil memainkan tokedku. Telapak tangannya yang besar dan beruat meremas tokedku dengan kuat. Membuatku menggeliat tidak karuan.

"Wih pak, ada barang baru ya?"sapa beberapa pria lainnya yang berjalan menghampiri kami.

"Iya nih. Ikut sini. Tapi jangan dimainin lubangnya dulu."

"Siap."timpal mereka semua.

Dengan segera aku dikerumuni paling tidka oleh 5 orang pria dengan penampilan serupa. Kulit yang gosong, rambut acak-acakan, serta baju kumal yang bau keringat karena alam tidak mandi.

Mereka semua menatapku dengan penuh nafsu. Seakan dengan matanya mereka sudah mengulitiku hidup-hidup.

Tangan-tangan itu terulur sekarang. Mulai menggerayangi setiap inci dari tubuhku terutama bagian tokedku. Tangan itu mulai dari mengelus, menggesek, bahkan sesekali mencubitku.

Aku semakin menggeliat merasakan rangsangan yang diberikan oleh tangan-tangan mereka. Tangan mereka kini makin berani dengan mulai memainkan putingku. Mulai dari memelintir hingga mencubit dan menarik kedua putingku. Membuatku langsung merasakan sakit yang sangat berpadu dengan kenikmatan birahi.

Meskipun kesakitan dan dilingkupi oleh rasa malu yang sangat, aku tetap bertahan dan berusaha sekuat mungkin tak bergerak. Semua kulakukan sebagai bentuk kesadaran kalau tubuhku memang tersedia untuk memuaskan nafsu mereka.

Setelah digerayangi cukup lama, akhirnya Nyonya Jamilah keluar bersama Iffah yang mengikuti namun dengan posisi merangkak seperti layaknya anjing.

"Eh, sudah sudah."seru Nyonya Jamilah menghentikan gerakan para pria tadi.

"Aduh, masa selesai sih."ujar bapak-bapak tadi kecwa.

"Heh, ini mau dipermak lagi barangnya."Nyonya Jamilah memasang wajah judesnya. Membuat para pria di sana gentar."Ini kalau mau main pakai anjing ini saja."

"GASSS!!!!"

Sementara para pria tadi langsung berlari ke arah Kak Iffah yang tak berdaya, Nyonya Jamilah mendekatiku dengan sebuah kotak dari kayu dengan bagian dalam yang dipasang beludru berwarna merah ranum.

"Sabar ya, bentar lagi permaknya selesai."

Aku mengangguk mengiyakan.

Nyonya Jamilah mengeluarkan ssuatu dari kotak tersebut. Bentuknya seperti pembuka tutup botol. Namun bagian lingkarannya terdapat jarum.

Aku meringis melihat alat itu karena tahu maksud dari alat tersebut.

Tanpa babibu lagi, Nyonya Jamilah menggunakan alat tersebut untuk melubangi putingku. Alat tersebut menjepikan dua buah jarum hingga putingku langsung berlubang ditembus dua jarum.

"Aaaaaahhhhhhhh"Aku berteriak sekencang mungkin karena rasa sakitnya. Tubuhku menggeliat melawan namun ikatan di tanganku membuatku tak berdaya.

"Hehehehe. Sabar ya."

Nyonya Jamilah mengelap tetesan darah yang mengalir dari putingku. Kemudian dia mengambil cincin kecil yang lebih mirip anting dari emas dan memasangkannya melalui lubang yang sebelumnya sudah dibuat. Tak cukup diitu, Nyonya Jamilah juga memasangkan lonceng kecil dari perak pada cincin di putingku.

"Nah, begini kan cantik,"Nyonya Jamilah menyentil lonceng kecil yang kini telah terpasang sempurna di putingku.

Aku mengangguk menyetujui kalimatnya meskipun aku masih merasakan rasa sakit yang sangat.

Apa yang dilakukan Nyonya Jamilah tidak hanya berhenti sampai di sana. Dia melakukan hal yang serupa pada putingku yang satunya. Bahkan Nyonya Jamilah juga menindik bagian klirotisku. Hingga akhirnya ketiga tiitik tersebut kini terhias sempurna dengan cincin dan lonceng.

"Ini bakalan bikin kamu ingat kalau kamu ini seorang budak. Paham?"

Aku mengangguk lagi dengan ekspresi lemah. Rasa sakit yang kuterima benar-benar luar biasa. Bahkan hampir saja menghancurkan kesadaranku.

"Kamu tunggu dulu di sini ya."ucap Nyonya Jamilah yang kembali meninggalkanku dalam kondisi lemah.

Aku hanya bisa berdiri pasrah menunggu. Klirotis dan putingku masih terasa berdenyut kesakitan. Sembari berharap kalau penderitaan ini akan usai.

Namun rupanya harapanku langsung pupus seketika. Nyonya Jamilah datang kembali sambil membawa tongkat panjang dengan ujung besi berbentuk bundar. Ujungnya berwarna merah menyala seperti dibakar. Melihat itu, aku langsung bergidik ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Nyonya Jamilah.

"Kamu tahan sebentar ya."ucap Nyonya Jamilah seperti mengoleskan sesuatu di pantatku."Sakitnya sebentar saja."

Belum juga aku mengangguk, Nyonya Jamilah langsung menghujamkan tongkat panas tersebut langsung ke pantatku. Awalnya yang kurasakan adalah dingin namun itu sekilas saja karena aku langsung merasakan pantatku seperti dibakar hebat.

"AAAAAAAHHHHHHHHHHHHHH!!!!"Aku berteriak sekencang mungkin tapi itu pun hanya sejenak karena setelahnya aku pingsang dan tidak ingat apapun lagi.

Rahasia AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang